Saturday, November 28, 2015

Lee Kuan Yew, Bapak Pembangunan Singapura

Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew yang meninggal pada 23 Maret 2015 di Rumah Sakit Umum Singapura lalu merupakan salah satu tokoh politik yang menonjol pasca kolonialisme di Asia.

Terlahir dari pasangan kaya dan berlatar belakang pendidikan Inggris, Lee Chin Koon dan Chua Jim Neo, Lee Kuan Yew lahir pada 16 September 1923. Nama Lee Kuan Yew sendiri berasal dari dua siku kata dengan kata pertama “Lee” yang diambil dari nama keluarganya sementara "Kuan Yew" yang berarti "cahaya dan kecemerlangan", nama itu juga diartikan sebagai harapan untuk "membawa kemuliaan bagi para leluhurnya".

Meletusnya perang Asia Pasifik (1942-1945) sempat membuat kuliahnya tertunda dan pada masa itu, ia mulai berbisnis dengan menjual Stikfas, sejenis lem yang dibuat dari tapioka, di pasar gelap. Lee yang sejak 1942 mengambil mata pelajaran bahasa Mandarin dan bahasa Jepang bekerja sebagai penulis laporan kilat Sekutu bagi Jepang serta menjadi editor bahasa Inggris untuk koran Jepang Hobudu (alat propaganda Jepang) dari 1943–1944.

Setelah perang berakhir, Lee, meneruskan tradisi keluarganya dengan melanjutkan studi hukum di Universitas Cambridge, Inggris. Pengalamannya menjadi warga negara jajahan ketika itu memicu ketertarikan Lee terhadap isu-isu politik, termasuk juga sikap anti kolonialismenya pada akhir tahun 1940-an.

Setelah menyelesaikan studinya di inggris, pada tahun 1949 Ia kembali ke Singapura untuk bekerja sebagai pengacara di biro Laycock & Ong

Karier Politik Lee
Pengalaman politiknya dimulai ketika ia bertindak selaku penasihat hukum dan juru runding mewakili para pekerja kantor pos, yang ketika itu berjuang demi mendapatkan upah serta kondisi kerja yang lebih baik.
Kesuksesan dalam upayanya itu menjadikan Lee kerap ditunjuk mewakili banyak serikat-serikat pekerja yang juga memperjuangkan tujuan sama. Tak terkecuali kelompok-kelompok yang berafiliasi pada paham dan gerakan komunis ketika itu.

Demi melancarkan cita-citanya memerdekakan Singapura dan mengusir penjajah Inggris, pada tahun 1954, Lee beserta rekan-rekanya dari kelas menengah yang berlatar belakang pendidikan inggris mendirikan sebuah partai politik sebagai alat perjuangan mereka bernama Partai Aksi Rakyat (PAP), yang merangkul berbagai kalangan dari mulai para aktivis sosialis komunis, dan nasionalis yang anti kolonialis ketika itu.

Pada pertengahan 1950-an pecah kerusuhan di negeri itu yang dipicu ketegangan antara pemerintahan lokal dan para pendukung komunisme di komunitas warga Tionghoa yang berakibat penangkapan sejumlah anggota PAP berhaluan komunis.

Lee kemudian berjuang membebaskan mereka sekaligus menggelar kampanye anti korupsi menjelang pemilu legislatif tahun 1959. Kampanye Lee dan PAP berbuah manis, dengan menghasilkan kemenangan besar bagi PAP yang membuat Lee Kuan Yew menjadi Perdana Menteri pertama yang dipilih melalui pemilu di negeri itu pada 5 juli 1959.

Pada tahun 1960-an pemerintah Inggris berniat memberikan kemerdekaan pada wilayah jajahanya di Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara dalam sebuah pemerintahan federasi bernama Malaysia. Lee kemudian mendukung langkah penyatuan Singapura masuk ke dalam Fedeasi Malaysia, pada 16 September 1963 dengan pertimbangan bahwa Singapura tak mampu berdiri sendiri karena kurangnya sumber daya manusia memadai dan ketiadaan sumber daya alam yang mendukung, bahkan untuk memenuhi air minumnya pun negeri singa ini belum mampu.

Pada tahun 1964 pecah kerusuhan rasial di Singapura antara etnis Melayu dan China, karena etnis Cina yang merupakan penduduk mayoritas di Singapura tidak suka kebijakan pemerintah Federal Malaysia memberikan berbagai keistimewaan bagi etnis Melayu yang merupakan penduduk asli dan terbesar di Malaysia. Pecahnya kerusuhan itu membuat Perdana Menteri Malaysia saat itu Tengku Abdul Rahman Putra murka dan mengeluarkan Singapura dari Federasi Malaysia pada 7 Agustus 1965. Tindakan sepihak Malaysia itu akhirnya membuat Singapura mendeklarasikan kemerdekaanya secara resmi pada 9 Agustus 1965. Keputusan yang menurut Lee ketika itu sangat disesalkan dan membuat ia "menderita", karena beban yang dipikulnya saat itu sangat berat untuk mencukupi kebutuhan 2,5 juta rakyatnya. Singapura saat itu hanyalah sebuah pulau kecil yang penuh perkampungan nelayan kumuh yang tak memiliki sumber daya alam sementara sumber daya manusianya kurang berkompeten

Membangun dari bawah
Negeri tanpa sumber daya alam dan  sering kekurangan air sempat membuat Lee Kuan Yew pusing kepala dan sulit tidur. Dia meminta nasihat Dr Albert Winsemius, ekonom Belanda yang pernah memimpin tim United Nations Development Programme (UNDP) mengenai industrialisasi Singapura pada 1960. Saran Winsemius adalah membuat kesepakatan pasar dengan Malaysia, sekaligus menawarkan kerja sama perdagangan dengan Indonesia. Dia juga diminta membuka peluang pasar di Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Selandia Baru. Semua saran Dr Albert Winsemius,  ia turuti.
Di tengah pencarian jenis industri, Lee Kuan Yew membentuk Singapore Tourist Promotion Board. Saat industri mulai bergerak, ia memberi insentif bagi pengusaha lokal di berbagai usaha, seperti kosmetik, minyak goreng, krim rambut, bahkan kapur barus. Lee Kuan Yew juga sukses membujuk produsen Hong Kong dan Taiwan memindahkan industri mainan, tekstil, dan garmennya ke Singapura. 

Lee Kuan Yew memanfaatkan properti yang ditinggalkan Inggris, seperti dok perkapalan di Sembawang, yang kemudian disewakan ke Amerika Serikat. Bandara Internasional Changi juga dibuat dari bekas pangkalan udara Inggris. Tangsi militer Inggris di Pasir Panjang pun disulap menjadi Universitas Nasional Singapura.

Lewat tangan dingin Lee, Singapura saat ini tak hanya menjadi pusat finansial, pelayanan jasa, dan perdagangan kelas dunia, tetapi juga menjadi pusat transportasi laut dan udara serta industri berbasis teknologi tinggi. Walau pada awalnya negeri itu hampir tak memiliki modal kekayaan alam dan sumber daya manusia memadai.

Lee yang kembali terpilih menjadi Perdana Menteri untuk ketujuh kalinya berturut-turut pada 1963, 1968, 1972, 1976, 1980, 1984 dan 1988, kemudian mundur 28 pada November 1990 dan digantikan oleh Deputinya Goh Chok Tong. Dalam pemerintahan Goh chok Thong Lee menjabat Menteri Senior untuk mengawal jalanya pemerintahan

Ketika lengser, Lee Kuan Yew telah mewariskan kemakmuran bagi Singapura. Penggantinya, Goh Chok Tong, memperkuat pertumbuhan ekonomi yang lalu diteruskan oleh putra sulung Lee Kuan Yew, Lee Hsien Loong. Dalam buku terakhir, dia mengaku puas telah membuat Singapura menjadi negeri meritokrasi, bebas korupsi, dan setara bagi semua ras. Pada Agustus 2004, tatkala Goh mundur dan digantikan oleh anak Lee, Lee Hsien Loong, Goh menjabat Menteri Senior, sedangkan Lee menjabat Menteri Penasihat.

Kehidupan Pribadi Lee
Dalam kehidupan pribadi, Lee menikah dengan teman sekelasnya di Cambridge, Kwa Geok Choo. Kematian istrinya setelah menikah lebih dari 60 tahun, pada 2010, meninggalkan duka mendalam baginya.
Pasangan itu memiliki tiga anak. Yang tertua, Lee Hsien Loong yang menjabat Posisi Perdana menteri Singapura sejak 2004 hingga kini sekaligus Menteri Keuangan Singapura serta Wakil Ketua Perusahaan Investasi Pemerintah (GIC). Anak keduanya Lee Hsien memegang posisi penting di perusahaan telekomunikasi SingTel. Anak perempuannya, Lee Wei Ling, mengurus Institusi Saraf Nasional. Menantu perempuannya, Ho Ching (istri Lee Hsien Loong), mengurus Temasek Holdings, sebuah perusahaan perseroan terkemuka yang memegang saham mayoritas di berbagai perusahaan pemerintah. Lee acapkali membantah tuduhan nepotisme dengan argumen posisi terkemuka yang dipegang anggota keluarganya berdasarkan prestasi masing-masing.

Kesuksesan dan Kontroversi
Keberhasilan Lee dalam mentransformasi Singapura dari sebuah perkampungan nelayan kumuh menjadi kota modern serta memakmurkan warganya selam 31 tahun kekuasaanya sudah tak bisa disangkal lagi oleh siapapun. Walau dipuji sukses membawa negerinya menuju kemakmuran, Lee kerap dikritik karena menerapkan kebijakan tangan besi semasa memerintah, di mana kebebasan berbicara sangat

Dalam satu kesempatan, Lee pernah mengatakan, bentuk demokrasi ala Barat tak selalu cocok diterapkan di negara mana pun. Bagi negara muda dan kecil seperti Singapura, yang dibutuhkan pertama kali adalah stabilitas dan pertumbuhan ekonomi sebelum rakyat negeri itu bisa menikmati kemewahan demokrasi dan kebebasan individu seperti diterapkan di Barat.


Lee Kuan Yew, Bapak Pembangunan Singapura
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.