Setiap momen hari pahlawan yang jatuh tiap tanggal 10 November, maka kita akan selalu teringat dengan sosok motor penggerak perlawanan rakyat Surabaya itu yang bernama Bung Tomo yang tanpa lellah teus melakukan orasi membakar semangat perjuangan rakyat Surabaya mengusir penjajah dari ibu pertiwi pada kesempatan ini marilah kita belajar mengenai sifat-sifat keteladanan dari Bung Tomo tersebut dengan mengenalnya lebih dekat melalui biografi kehidupan singkatnya ini
Tak Tamat Sekolah
Siapa
sangka, sosok Bung Tomo ternyata tak tamat sekolah. Hal itu terjadi kala ia
berusia 12 tahun. Bung Tomo lahir pada 3 Oktober 1920 di
Surabaya, Jawa Timur. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, Ia pernah bekerja
sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta,
sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan
ekspor-impor Belanda.
Meski berasal dari
keluarga kelas menengah, lantas tak status ini tak membuatnya hanya diam
berpangku tangan karena kenyamanan yang dia punya. Dia tetap mau bekerja keras,
bahkan pada saat terjadi depresi ekonomi tahun 1930-an Bung Tomo terpaksa harus
meninggalkan bangku pendidikanya pendidikan di MULO karena harus melakukan
pekerjaan kecil-kecilan untuk membantu perekonomian keluarganya. Belakangan, beliau
tetap dapat menyelesaikan pendidikan HBS-nya melalui jalur korespondensi, namun
tidak pernah resmi lulus.
Kala muda, Bung Tomo
aktif dalam organisasi kepanduan (Pramukaan) atau KBI. Bahkan karena saking
aktifnya pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal karena berhasil menjadi orang
kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda.Bung Tomo pun mengakui
bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang
diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik
untuk pendidikan formalnya.
Wartawan
Bung Tomo muda mengawali kariernya sebagai wartawan pada usia
17 tahun sebagai wartawan lepas yang aktif menulis diberbagi media massa antara
lain Harian Soeara Oemoem, harian berbahasa Jawa Ekspres, mingguan Pembela
Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer. Dia juga pernah menduduki jabatan sebagai
wakil pemimpin redaksi kantor berita pendudukan Jepang, Domei dan pemimpin
redaksi kantor berita Antara di Surabaya.
Kritis pada Era Kepemimpinan Bung Karno
Dengan jam terbangnya
yang tinggi sebagai wartawan itu, tidak aneh bila Bung Tomo sangat terusik
ketika pada tahun 1956 pemerintahan Sukarno lewat sayap militer yang waktu itu
dipimpin Mayor Jenderal A.H. Nasution, menerbitkan aturan yang melarang pers
untuk mencetak, menerbitkan, dan menyiarkan hal-hal yang mengandung kecaman,
persangkaan, atau penghinaan kepada pemerintah.
Aturan ini dianggap
akan mengebiri kebebasan pers dalam menyampaikan pendapat dan kritik pada
pemerintah. Persoalan penerbitan ini dilatar belakangi ketika harian “Pedoman”
terbitan 8 September 1956 memuat berita utama di halaman depan berjudul
"Korupsi Lebih Satu Djuta". Kasus itu melibatkan Direktur Jenderal
Percetakan Negara Piet De Queljoe dan wakilnya, Lie Hok Thay. Mereka diduga
kuat menyelewengkan dana pencetakan kertas kartu pemilihan umum Dewan
Perwakilan Rakyat dan Konstituante pada Pemilu 1955, dan dana hasil korupsinya
ini juga diduga mengalir ke kantong Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani, Namun
Ruslan urung ditangkap karena berhasil diselamatkan Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo. Dan bahkan Ruslan diduga bermain mata dengan AH Nasution untuk
meredam kritik yang dilakukan pers dengan menerbitkan peraturan tersebut.
Dengan disokong Siauw
Giok Tjhan, anggota DPR dari Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia,
Bung Tomo, yang merupakan anggota DPR yang berasal dari Partai Rakyat
Indonesia, mengajukan hak interpelasi terhadap pemerintah terkait aturan
tersebut.
Menurut Bung Tomo,
pemerintah seharusnya dalam melawan pers bukan dengan peraturan yang bersifat
karet tetapi dengan menunjukkan bukti bahwa yang dituduhkan koran-koran itu
tidak benar.
Selain menggugat kebebasan pers, Bung Tomo juga pernah menggugat Presiden Soekarno karena membubarkan DPR. Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada 24 Agustus 1960. Tapi hakim Rochjani Su'ud menolak gugatan Bung Tomo. Menurut hakim, pembubaran DPR oleh Presiden Sukarno merupakan soal politik. Menurut Bung Tomo yang dilakukan Bung Karno waktu itu mencederai demokrasi dan kedaulatan rakyat, mengapa hasil pemilu yang sah seenaknya dibubarkan begitu saja.
Tuduhan Rasialis
Bila cuma sepintas mendengarkan pidato-pidato
Bung Tomo pada masa revolusi kemerdekaan 1945 atau tulisan-tulisannya pada masa
awal Orde Baru, memang akan muncul kesan seperti itu. Pada 17 Maret 1973,
misalnya, ia menulis surat terbuka kepada pemimpin Republik Rakyat Cina, Mao
Tse Tung dan pemimpin Taiwan, Chiang Kai-shek. Intinya, dia meminta perhatian
kedua pemimpin itu untuk membantu menarik sekitar 2 juta warga Tionghoa dari
Indonesia kembali ke negara masing-masing.
Sebagai pejuang revolusi kemerdekaan, Bung Tomo
menilai ada banyak orang Tionghoa di Indonesia yang sikap dan perilakunya jauh
dari nilai-nilai nasionalisme. Hidup dan mencari makan di Indonesia, tapi sama
sekali tidak memberikan kontribusi bagi perjuangan bangsa. Sikap dan perilaku
seperti itu diperlihatkan sejak masa sebelum Indonesia merdeka. Bahkan, menurut
Bung Tomo, banyak orang Tionghoa pada masa kolonial yang menjadi kepanjangan
tangan Belanda untuk menindas rakyat Indonesia.
Menurut Bung Tomo, kalau di suatu daerah sedang
ada penguasa Indonesia, mereka menunjukkan loyalitasnya kepada Republik. Tapi,
begitu kekuasaan Belanda menduduki daerah RI, maka segera orang-orang Tionghoa itu
membantu tuannya yang lama.
Untuk menanggulangi permasalahan ini, Go Gien
Tjwan sebagai juru bicara Angkatan Muda Tionghoa, berpidato dengan menekankan
bahwa musuh rakyat Indonesia bukan etnis Tionghoa, melainkan Belanda. Ia
menyatakan etnis Tionghoa juga menjadi korban penjajahan Belanda dan tidak
menginginkan kembalinya penjajahan Belanda. Selanjutnya Siauw Giok Tjhan, tokoh
masyarakat Tionghoa lainya, menemui Bung Tomo agar mengubah sikapnya. Namun
Bung Tomo tidak bisa diyakinkan dan tetap berpendapat bahwa sebagian besar
etnis Tionghoa pro-Belanda.
Pada akhir Oktober 1945, Siauw Giok Tjhan
memimpin delegasi pemuda Tionghoa untuk bertemu dengan Bung Tomo serta
tokoh-tokoh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Soemarsono dan Soedisman, di
Nangka Jajar, sebuah kota kecil antara Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Dalam
pertemuan tersebut, disepakati bahwa pemuda-pemuda Tionghoa akan bergabung
dengan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia pimpinan Bung Tomo dan Pesindo
untuk melawan Belanda.
Namun semasa hidupnya Bung Tomo banyak memiliki
sahabat orang Tionghoa. Apa yang disampaikan dalam tiap pidato dan surat
terbukanya itu, yang dibaca tiap orang sebagai tindakan rasialis tujuan
utamanya adalah agar keturunan mana pun yang tinggal dan menjadi warga
Indonesia harus menjunjung dan memiliki nasionalisme, kecintaan terhadap Tanah
Air, dan patriotisme kepada negeri ini.
Pernah dipenjara oleh Soeharto
Pada saat awal
Orde Baru berdiri, Bung Tomo sangat mendukung sekali pemerintahan Soeharto,
namun lambat laun banyak penyimpangan yang terjadi semasa Orde Baru membuat
jiwa kritis beliau bangkit lagi. Beliau melancarkan kritikan Bung Tomo kepada
Presiden Soeharto.
Kritik Bung Tomo terhadap pemerintahan Soeharto
yang otoriter selain itu menyorot tajam terkait peran asisten pribadi Soeharto (Ali
Moertopo dan Sudjono Humardani) dan keluarga Presiden Soeharto dalam
pemerintahan. Juga soal praktek cukongisme sebagai realisasi nepotisme, melalui
peran ekonomi yang berlebihan dari pengusaha nonpribumi serta tindakan Gubernur
Ali Sadikin, dan Bulog yang seolah-olah menganakemaskan etnis Tionghoa..
Namun kritik yang paling tajam adalah soal
korupsi yang menyelimuti pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ceritanya berawal ketika pada tahun
1978 , Siti Hartinah, istri mantan Presiden Soeharto, sedang sibuk merancang pembangunan
Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Bung
Tomo mendapat informasi bahwa Bu Tien meminta para pengusaha memberikan 10
persen keuntungan usahanya untuk pembangunan TMII. Lalu Bung Tomo menyampaikan
informasi itu dan mengkritik pembangunan TMII itu dalam setiap pidatonya.
Lalu Soeharto pun kehabisan
kesabaranya menerima kritik Bung Tomo sehingga Pada
11 April 1978, Beliau ditangkap selama dengan tuduhan melakukan tindakan
subversif. Ia dipenjara selama setahun tanpa proses pengadilan di Penjara
Nirbaya, Pondok Gede, Jakara. Beliau satu penjara bersama, pakar hukum tata
negara Ismail Sunny yang juga dikenal kritis terhadap Orde Baru.
Istrinya Sulistina
tidak terima sang suami diperlakukan secara tidak adil oleh rezim Soeharto.
Perempuan yang pada saat perang kemerdekaan itu ikut aktif dalam Palang Merah
Indonesia (PMI) itu marah dan mengirim surat protes kepada Soeharto. Dalam
surat yang ditulis pada 6 Juli 1978 itu Sulistina menulis bahwa, orang yang
sudah mempertaruhkan jiwa raganya untuk mempertahankan kemerdekaan negaranya
tidak mungkin mengkhianati bangsanya sendiri.
Tentang pemenjaraan
dirinya itu ia mengatakan tak mendendam dan menganggapnya sebagai risiko
perjuangan. Risiko seorang Angkatan 45 yang ingin membela nama baik Angkatan
45-nya, dan ingin membela nama baik TNI yang ia ikut mendirikannya.
Sekeluar dari
penjara setahun kemudian, Bung Tomo lebih mencurahkan perhatiannya untuk
merawat dan mendidik keempat anaknya hingga pada 7 Oktober 1981 Bung Tomo meninggal
dunia saat tengah menunaikan ibadah haji di Padang Arafah, Arab Saudi. kemudian dibawa pulang ke Indonesia dan
dimakamkan bukan di Taman Makam Pahlawan. Namun di Pemakaman Umum di Ngagel,
Surabaya, sesuai amanahnya.
Kendati Wafat sejak lama, gelar sebagai
Pahlawan Nasional baru disematkan kepadanya pada 10 November 2008. Penyematan
gelar itu dilakukan pemerintah setelah didesak Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan
Fraksi Partai Golkar (FPG) pada 9 November 2007. Keputusan tersebut tertuang
dalam Keputusan Presiden Nomor 041/TK/TH 2008. Pemberian gelar itu disampaikan
Menkominfo, Mohammad Nuh, kepada wartawan di Surabaya, Minggu 2 November 2008.
Dengan mengenal Bing Tomo diharapkan kita bisa selalu meneladani kepribadianya serta mengenang jasa-jasanya dalam mengusir penjajah serta dapat mencontoh semangatnya
dalam membangun Indonesia dimasa mendatang menjadi lebih baik. .
Bung Tomo, Sang Singa 10 November Surabaya
4/
5
Oleh
Unknown