Tuesday, November 10, 2015

Bung Tomo, Sang Singa 10 November Surabaya

Setiap momen hari pahlawan yang jatuh tiap tanggal 10 November, maka kita akan selalu teringat dengan sosok motor penggerak perlawanan rakyat Surabaya itu yang bernama Bung Tomo yang tanpa lellah teus melakukan orasi membakar semangat perjuangan rakyat Surabaya mengusir penjajah dari ibu pertiwi pada kesempatan ini marilah kita belajar mengenai sifat-sifat keteladanan dari Bung Tomo tersebut dengan mengenalnya lebih dekat melalui biografi kehidupan singkatnya ini

Tak Tamat Sekolah
Siapa sangka, sosok Bung Tomo ternyata tak tamat sekolah. Hal itu terjadi kala ia berusia 12 tahun.  Bung Tomo lahir pada 3 Oktober 1920 di Surabaya, Jawa Timur. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda.

Meski berasal dari keluarga kelas menengah, lantas tak status ini tak membuatnya hanya diam berpangku tangan karena kenyamanan yang dia punya. Dia tetap mau bekerja keras, bahkan pada saat terjadi depresi ekonomi tahun 1930-an Bung Tomo terpaksa harus meninggalkan bangku pendidikanya pendidikan di MULO karena harus melakukan pekerjaan kecil-kecilan untuk membantu perekonomian keluarganya. Belakangan, beliau tetap dapat menyelesaikan pendidikan HBS-nya melalui jalur korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.


Kala muda, Bung Tomo aktif dalam organisasi kepanduan (Pramukaan) atau KBI. Bahkan karena saking aktifnya pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal karena berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda.Bung Tomo pun mengakui bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya.
Wartawan
Bung Tomo muda mengawali kariernya sebagai wartawan pada usia 17 tahun sebagai wartawan lepas yang aktif menulis diberbagi media massa antara lain Harian Soeara Oemoem, harian berbahasa Jawa Ekspres, mingguan Pembela Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer. Dia juga pernah menduduki jabatan sebagai wakil pemimpin redaksi kantor berita pendudukan Jepang, Domei dan pemimpin redaksi kantor berita Antara di Surabaya.

Kritis pada Era Kepemimpinan Bung Karno
Dengan jam terbangnya yang tinggi sebagai wartawan itu, tidak aneh bila Bung Tomo sangat terusik ketika pada tahun 1956 pemerintahan Sukarno lewat sayap militer yang waktu itu dipimpin Mayor Jenderal A.H. Nasution, menerbitkan aturan yang melarang pers untuk mencetak, menerbitkan, dan menyiarkan hal-hal yang mengandung kecaman, persangkaan, atau penghinaan kepada pemerintah.

Aturan ini dianggap akan mengebiri kebebasan pers dalam menyampaikan pendapat dan kritik pada pemerintah. Persoalan penerbitan ini dilatar belakangi ketika harian “Pedoman” terbitan 8 September 1956 memuat berita utama di halaman depan berjudul "Korupsi Lebih Satu Djuta". Kasus itu melibatkan Direktur Jenderal Percetakan Negara Piet De Queljoe dan wakilnya, Lie Hok Thay. Mereka diduga kuat menyelewengkan dana pencetakan kertas kartu pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Konstituante pada Pemilu 1955, dan dana hasil korupsinya ini juga diduga mengalir ke kantong Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani, Namun Ruslan urung ditangkap karena berhasil diselamatkan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Dan bahkan Ruslan diduga bermain mata dengan AH Nasution untuk meredam kritik yang dilakukan pers dengan menerbitkan peraturan tersebut.

Dengan disokong Siauw Giok Tjhan, anggota DPR dari Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, Bung Tomo, yang merupakan anggota DPR yang berasal dari Partai Rakyat Indonesia, mengajukan hak interpelasi terhadap pemerintah terkait aturan tersebut.

Menurut Bung Tomo, pemerintah seharusnya dalam melawan pers bukan dengan peraturan yang bersifat karet tetapi dengan menunjukkan bukti bahwa yang dituduhkan koran-koran itu tidak benar.

Selain menggugat kebebasan pers, Bung Tomo juga pernah menggugat Presiden Soekarno karena membubarkan DPR. Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada 24 Agustus 1960. Tapi hakim Rochjani Su'ud menolak gugatan Bung Tomo. Menurut hakim, pembubaran DPR oleh Presiden Sukarno merupakan soal politik. 
Menurut Bung Tomo yang dilakukan Bung Karno waktu itu mencederai demokrasi dan kedaulatan rakyat, mengapa hasil pemilu yang sah seenaknya dibubarkan begitu saja.

Tuduhan Rasialis
Bila cuma sepintas mendengarkan pidato-pidato Bung Tomo pada masa revolusi kemerdekaan 1945 atau tulisan-tulisannya pada masa awal Orde Baru, memang akan muncul kesan seperti itu. Pada 17 Maret 1973, misalnya, ia menulis surat terbuka kepada pemimpin Republik Rakyat Cina, Mao Tse Tung dan pemimpin Taiwan, Chiang Kai-shek. Intinya, dia meminta perhatian kedua pemimpin itu untuk membantu menarik sekitar 2 juta warga Tionghoa dari Indonesia kembali ke negara masing-masing.
Sebagai pejuang revolusi kemerdekaan, Bung Tomo menilai ada banyak orang Tionghoa di Indonesia yang sikap dan perilakunya jauh dari nilai-nilai nasionalisme. Hidup dan mencari makan di Indonesia, tapi sama sekali tidak memberikan kontribusi bagi perjuangan bangsa. Sikap dan perilaku seperti itu diperlihatkan sejak masa sebelum Indonesia merdeka. Bahkan, menurut Bung Tomo, banyak orang Tionghoa pada masa kolonial yang menjadi kepanjangan tangan Belanda untuk menindas rakyat Indonesia.
Menurut Bung Tomo, kalau di suatu daerah sedang ada penguasa Indonesia, mereka menunjukkan loyalitasnya kepada Republik. Tapi, begitu kekuasaan Belanda menduduki daerah RI, maka segera orang-orang Tionghoa itu membantu tuannya yang lama.
Untuk menanggulangi permasalahan ini, Go Gien Tjwan sebagai juru bicara Angkatan Muda Tionghoa, berpidato dengan menekankan bahwa musuh rakyat Indonesia bukan etnis Tionghoa, melainkan Belanda. Ia menyatakan etnis Tionghoa juga menjadi korban penjajahan Belanda dan tidak menginginkan kembalinya penjajahan Belanda. Selanjutnya Siauw Giok Tjhan, tokoh masyarakat Tionghoa lainya, menemui Bung Tomo agar mengubah sikapnya. Namun Bung Tomo tidak bisa diyakinkan dan tetap berpendapat bahwa sebagian besar etnis Tionghoa pro-Belanda.
Pada akhir Oktober 1945, Siauw Giok Tjhan memimpin delegasi pemuda Tionghoa untuk bertemu dengan Bung Tomo serta tokoh-tokoh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Soemarsono dan Soedisman, di Nangka Jajar, sebuah kota kecil antara Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa pemuda-pemuda Tionghoa akan bergabung dengan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia pimpinan Bung Tomo dan Pesindo untuk melawan Belanda.
Namun semasa hidupnya Bung Tomo banyak memiliki sahabat orang Tionghoa. Apa yang disampaikan dalam tiap pidato dan surat terbukanya itu, yang dibaca tiap orang sebagai tindakan rasialis tujuan utamanya adalah agar keturunan mana pun yang tinggal dan menjadi warga Indonesia harus menjunjung dan memiliki nasionalisme, kecintaan terhadap Tanah Air, dan patriotisme kepada negeri ini.


Pernah dipenjara oleh Soeharto
Pada saat awal Orde Baru berdiri, Bung Tomo sangat mendukung sekali pemerintahan Soeharto, namun lambat laun banyak penyimpangan yang terjadi semasa Orde Baru membuat jiwa kritis beliau bangkit lagi. Beliau melancarkan kritikan Bung Tomo kepada Presiden Soeharto.

Kritik Bung Tomo terhadap pemerintahan Soeharto yang otoriter selain itu menyorot tajam terkait peran asisten pribadi Soeharto (Ali Moertopo dan Sudjono Humardani) dan keluarga Presiden Soeharto dalam pemerintahan. Juga soal praktek cukongisme sebagai realisasi nepotisme, melalui peran ekonomi yang berlebihan dari pengusaha nonpribumi serta tindakan Gubernur Ali Sadikin, dan Bulog yang seolah-olah menganakemaskan etnis Tionghoa.. 

Namun kritik yang paling tajam adalah soal korupsi yang menyelimuti pembangunan Taman Mini Indonesia Indah  (TMII). Ceritanya berawal ketika pada tahun 1978 , Siti Hartinah, istri mantan Presiden Soeharto, sedang sibuk merancang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah  (TMII). Bung Tomo mendapat informasi bahwa Bu Tien meminta para pengusaha memberikan 10 persen keuntungan usahanya untuk pembangunan TMII. Lalu Bung Tomo menyampaikan informasi itu dan mengkritik pembangunan TMII itu dalam setiap pidatonya.
Lalu Soeharto pun kehabisan kesabaranya menerima kritik Bung Tomo sehingga Pada 11 April 1978, Beliau ditangkap selama dengan tuduhan melakukan tindakan subversif. Ia dipenjara selama setahun tanpa proses pengadilan di Penjara Nirbaya, Pondok Gede, Jakara. Beliau satu penjara bersama, pakar hukum tata negara Ismail Sunny yang juga dikenal kritis terhadap Orde Baru.

Istrinya Sulistina tidak terima sang suami diperlakukan secara tidak adil oleh rezim Soeharto. Perempuan yang pada saat perang kemerdekaan itu ikut aktif dalam Palang Merah Indonesia (PMI) itu marah dan mengirim surat protes kepada Soeharto. Dalam surat yang ditulis pada 6 Juli 1978 itu Sulistina menulis bahwa, orang yang sudah mempertaruhkan jiwa raganya untuk mempertahankan kemerdekaan negaranya tidak mungkin mengkhianati bangsanya sendiri.

Tentang pemenjaraan dirinya itu ia mengatakan tak mendendam dan menganggapnya sebagai risiko perjuangan. Risiko seorang Angkatan 45 yang ingin membela nama baik Angkatan 45-nya, dan ingin membela nama baik TNI yang ia ikut mendirikannya.

Sekeluar dari penjara setahun kemudian, Bung Tomo lebih mencurahkan perhatiannya untuk merawat dan mendidik keempat anaknya hingga pada 7 Oktober 1981 Bung Tomo meninggal dunia saat tengah menunaikan ibadah haji di Padang Arafah, Arab Saudi. kemudian dibawa pulang ke Indonesia dan dimakamkan bukan di Taman Makam Pahlawan. Namun di Pemakaman Umum di Ngagel, Surabaya, sesuai amanahnya.

Kendati Wafat sejak lama, gelar sebagai Pahlawan Nasional baru disematkan kepadanya pada 10 November 2008. Penyematan gelar itu dilakukan pemerintah setelah didesak Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) pada 9 November 2007. Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 041/TK/TH 2008. Pemberian gelar itu disampaikan Menkominfo, Mohammad Nuh, kepada wartawan di Surabaya, Minggu 2 November 2008.


Dengan mengenal Bing Tomo diharapkan kita bisa selalu meneladani kepribadianya serta mengenang jasa-jasanya dalam mengusir penjajah serta dapat mencontoh semangatnya dalam membangun Indonesia dimasa mendatang menjadi lebih baik.  .
Bung Tomo, Sang Singa 10 November Surabaya
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.