Aung San Suu Kyi adalah aktivis prodemokrasi Myanmar yang telah mejadi simbol perlawanan tanpa kekerasan pada akhir abad ke-20. bertahun - tahun hidup dalam tahanan penguasa militer Burma, Suu kyi tetap berjuang mengupayakan pemerintahan demokratis di negaranya. Karena perjuanganya itu dia banyak mendapat penghargaan dan simpati Dunia.
Internasional namun perjuangnya itu pun harus dibayar mahal dengan berpisah dari keluarganya serta mengalami penahanan tanpa pengadilan selama lebih dari lima belas tahun.
Kehidupan Awal Suu Kyi
Aung
San Suu Kyi dilahirkan di Yagon, Ibukota Myanmar pada 19 Juni 1945. Ayahnya, adalah Jendral Aung San, yang merupakan salah
satu sosok pejuang kemerdekaan Burma( Nama masa lalu Myanmar) sedangkan ibunya,
bernama Khin Kyi, merupakan duta besar wanita pertama di Burma (untuk India dan
Nepal).
Ayahnya,
Aung San terbunuh oleh sainganya pada saat sedang melakukan perundingan
kemerdekaan dari Inggris pada 19 Juli tahun 1947. Aung San Suu Kyi tumbuh bersama
ibunya, Khin Kyi, dan dua saudara laki-laki, Aung San Lin dan Aung San U in
Yangon. Saudara lak-lakinya, Aung San Lin meninggal saat berusia delapan tahu
karena tenggelam dalam kolam renang saat Suu Kyi masih berumur delapan tahun.
Sementara saudara laki-laki lainya, Aung San O pergi ke California dan menjadi
warga negara Amerika Serikat. Suu Kyi nama sapaan akrab Aung San Suu Kyi, menghabiskan
sebagian besar masa kecilnya dengan bersekolah di sekolah Katolik Inggris di
Burma.
Ibun
Aung San Suu Kyi, Khin Kyi (Khin yi Ma) tumbuh menjadi tokoh politik wanita
besar diawal kemerdekaan Burma, dengan memimpin sebuah badan perencanaan dan
kebijakan sosial . Pada tahun 1960 Ibunya ditunjuk sebagai duta besar Burma
untuk India, dan Aung San Suu Kyi mengikutinya ke sana, dan sejak saat itulah
Suu Kyi melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi Shri
Ram. Kemudian pada tahun 1964 ia melanjutkan pendidikan di Universitas Oxford
dan memperoleh gelar B.A di bidang Filsafat, Politik dan Ekonomi pada tahun
1967.
Selama
di Inggris, Suu Kyi tinggal bersama kedua orang tua angkatnya bangsawan Lord
Gore-Booth mantan duta besar Inggris untuk Burma dan Komite Tinggi di India dan
istrinya. Selama tinggal dengan orang tua angkatnya inilah Aung San Suu Kyi
berkenalan dengan Michael Aris seorang mahasiswa yang mengambil jurusan
Peradaban Tibet, seorang yang kelak menjadi suaminya. Pada tahun 1969 Suu Kyi
kembali melanjutkan studinya ke New York dan tinggal bersama sahabat keluarga
mereka yang bernama Ma Than E, seorang staff di PBB yang pada saat itu dipimpin
oleh U Thant dari Burma.
Setelah
menyelesaikan pendidikannya Suu Kyi bergabung di Sekretariat PBB sebagai
asisten sekretaris, komite penasehat administrasi dan keuangan. Pada sore hari
dan akhir pekan Suu Kyi menjadi relawan di salah satu rumah sakit, membantu
pasien-pasien yang berasal dari keluarga miskin untuk merawat mereka sambil mengajarkan
membaca. Pada tanggal 1 Januari 1972 Michael Aris dan Aung San Suu Kyi melangsungkan
perenikahan, kemudian Suu Kyi mendampingi suaminya pergi ke Bhutan untuk
menjadi pengajar bagi keluarga Kerajaan Bhutan di pegunungan Himalaya dan
memimpin Departemen Penerjemah sementara Suu Kyi bekerja sebagai peneliti pada
kementerian luar negeri Kerajaan Bhutan.
Tahun
1973 mereka kembali ke London untuk melahirkan putra pertama; Alexander, kesempatan
ini juga dimanfaatkan Michael Aris untuk memperdalam pendidikannya di bidang
Kajian Tibet dan Himalaya di Oxford University. Putera kedua pasangan ini, Kim
lahir pada tahun 1977 dan pada masa inilah Suu Kyi mulai menulis, meneliti
Biografi Ayahnya dan mendampingi suaminya melakukan kajian-kajian tentang
Himalaya. Dari hasil riset terhadap biografi ayahnya inilah Suu Kyi pada tahun
1984 menerbitkan sebuah buku berjudul “Aung San” di sebuah seri pemimpin Asia
yang diterbitkan oleh lembaga penerbit Universitas Queensland. Untuk bacaan
kaum muda, Suu Kyi menerbitkan buku “Let’s Visit Burma” juga buku mengenai
Nepal dan Bhutan pada seri yang sama yang diterbitkan oleh perusahaan
penerbitan Burke, London.
Pada
tahun 1985 Suu Kyi mendapat kesempatan berkunjung ke Pusat Kajian Asia Tenggara
di Universitas Kyoto, Jepang tempat dimana ia melakukan riset terhadap
masa-masa kunjungan ayahnya di Jepang. Putera bungsunya, Kim bersamanya saat
itu sedangkan Alexander bersama Michael yang sedang menghadiri program
persahabatan di sebuah institut di Simla kawasan India Utara. Sebagai penganut
Buddhis, Michael dan Suu Kyi memberikan kesempatan kepada kedua putera mereka
untuk ambil bagian dalam sebuah upacara tradisional Buddhis menjadi samanera
sementara, pada sebuah kunjungan rutin mereka tahun 1986 ke Rangon untuk
menjenguk sang nenek; Daw Khin Kyi.
Dari
Jepang kemudian Suu Kyi dan Kim bekumpul bersama lagi dengan keluarganya suami
dan anaknya Michael dan Alex di Simla-India pada tahun 1987, kemudian di tahun
yang sama ia menerbitkan sebuah jurnal berjudul ”Socio-Political Currents in
Burmese Literature 1910-1940” bagi Universitas Tokyo. Tahun ini pula
Suu Kyi dan keluarga kembali ke London untuk menemani Ibunya menjalani operasi
katarak, kemudian Suu Kyi bekerja di program paska sarjana Perguruan London
untuk Kajian Oriental dan Afrika.
Kembali Lagi ke Myanmar
Pada
tahun 1988 ia kembali ke Rangon, Burma setelah lebih dari dua puluh tahun
belajar dengan melanglang buana ke luar negeri setelah mendapat telepon yang
mengabarkan bahwa sang Ibu, Daw Khin Kyi mengalami stroke pada tanggal 31 Maret
1988, Suu Kyi merawat dan mendampingi ibundanya di rumah sakit, kemudian
memindahkannya ke rumah mereka di lingkungan sebuah universitas dekat danau
Inya di Rangon. Pada saat inilah terjadi pengunduran diri Jenderal Ne Win
seorang Diktator Militer yang telah memimpin Burma sejak 1962, hari itu tepat tanggal
23 Juli 1988, Aksi-aksi protes kecil terus berlanjut hingga meluas menjadi aksi
demonstrasi massa yang sangat besar yang hampir terjadi seluruh wilayah Burma.
Pada tanggal 8 Agustus 1988, pemerintahan militer membalas aksi dengan
melakukan tindakan kekerasan yang mengakibatkan terbunuhnya ribuan orang.
Terjun ke Dunia Politik
Karena
menyadari betapa menderitanya rakyat Burma akibat kesewenang-wenangan
pemerintahan militer inilah Aung San Suu Kyi memulai aksi politiknya yang
pertama pada tanggal 15 Agustus 1988, dengan mengirimkan surat terbuka kepada
pemerintah, mempertanyakan susunan Komite Konsultatif Independen untuk Pemilu
multi partai, selanjutnya tanggal 26 Agustus ia melakukan orasi di depan
Shwedagon Pagoda yang dihadiri oleh ribuan orang untuk menuntut pemerintahan
yang demokratis, suami dan kedua puteranya turut mendampinginya. Militer yang
mulai gerah dengan manuver Suu Kyi kemudian membentuk State Law and Order
Restoration Council (SLORC) tanggal 18 September, pertemuan politik yang dihadiri
lebih dari empat orang dilarang, penangkapan dan interograsi tanpa pengadilan
mulai marak terjadi terhadap para aktivis. Di tengah-tengah kondisi politik
memanas inilah National League for Democracy (NLD) didirikan yakni pada tanggal
24 September, Aung San Suu Kyi terpilih sebagai Sekretaris Jenderal. Kebijakan
partai adalah anti kekerasan dan pembangkangan sipil. Tiga bulan selanjutnya
Suu Kyi aktif melakukan orasi-orasi ke berbagai daerah dengan melibatkan massa
dalam jumlah yang sangat besar menentang larangan yang dibuat SLORC.
Akhirnya
ibu Suu Kyi, Daw Khin Kyi; meninggal pada tanggal 27 Desember 1988 pada usia 76
tahun, pemakamannya dihadiri oleh ratusan ribu orang pelayat yang turut berduka
atas meninggalnya salah satu tokoh politik wanita Burma diawal kemerdekan itu.
Selanjutnya pada tanggal 2 Januari 1989 itu, Aung San Suu Kyi menyatakan bahwa
sebagaimana Ayah dan Ibunya yang telah mengabdikan seluruh hidupnya bagi rakyat
Burma, maka ia pun bersumpah akan berjuang bagi rakyat Burma hingga kematian
menjemputnya. Hingga juli kemudian ia terus melakukan kampanyenya walaupun
intimidasi, penangkapan dan pembunuhan oleh tentara terus berlanjut. Menjelang
pemilihan umum, tanggal 17 Februari Suu Kyi dinyatakan dilarang mengikuti
pemilu. Pada tanggal 5 April terjadi sebuah tragedi di Delta Sungai Irawaddy
pada saat itu dengan sangat berani Aung San Suu Kyi berjalan menuju para
tentara yang ingin menangkapnya. Selanjutnya Suu Kyi dijebloskan dalam tahanan
rumah, tanpa tuntutan ataupun pengadilan.
Kedua
puteranya turut mendampingi, Michael dating pada hari ketiga, pada saat itu
Aung San Suu Kyi melakukan mogok makan selama 3 hari meminta agar dirinya
dikirim ke penjara bergabung bersama-sama mahasiswa yang ditahan disana, aksi
ini berhenti setelah militer berjanji akan memperlakukan para mahasiswa dengan
lebih baik. Karena merasa tidak mampu mempertahankan cengkeramannya terhadap
kekuasaan, Junta militer kemudian mempercepat pelaksanaan pemilu pada tahun
1990. Hasilnya adalah kemenangan NLD dengan menguasai 82% kursi di parlemen.
SLORC menolak hasil pemilu ini dan tetap mempertahankan pemerintahan junta
militernya.
Penghargaan bagi Perjuangan Suu Kyi
Aung
San Suu Kyi telah memenangkan banyak penghargaan internasional, 12 Oktober 1990
ia dianugerahi Penghargaan HAM Rafto, Penghargaan HAM Sakharov dari Parlemen
Eropa 10 Juli1991, pemenang Penghargaan Perdamaian 1991 dari Komite Nobel
Norwegia pada tanggal 14 Oktober 1991, Medali Kemerdekaan dari Kepresidenan
Amerika Serikat, dan Penghargaan Jawaharlal Nehru-India. 10 Desember 1991
mendapatkan Penghargaan Nobel Perdamaian. Pada tahun yang sama buku “Freedom from Fear” diterbitkan oleh
Penguin di New York, Inggris, Kanada, Australia, New Zealand, juga
diterjemahkan dalam berbagai bahasa seperti Norwegia, Perancis dan Spanyol. Kemudian
Pada tahun 2014 Aung San Suu Kyi berkunjung selama dua hari ke Berlin. Disana
Ia bertemu dengan Presiden Jerman Gauck dan meraih penghargaan Willy-Brandt atas upayanya
memperjuangkan HAM dan demokrasi. Saat itu ia menegaskan bahwa, masa depan
demokrasi negaranya masih belum jelas.
Setelah
memperoleh Nobel, Suu Kyi mengumumkan pada tahun 1992 bahwa hadiah berupa uang
sebesar US$ 1,3 juta akan digunakan untuk membangun kesehatan dan pendidikan
bagi rakyat Burma. Pada tahun 1993, sekelompok penerima Nobel tidak diijinkan
memasuki Burma oleh pemerintah militer, kemudian mereka mendatangi para
pengungsi Burma di perbatasan Thailand dan menyerukan pembebasan Aung San Suu
Kyi. Seruan mereka kemudian dikumandangkan kembali di Komisi HAM PBB di Jenewa.
Kontak pertama Suu Kyi dengan orang luar selain keluarganya sejak ditahan
adalah pada tahun 1994 yakni pada bulan februari, pemerintahan junta militer
Burma mengijinkan perwakilan PBB, anggota kongres Amerika, dan reporter New
York Times. Kemudian bulan September-Oktober pimpinan SLORC menemui Suu Kyi
yang terus menuntut diadakannya dialog publik.
10
Juli 1995 akhirnya Aung San Suu Kyi dibebaskan setelah 6 tahun penahanan, namun
pemerintah Junta Militer Burma yang senantiasa gentar oleh keberanian dan
konsistensi Suu Kyi kembali menahannya pada tahun 2000-2002 tanpa alasan yang
jelas, kemudian kembali ditahan dibalik jeruji bulan Mei 2003 dengan alasan
keamanan dirinya, setelah peristiwa berdarah yang menewaskan lebih dari 100
orang pendukungnya karena di serang oleh kroni-kroni rejim militer dan
narapidana yang sengaja dilepaskan untuk mengacaukan pertemuan Suu Kyi dengan
para pendukungnya. Ia kemudian dipindahkan dari penjara kembali ke tahanan
rumah pada akhir 2003 dan pada 13 November 2010 masa tahanan rumahnya
benar-benar berakhir karena Junta Militer
tidak ingin terus diisolasi oleh dunia internasional dan Aung San Suu Kyi
sadar, bahwa ia hanya akan sukses juga melakukan dialog dengan pihak militer.
Kesempatan yang Tak digunakan
Selama
dalam tahanan Suu Kyi benar-benar diisolasi dari dunia luar, beberapa
kesempatan untuk bebas sebenarnya di dapat Suu Kyi, misalnya saat suaminya
sakit, ia diberi ijin dan dibujuk pemerintah junta militer untuk menjenguk ke
London namun Suu Kyi menolak karena ia tahu, sepulang dari London pemerintah
tidak akan memberikan ijin masuk kembali ke Burma. Karenanya ia memilih tetap
ditahanan dan meneruskan perjuangannya membebaskan rakyat Burma bahkan saat
suaminya meninggal karena kanker prostat di London tanggal 27 Maret 1999 pun
Suu Kyi tidak dapat menghadiri pemakamannya. Ia harus merelakan
kepentingan-kepentingan dan emosi pribadinya dikorbankan demi kepentingan besar
seluruh rakyat Burma. Sebelumnya Michael Aris sempat membuat petisi agar ia
diijinkan menjenguk Suu Kyi untuk terakhir kalinya namun ditolak oleh penguasa
Burma, terakhir kali pertemuan Suu Kyi dan keluarganya adalah pada akhir tahun
1995. Aung San Suu Kyi hingga hari ini terus berjuang dari balik tahanan dan
terus menyerukan kepada dunia untuk membantu perjuangan demi pembebasan di
Burma, dengan mengatakan “Please use your
liberty to promote ours”
Jalan Baru Bagi Suu Kyi dan Myanmar
Pada 8 November tahun 2015 ini Junta Militer merancang sebuah pelaksanaan Pemilu demokratis yang dapat diikuti semu pihak untuk memperoleh legitimasinya dari rakyat dan dunia Internasional tapi pihak Junta Militer juga telah mengakali pelaksanaan pemilu ini dengan mengotak-atik undang-undang Myanmar dengan memberikan 25% kursi parlemen bagi militer tanpa melalui pemilu, melarang Aung San Suu Kyi untuk bisa mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu kali ini dengan memuat pasal, melarang warga yang pasangan atau anaknya memiliki warga negara asing tidak boleh mencalonkan diri serta penguasan aset-aset perekonomian yang penting di tangan militer
Pada 8 November tahun 2015 ini Junta Militer merancang sebuah pelaksanaan Pemilu demokratis yang dapat diikuti semu pihak untuk memperoleh legitimasinya dari rakyat dan dunia Internasional tapi pihak Junta Militer juga telah mengakali pelaksanaan pemilu ini dengan mengotak-atik undang-undang Myanmar dengan memberikan 25% kursi parlemen bagi militer tanpa melalui pemilu, melarang Aung San Suu Kyi untuk bisa mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu kali ini dengan memuat pasal, melarang warga yang pasangan atau anaknya memiliki warga negara asing tidak boleh mencalonkan diri serta penguasan aset-aset perekonomian yang penting di tangan militer
Tapi
diperkirakan, Partai pimpinan Suu Kyi
akan menag telak dalam pemilu ini dan jika partainya menang, Aung San Suu Kyi
ditengarai tetap memegang posisi politis yang memiliki pengaruh besar daripada
presiden Myanmar.
Kritik Tajam Soal Rohingya
Suu
Kyi bukanlah seorang politisi sempurna yang tanpa celah dan ktitik. Sorotan dan
kritikan tajam dunia internasional mengarah padanya terkait kebungkamanya pada
permasalah Krisis pengungsi Rohingya. Ia dtuding bungkam dan tidak berupaya
untuk mengatasi krisis ini karena takut ditinggalkan pendukungnya yang
mayoritas Buddha dalam Pemilu Parlemen, November mendatang.
Aung San Suu Kyi, Pejuang Demokrasi Myanmar
4/
5
Oleh
Unknown