Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew yang meninggal pada 23 Maret
2015 di Rumah Sakit Umum Singapura lalu merupakan salah satu tokoh politik yang
menonjol pasca kolonialisme di Asia.
Terlahir dari pasangan kaya dan berlatar belakang pendidikan Inggris, Lee
Chin Koon dan Chua Jim Neo, Lee Kuan Yew lahir pada 16 September 1923. Nama Lee
Kuan Yew sendiri berasal dari dua siku kata dengan kata pertama “Lee” yang
diambil dari nama keluarganya sementara "Kuan Yew" yang berarti
"cahaya dan kecemerlangan", nama itu juga diartikan sebagai harapan
untuk "membawa kemuliaan bagi para leluhurnya".
Meletusnya perang Asia Pasifik (1942-1945) sempat membuat kuliahnya
tertunda dan pada masa itu, ia mulai berbisnis dengan menjual Stikfas, sejenis
lem yang dibuat dari tapioka, di pasar gelap. Lee yang sejak 1942 mengambil
mata pelajaran bahasa Mandarin dan bahasa Jepang bekerja sebagai penulis
laporan kilat Sekutu bagi Jepang serta menjadi editor bahasa Inggris untuk
koran Jepang Hobudu (alat propaganda
Jepang) dari 1943–1944.
Setelah perang berakhir, Lee, meneruskan tradisi keluarganya dengan
melanjutkan studi hukum di Universitas Cambridge, Inggris. Pengalamannya
menjadi warga negara jajahan ketika itu memicu ketertarikan Lee terhadap
isu-isu politik, termasuk juga sikap anti kolonialismenya pada akhir tahun
1940-an.
Setelah menyelesaikan studinya di inggris, pada tahun 1949 Ia kembali ke
Singapura untuk bekerja sebagai pengacara di biro Laycock & Ong
Karier Politik Lee
Pengalaman politiknya dimulai ketika ia bertindak selaku penasihat hukum
dan juru runding mewakili para pekerja kantor pos, yang ketika itu berjuang
demi mendapatkan upah serta kondisi kerja yang lebih baik.
Kesuksesan dalam upayanya itu menjadikan Lee kerap ditunjuk mewakili banyak
serikat-serikat pekerja yang juga memperjuangkan tujuan sama. Tak terkecuali
kelompok-kelompok yang berafiliasi pada paham dan gerakan komunis ketika itu.
Demi melancarkan cita-citanya memerdekakan Singapura dan mengusir penjajah
Inggris, pada tahun 1954, Lee beserta rekan-rekanya dari kelas menengah yang
berlatar belakang pendidikan inggris mendirikan sebuah partai politik sebagai
alat perjuangan mereka bernama Partai Aksi Rakyat (PAP), yang merangkul berbagai
kalangan dari mulai para aktivis sosialis komunis, dan nasionalis yang anti
kolonialis ketika itu.
Pada pertengahan 1950-an pecah kerusuhan di negeri itu yang dipicu
ketegangan antara pemerintahan lokal dan para pendukung komunisme di komunitas
warga Tionghoa yang berakibat penangkapan sejumlah anggota PAP berhaluan
komunis.
Lee kemudian berjuang membebaskan mereka sekaligus menggelar kampanye anti
korupsi menjelang pemilu legislatif tahun 1959. Kampanye Lee dan PAP berbuah
manis, dengan menghasilkan kemenangan besar bagi PAP yang membuat Lee Kuan Yew
menjadi Perdana Menteri pertama yang dipilih melalui pemilu di negeri itu pada
5 juli 1959.
Pada tahun 1960-an pemerintah Inggris berniat memberikan kemerdekaan pada
wilayah jajahanya di Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara dalam sebuah pemerintahan
federasi bernama Malaysia. Lee kemudian mendukung langkah penyatuan Singapura masuk
ke dalam Fedeasi Malaysia, pada 16 September 1963 dengan pertimbangan bahwa
Singapura tak mampu berdiri sendiri karena kurangnya sumber daya manusia
memadai dan ketiadaan sumber daya alam yang mendukung, bahkan untuk memenuhi
air minumnya pun negeri singa ini belum mampu.
Pada tahun 1964 pecah kerusuhan rasial di Singapura antara etnis Melayu dan
China, karena etnis Cina yang merupakan penduduk mayoritas di Singapura tidak
suka kebijakan pemerintah Federal Malaysia memberikan berbagai keistimewaan bagi
etnis Melayu yang merupakan penduduk asli dan terbesar di Malaysia. Pecahnya
kerusuhan itu membuat Perdana Menteri Malaysia saat itu Tengku Abdul Rahman
Putra murka dan mengeluarkan Singapura dari Federasi Malaysia pada 7 Agustus
1965. Tindakan sepihak Malaysia itu akhirnya membuat Singapura mendeklarasikan
kemerdekaanya secara resmi pada 9 Agustus 1965. Keputusan yang menurut Lee
ketika itu sangat disesalkan dan membuat ia "menderita", karena beban
yang dipikulnya saat itu sangat berat untuk mencukupi kebutuhan 2,5 juta
rakyatnya. Singapura saat itu hanyalah sebuah pulau kecil yang penuh perkampungan
nelayan kumuh yang tak memiliki sumber daya alam sementara sumber daya
manusianya kurang berkompeten
Membangun dari bawah
Negeri tanpa sumber daya alam dan sering kekurangan air sempat
membuat Lee Kuan Yew pusing kepala dan sulit tidur. Dia meminta nasihat Dr
Albert Winsemius, ekonom Belanda yang pernah memimpin tim United Nations
Development Programme (UNDP) mengenai industrialisasi Singapura pada 1960.
Saran Winsemius adalah membuat kesepakatan pasar dengan Malaysia, sekaligus
menawarkan kerja sama perdagangan dengan Indonesia. Dia juga diminta membuka
peluang pasar di Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Selandia Baru. Semua
saran Dr Albert Winsemius, ia turuti.
Di tengah pencarian jenis industri, Lee Kuan Yew membentuk Singapore Tourist Promotion Board. Saat
industri mulai bergerak, ia memberi insentif bagi pengusaha lokal di berbagai
usaha, seperti kosmetik, minyak goreng, krim rambut, bahkan kapur barus. Lee Kuan
Yew juga sukses membujuk produsen Hong Kong dan Taiwan memindahkan industri
mainan, tekstil, dan garmennya ke Singapura.
Lee Kuan Yew memanfaatkan properti yang ditinggalkan Inggris, seperti dok
perkapalan di Sembawang, yang kemudian disewakan ke Amerika Serikat. Bandara
Internasional Changi juga dibuat dari bekas pangkalan udara Inggris. Tangsi
militer Inggris di Pasir Panjang pun disulap menjadi Universitas Nasional
Singapura.
Lewat tangan dingin Lee, Singapura saat ini tak hanya menjadi pusat
finansial, pelayanan jasa, dan perdagangan kelas dunia, tetapi juga menjadi
pusat transportasi laut dan udara serta industri berbasis teknologi tinggi.
Walau pada awalnya negeri itu hampir tak memiliki modal kekayaan alam dan
sumber daya manusia memadai.
Lee yang kembali terpilih menjadi Perdana Menteri untuk ketujuh kalinya
berturut-turut pada 1963, 1968, 1972, 1976, 1980, 1984 dan 1988, kemudian
mundur 28 pada November 1990 dan digantikan oleh Deputinya Goh Chok Tong. Dalam
pemerintahan Goh chok Thong Lee menjabat Menteri Senior untuk mengawal jalanya
pemerintahan
Ketika lengser, Lee Kuan Yew telah mewariskan kemakmuran bagi Singapura.
Penggantinya, Goh Chok Tong, memperkuat pertumbuhan ekonomi yang lalu
diteruskan oleh putra sulung Lee Kuan Yew, Lee Hsien Loong. Dalam buku
terakhir, dia mengaku puas telah membuat Singapura menjadi negeri meritokrasi,
bebas korupsi, dan setara bagi semua ras. Pada Agustus 2004, tatkala Goh mundur
dan digantikan oleh anak Lee, Lee Hsien Loong, Goh menjabat Menteri Senior,
sedangkan Lee menjabat Menteri Penasihat.
Kehidupan Pribadi Lee
Dalam kehidupan pribadi, Lee menikah
dengan teman sekelasnya di Cambridge, Kwa Geok Choo. Kematian istrinya setelah
menikah lebih dari 60 tahun, pada 2010, meninggalkan duka mendalam baginya.
Pasangan itu memiliki tiga anak. Yang tertua, Lee Hsien Loong yang menjabat
Posisi Perdana menteri Singapura sejak 2004 hingga kini sekaligus Menteri
Keuangan Singapura serta Wakil Ketua Perusahaan Investasi Pemerintah (GIC).
Anak keduanya Lee Hsien memegang posisi penting di perusahaan telekomunikasi
SingTel. Anak perempuannya, Lee Wei Ling, mengurus Institusi Saraf Nasional.
Menantu perempuannya, Ho Ching (istri Lee Hsien Loong), mengurus Temasek
Holdings, sebuah perusahaan perseroan terkemuka yang memegang saham mayoritas
di berbagai perusahaan pemerintah. Lee acapkali membantah tuduhan nepotisme
dengan argumen posisi terkemuka yang dipegang anggota keluarganya berdasarkan
prestasi masing-masing.
Kesuksesan dan Kontroversi
Keberhasilan Lee dalam mentransformasi Singapura dari sebuah perkampungan
nelayan kumuh menjadi kota modern serta memakmurkan warganya selam 31 tahun
kekuasaanya sudah tak bisa disangkal lagi oleh siapapun. Walau dipuji sukses
membawa negerinya menuju kemakmuran, Lee kerap dikritik karena menerapkan
kebijakan tangan besi semasa memerintah, di mana kebebasan berbicara sangat
Dalam satu kesempatan, Lee pernah mengatakan, bentuk demokrasi ala Barat
tak selalu cocok diterapkan di negara mana pun. Bagi negara muda dan kecil
seperti Singapura, yang dibutuhkan pertama kali adalah stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi sebelum rakyat negeri itu bisa menikmati kemewahan
demokrasi dan kebebasan individu seperti diterapkan di Barat.
Lee Kuan Yew, Bapak Pembangunan Singapura
4/
5
Oleh
Unknown