Dalam Perang Eropa yang dikobarkan oleh Perancis, akhirnya Belanda jatuh ke tangan Prancis setelah serangan
bertubi-tubi yang dilakukan Prancis dalam kurun waktu Desember 1794 hingga
Januari 1795. Segera setelah Belanda jatuh, Prancis membuat pemerintahan boneka
di sana dengan membubarkan pemerintahan Heeren XVII dan menggantinya dengan
sebuah komite baru.
Tahun 1806 (Ricklefs, 2005:242-245), Perancis (Napoleon) membubarkan Republik Bataaf dan membentuk Koninkrijk
Holland (Kerajaan Belanda). Napoleon kemudian mengangkat saudaranya Louis
Napoleon sebagai Raja Belanda.Louis Napoleon sebagai penguasa baru di negeri
Belanda mengirimkan Herman Willem Daendels ke Hindia Belanda guna mengamankan
daerah itu dari serangan Inggris. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa
Inggris merupakan musuh besar Prancis. Belanda yang telah jatuh ke tangan
Prancis secara tidak langsung menyebabkan negeri itu menjadi musuh Inggris.
Louis Napoleon membutuhkan orang yang kuat dan
berpengalaman militer untuk mempertahankan jajahannya di Indonesia. Oleh karena
itu, Louis Napoleon mengangkat Herman Willem Daendels sebagai gubernur jenderal
di Indonesia. Daendels mulai menjalankan tugasnya pada tahun 1808 dengan tugas
utama mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris.
Pada tanggal 1 Januari 1808, Daendels tiba di
pelabuhan kecil dekat Banten. Setelah sampai di Batavia, dia kemudian
memutuskan untuk meninggalkan kota yang menurutnya tidak sehat itu dan pindah
ke Buitenzorg (Bogor). Daendels kemudian mulai bekerja memangkas korupsi,
menata administrasi, dan menata jalan serta benteng.
Kebijakan
Pemerintahan Herman W. Daendels
Bidang
Pertahanan
Bidang pertahanan merupakan persoalan utama yang
dihadapi Daendels. Daendels dihadapkan pada lemahnya angkatan bersenjata dan pertahanan
Jawa terhadap serangan Inggris. Karenanya Daendels membuat dua kebijakan
mendesak untuk memperkuat pertahanan Hindia-Belanda. Kebijakan pertama yang
dilakukan Daendels dalam bidang pertahanan adalah melakukan rekruitmen terhadap
kaum pribumi untuk dilatih menjadi militer (milisi). Kebanyakan serdadu
Bumiputera tersebut berasal dari Manado, Jawa, dan Madura. Dengan demikian ia
berhasil menambah jumlah angkatan bersenjatanya mencapai 18.000 hingga 20.000
serdadu. Hampir semua bidang dijamah oleh rencana Daendels untuk mendukung
kelengkapan dalam bidang militer tersebut. Misalnya saja, untuk menyediakan
perlengkapan seragam militer, para petani dipaksa memintal benang dan menenun
kain. Para pembuat gamelan di Semarang diubah menjadi pekerja pabrik mesiu
untuk keperluan senjata. Sentra pengrajin peralatan dapur tembaga di Gresik
diubah menjadi pabrik senjata. Koningsplein (Lapangan Merdeka) dijadikan tempat
pelatihan militer, dan sebuah pangkalan angkatan laut dibangun di Surabaya
(Prakitri, 2006:89-96). Sementara itu, kebijakan kedua yang dilakukan Daendels
dalam bidang pertahanan adalah pembangunan Grote Postweg (Jalan Raya Pos) Anyer
sampai Panarukan. Jalan yang panjangnya kurang lebih 1000 km ini dibangun untuk
mendukung mobilitas militer, terutama menjaga pos-pos pertahanan penting di
sepanjang pantai utara Jawa (Prakitri, 2006:89-96)999. Daendels juga
memberlakukan kerja rodi untuk pembangunan proyek raksasa tersebut. Waktu yang
mendesak serta banyaknya tenaga yang dibutuhkan untuk pembangunan jalan
tersebut menyebabkan kerja rodi menjadi pilihan bagi Daendels. Keberadaan Jalan
Raya Pos tersebut (sekarang dikenal dengan Jalur Pantura) tidak hanya
memberikan keuntungan di bidang militer saja, tetapi membawa arti penting bagi
mobilitas ekonomi, sosial, bahkan politik. Dalam bidang ekonomi misalnya,
semakin banyak hasil produk kopi dari pedalaman Priangan yang diangkut ke
pelabuhan Cirebon dan Indramayu (sebelumnya tidak pernah terjadi dan produk itu
membusuk di gudang-gudang kopi Sumedang, Limbangan, Cisarua dan Sukabumi).
Dalam bidang perhubungan misalnya, transportasi menjadi semakin mudah dan
lancar. Jarak antara Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari bisa
dipersingkat menjadi 7 hari. Hal ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat
yang dikelola oleh dinas pos. Mulai sejak saat itulah, nama jalan raya proyek
Daendels ini dikenal dengan nama “jalan raya pos”.
Bidang
Politik
Kebijakan pertama yang dilakukan Daendels dalam
bidang politik adalah reformasi administrasi secara total. Daendels mengangkat
semua bupati Jawa menjadi pejabat pemerintah Belanda untuk melindungi mereka
dari pemerasan yang dilakukan oleh pejabat Belanda. Dewan Hindia yang memegang
posisi penting dalam struktur pemerintahan kolonial Belanda tidak boleh lagi
ikut berkuasa. Badan ini hanya menjadi embel-embel kekuasaan gubernur Jenderal
(Prakitri, 2006:89-96). Daendels berusaha keras melaksanakan pemusatan
kekuasaan. Menurut Daendels, kekuasaan pejabat yang diwariskan VOC terlalu
besar sehingga mudah untuk memperkaya diri dengan cara melakukan korupsi.
Daendels melaksanakan maksudnya dengan menghapus Gubernemen Pantai Jawa Timur
Laut. Selain itu, Residen Kerajaan Jawa yang berada di bawah Gubernur diambil
alih oleh pemerintah pusat Batavia. Daerah Jawa di luar kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta dibagi menjadi sembilan daerah administratif yang disebut dengan
Prefektorat, yang kelak pada masa pemerintahan Raffles diubah dengan nama
Gewest (Karesidenan).
Pemberantasan
Sistem Feodal
Daendels menjalankan pemerintahannya dengan memberantas
sistem feodal yang pada awalnya sangat diperkuat oleh VOC. Hak-hak Bupati mulai
dibatasi untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, terutama yang menyangkut
penguasaan tanah dan pemakaian tenaga rakyat. Status Raja yang selama masa VOC
dianggap sebagai sekutu, diturunkan menjadi pegawai biasa. Penurunan status ini
menyebabkan terhapusnya tanda kehormatan para Raja, seperti payung dan kereta
kebesaran (Kartodirdjo, 1992:291-292). Pada masa pemerintahan Gubernur-gubernur
sebelum Daendels, para Residen Belanda diperlakukan sama seperti para penguasa
daerah yang menghadap raja-raja Jawa, yaitu dengan duduk di lantai dan
mempersembahkan sirih sebagai tanda hormat kepada Raja Jawa. Menurut Daendels,
Residen tidak layak lagi diperlakukan seperti itu. Daendels yang berpikiran
rasional menganggap sikap terlalu menghormati Raja adalah sesuatu yang
berlebihan. Daendels kemudian membuat beberapa peraturan untuk menjelaskan
kepada rakyat bahwa kekuasaan tertinggi berada di Batavia, bukan di tangan
Raja-raja. Residen (pada masa pemerintahan Daendels disebut menteri) berhak
duduk sejajar dengan Raja, memakai payung seperti Raja, tidak perlu membuka
topi atau mempersembahkan sirih kepada raja, dan harus disambut oleh raja
dengan berdiri dari tahtanya ketika Residen datang ke keraton. Pada saat
Residen bertemu di tengah jalan dengan Raja, Residen tidak perlu turun dari
kereta, tetapi cukup membuka jendela kereta dan boleh berpapasan dengan kereta
Raja.
Sekulerisasi Pemerintahan
Daendels adalah seorang sekuler. Hal ini dapat
dilihat pada keputusannya memisahkan kekuasaan negara dan kekuasaan agama.
Meskipun demikian, lembaga-lembaga agama tetap disubsidi, dengan demikian,
Agama Katolik juga kembali diperbolehkan berkembang di Nusantara.
Perombakan
Sistem Peradilan
Daendels merombak organisasi dan praktik pengadilan
Batavia dengan melakukan pemisahan kelompok penduduk yang berbeda dalam urusan
peradilan. Pengadilan berada mulai dari tingkat kabupaten hingga Prefektorat
yang anggotanya terdiri dari Bumiputera dan dua orang Belanda.
Pengadilan-pengadilan ini akan menghakimi setiap kasus yang melibatkan orang
Jawa berdasarkan hukum adat dan istiadat Jawa. Sementara itu, semua kasus yang
melibatkan orang asing (orang Eropa, Cina, Arab, Bumiputera non Jawa) akan
ditangani oleh Dewan Peradilan berdasarkan undang-undang Hindia Belanda.
Pengadilan ini didirikan di Batavia, Semarang, dan Surabaya (Vlekke,
2008:275-285).
Pengisian
Kas Negara untuk Pembiayaan Negara
Semua langkah Daendels dalam bidang pertahanan,
administrasi negara, dan sisitem peradilan tentu saja membutuhkan biaya yang
tidak sedikit. Apalagi komoditas perdagangan dari dalam negeri tidak bisa
dijual dan menumpuk di gudang pelabuhan akibat blokade laut yang dilakukan
Inggris. Daendels kemudian mencari cara lain, salah satunya adalah dengan
menghidupkan kebiasaan lama VOC, yaitu menjual tanah kepada pihak swasta dan
memberikan hak kepemilikan. Daendels sebenarnya banyak menjual tanah luas di
wilayah barat dan timur Batavia, akan tetapi, transaksi terbesarnya adalah
penjualan seluruh wilayah yang kini bernama kabupaten Probolinggo di Jawa Timur
kepada orang Cina, Han Ti Ko sebesar tiga setengah juta gulden. Reaksi Terhadap
Kebijakan Daendels dan Berakhirnya Pemerintahan Daendels Reaksi terhadap
beberapa kebijakan Daendels yang memberatkan penguasa lokal terjadi di beberapa
daerah, dan yang paling keras terjadi di Banten. Pekerja rodi yang menolak
membangun pelabuhan Merak melarikan diri ke hutan. Residen Banten yang datang
menuntut pertanggungjawaban Sultan, dibunuh sehingga menyebabkan Daendels marah
besar. Istana Sultan Banten dihancurkan dan hartanya dijarah. Sultan ditangkap
dan dibuang ke Ambon. Daendels kemudian menunjuk keponakan Sultan sebagai
penggantinya. Hal yang sama juga terjadi di Yogyakarta, ketika Sultan
Hamengkubuwono menolak diangkatnya Danurejo II sebagai Patih. Sultan
Hamengkubuwono malah mengangkat Pangeran Natakusumah yang menyebabkan Daendels
menggempur Yogyakarta pada tanggal Desember 1810. Sultan Hamengkubuwono II
diganti oleh putranya (Hamengkubuwono III) dan Belanda mendapatkan ganti rugi
biaya perang sebanyak 500.000 gulden.
Pengaruh kebijakan yang diterapkan oleh Daendels
dalam bidang politik sangat berbekas, terutama mengenai kebijakan penghapusan
upacara kehormatan Raja-raja di Jawa yang menimbulkan menimbulkan kebencian
mendalam, baik dari kalangan penguasa daerah, rakyat, maupun orang-orang
Belanda sendiri. Keputusan Daendels yang menghapus penghapusan penghormatan
kepada Raja-raja di Jawa dianggap sebagai perendahan martabat. Daendels seperti
meruntuhkan teori kekuasaan masyarakat Jawa yang menitikberatkan pada
simbolisme raja sebagai sentral kekuasaan. Kebencian rakyat terhadap Daendels
disebabkan penyerahan paksa tanaman kopi dan kerja rodi tanpa upah untuk
pembangunan jalan raya pos yang menimbulkan kerugian materi serta korban jiwa.
Sementara itu, para pembesar Belanda yang juga membenci Daendels antara lain
seperti gubernur pesisir timur laut Jawa (wilayahnya mencakup Cirebon sampai
ujung timur Jawa), Nicolaas Engelhardt yang jabatannya dihapus Daendels,
panglima angkatan laut Arnold Adriaan Buykens dan Letkol Johannes van den Bosch
yang dipecat hanya gara-gara Daendels jengkel kepada keduanya (Prakitri,
2006:89-96).
Pada tahun 1810, Kaisar Napoleon mengeluarkan dekrit
yang menyatakan bahwa negeri Belanda masuk ke dalam Imperium Prancis. Berita
itu sampai ke Hindia Belanda dan disambut dengan senang hati oleh Daendels.
Meskipun demikian, akibat tindakannya yang terlalu otoriter, maka Napoleon
memutuskan untuk memanggil pulang Daendels pada tahun 1811 dan menggantikannya
dengan orang yang lebih moderat, yaitu Jan Willem Janssens. Daendels
meninggalkan Jawa ketika sistem pertahanan yang dirintisnya belum kuat,
sehingga pada tanggal 18 September 1811, Janssens menyerah akibat serangan dari
Inggris. Peta kekuasaan pun akhirnya berpindah tangan dari Belanda ke Inggris,
sehingga dengan demikian, Hindia Belanda praktis menjadi milik Inggris. Pada
saat pemerintahan Inggris inilah, muncul suatu periode baru dalam sejarah
Hindia Belanda, yaitu periode Liberal.
DAFTAR RUJUKAN
Prakitri, S. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas.
Ricklefs, M.C.
2005. Sejarah Indonesia Modern
(1200-2004). Terjemahan Satrio Wahono dkk. 2005. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Vlekke, B. 1961. Nusantara: Sejarah Indonesia.
Terjemahan Samsudin
Berlian. 2008. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Masa Pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda, Herman Willem Daendels di Nusantara (1808-1811)
4/
5
Oleh
Unknown