Setelah ditunjuk menjadi Perdana Menteri pada 14 November 1945 Sjahrir
langsung mengusung kabinet dan program kerja yang benar-benar bersih anasir anasir pengaruh Jepang
Kabinet I Sjahrir ini mengusung Program
Kabinet antara lain,
1. Menyempurnakan
susunan Pemerintah Daerah berdasarkan kedaulatan Rakyat
2. Mencapai
Koordinasi segala tenaga rakyat di dalam usaha menegakkan Negara Republik
Indonesia serta pembangunan masyarakat yang berdasarkan keadilan dan
perikemanusiaan.
3. Berusaha
untuk memperbaiki kemakmuran rakyat di antaranya dengan jalan pembagian pangan.
4. Berusaha
mempercepat keberesan tentang hal uang Republik Indonesia.
Disamping
bukan antek-antek Jepang, Sjahrir disukai oleh beberapa kelompok pemuda karena
bersifat progresif namun rasional. Bagi dia, Indonesia sebagai negara baru
belum memiliki layar yang cukup besar untuk mulai berlayar di lautan lepas.
Perlu waktu untuk menyempurnakan kebutuhan-kebutuhan material. Menurutnya juga,
kemenangan tidak selalu dapat digapai dengan semangat, tetapi juga dengan
rapinya pengorganisasian negara tersebut. Dapat dikatakan bahwa Sjahrir ingin
membuktikan pada dunia bahwa negaranya lebih mengedepankan jalan damai semacam
diplomasi, karena sikap tersebut mencerminkan bahwa Indonesia telah siap
ditantang untuk bertarung di arena padat intelektualitas.
Pada
20 November Sutan Sjahrir memproklamirkan berdirinya Partai Rakyat Sosialis
(Paras), wakilnya yaitu Amir Syarifuddin telah mendirikan Partai Sosialis
Indonesia (Parsi) beberapa minggu sebelumnya. Mereka memperkuat posisi dengan
memobilisasi organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan partainya.
Pendekatan terhadap pemuda-pemuda revolusioner pun dilakukan layaknya partai
lain yang juga menjajaki tahap awal. Aktivis pemuda yang telah bergabung dan
paham perihal prinsip pimpinannya, mengusulkan agar Parsi dan Paras
melebur. Kedua pihak setuju karena tidak
ada perbedaan prinsip secara mendasar. Maka diadakanlah fusi oleh para aktivis
pemuda dengan mengusung nama baru, yakni Partai Sosialis (PS) pada Desember
1945 di Cirebon. Meski PS telah terbentuk dan tidak pertentangan internal,
didalamnya mengandung berbagai rencana untuk mencapai tujuan masing-masing
kelompok (Grup Amir, Grup Sjahrir, Grup mantan mahasiswa Eropa dan Grup Yogya),
yang merujuk bubarnya persekutuan mereka dikemudian hari. PS pun tidak memiliki
ketua melainkan sebuah dewan pimpinan dan Sjahrir tidak mencampuri dewan ini.
Sebaliknya, Amir memimpin perkembangan partai secara aktual.[9] Sebelum itu,
Amir pun telah memobilisasi pemuda-pemuda revolusioner dengan duduk sebagai
badan penasihat organisasi pemuda bernama Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia),
yang terbentuk oleh gabungan 7 organisasi pada kongres pemuda 10 November di
Yogyakarta. Ketujuh organ tersebut adalah Angkatan Pemuda Indonesia (Jakarta),
Gerakan Pemuda Republik Indonesia (Yogyakarta), Angkatan Muda Republik
Indonesia (Semarang), Angkatan Muda Kereta Api, Angkatan Muda Gas dan Listrik,
Angkatan Muda Pos dan Telegram, serta Pemuda Republik Indonesia.Di Yogyakarta,
Pesindo memiliki majalah Revolusioner yang mana aktif mendukung setiap jengkal
kabinet yang diusung Sjahrir-Amir. Sedangkan di Magelang, Pesindo menerbitkan
koran Penghela Rakyat. Pesindo menjadi kuat dengan keanggotaan yang besar dan
meluas. Selain itu kemajuan-kemajuannya pun disokong oleh pemerintah. Ditilik
dari formasi pendukungnya yang mayoritas beraliran Marxis, kabinet Sjahrir
sering disebut sebagai Kabinet Sayap Kiri. Meski sebelumnya telah dipaparkan
formasi kekuatan pendukungnya, Sjahrir – Amir harus menghadapi lawan politik
yang kuat dalam perjalanannya menuntaskan program kerja yang telah diusung
harus menghadapi lawan-lawan yang tidak kalah kuat. Diantaranya adalah kelompok
tentara dan kelompok Tan Malaka.
BKR
yang telah berganti nama menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) sejak 5 Oktober
dan Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Staf, memposisikan diri sebagai kesatuan
tentara hasil gabungan dari berbagai kelaskaran dan sisa-sisa bentukan Belanda dan Jepang. Soeprijadi,
yang ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan oleh Soekarno, tidak kunjung muncul.
Hal tersebut diindasikan bahwa Soeprijadi telah gugur bersama anak buahnya pada
masa pemberontakan di Blitar. Kekosongan kepepimpinan tersebut sangat
mencemaskan para perwira TKR, sehingga pada 11 November dilantiklah Panglima
Besar TKR, Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Kongres besar tentara tersebut
menyudutkan posisi Sjahrir yang menginginkan Amir Sjarifuddin menduduki Menteri Pertahanan.
Maka diambilah keputusan untuk memblokir pengangkatan Sultan Hamengkubuwono IX,
yang diidamkan pihak tentara, sebagai menteri bidang ketentaraan tersebut. Dapat disimpulkan dengan mudah bagaimana perasaan pihak tentara terkait
penundaan tersebut dan mulai mengakar kepada politisi sipil.
Kabinet
Sayap Kiri I yang mana mayoritas penggeraknya beraliran Marxis, terutama Amir
memiliki perbedaan konsepsi mengenai ketentaraan dengan pimpinan TRI (Tentara
Republik Indonesia, telah berganti nama sejak 1 Januari 1946). Prinsip yang
dipegang Amir mengenai tentara negara adalah bahwa ideologi revolusioner harus
dipelihara sebaik mungkin. Untuk mewujudkannya, dalam setiap kesatuan tentara
harus ada opsir politik atau fungsionaris partai untuk memelihara semangat
juang. Negara adalah alat partai, maka setiap unsur-unsur dibawahnya pun harus
bergerak sesuai visi dan perintah partai. Konsepsi Amir tersebut diilhami dari
negara-negara komunis. Soegijono, seorang pakar Marxisme saat itu pun
mengatakan bahwa dalam suatu perang modern seluruh rakyat akan terlibat dan
bukan semata-mata kepentingan tentara. Keefektifan tentara dalam berperang
sangat bergantung dari semangat tiap prajuritnya. Kesadaran, kerelaan dan
kesediaan berkorban harus ditumbuhkan untuk melengkapi kedisipilinan. Untuk
menjaga jiwa tersebut agar tetap tumbuh maka perwira staf berpendidikan politik
dituntut keeksisannya. Perwira ini membantu komandan dalam memberikan
penjelasan serta mendengarkan setiap keluhan prajurit. Kementerian Pertahanan
mulai membina aspek kepolitikan kepada opsir-opsir dengan tujuan, pengaruh
pemerintah menjalar dengan baik sejak 1946. Sangat menarik ketika staf khusus
pendidik opsir-opsir politik terdiri dari tentara yang juga berafiliasi dengan
partai yang bukan partai pemerintah. Pada 30 Mei, 55 opsir politik dilantik dan
langsung diterjunkan ke tengah-tengah kesatuan tentara.
Pihak
tentara memiliki prinsip berbeda dengan yang didengungkan pemerintah. Tentara
merupakan unsur revolusioner yang harus berpolitik secara luas dan bukan robot
pemerintah. Persoalan ketahanan negara pun bukan semata-mata masalah politik.
Kemudian, dalam penyusunan perangkat ketahanan negara juga dituntut suatu
keorganisasian yang rapi dengan garis komando yang ketat. Di sisi lain,
pihak TRI gusar ketika pemerintah menyuarakan pemerintahan bersih dari
imperialis dan fasistis. Hal itu terjadi karena pimpinan TRI adalah
perwira-perwira hasil didikan KNIL (Belanda) dan PETA (Jepang). Sentimen
tersebut senantiasa hadir dengan mudahnya karena latar belakang pendidikan
militer dan gelar kepangkatan mereka memang didapat dari badan kemiliteran
tersebut. Perang dingin ini terus berlangsung, ditambah lagi ketika Amir
membuat laskar-laskar yang setia kepadanya dan dibiayai oleh negara.
Oposisi lain kabinet Sayap Kiri
adalah golongan Tan Malaka yang diisi oleh pemuda-pemuda macam Sukarni, Chaerul
Saleh, Adam Malik dkk yang telah keluar dari keanggotaan Pesindo. Achmad
Soebardjo dan kompatriotnya yang disingkirkan kabinet Sjahrir pun turut
mendukung Tan Malaka dalam upaya memberikan tekanan kepada pemerintah. Golongan
oposisi ini berhasil membentuk front bernama Persatuan Perjuangan (PP), hasil
dari peleburan 138 organisasi massa, politik, laskar, dan pimpinan TRI pada 3 –
5 Januari 1946 di Purwokerto.
Berikut adalah petikan pernyataan Tan Malaka
“Kami
tidak bersedia berunding bila musuh masih tetap di negeri kami. Kalau kami
bersedia mengadakan perundingan, kami melakukannya bertentangan dengan kehendak
khalayak ramai. Oleh karena itu, selama masih ada satu orang musuh pun di
negeri kami, selama masih ada kapal musuh dipantai kami, kami harus terus
berjuang”
Pertemuan
kedua digelar di kota Solo sepuluh hari berikutnya (15-16 Januari 1946) dan
tiga organisasi baru ikut bergabung. Pertemuan kedua, Jenderal Soedirman hadir
dan memberikan dukungan. Kedatangan Soedirman adalah suatu langkah konkretnya
dalam menyalurkan sentiment dalam diri terhadap pemerintah yang ada. Seperti
yang telah diuraikan sebelumnya, pihak tentara telah memulai perang dingin
dengan kabinet Sayap Kiri lebih dulu. PP merumuskan program yang harus
dijadikan pedoman oleh negara, diantaranya :
1. Berunding
atas pengakuan kemerdekaan seratus persen
2. Pemerintah
Rakyat (maksudnya sesuai dengan kemauan rakyat)
3. Tentara
Rakyat (maksudnya sesuai dengan kemauan rakyat)
4. Melucuti tentara Jepang
5. Mengurus
tawanan berkebangsaan Eropa
6. Menyita
hak-hak pertanian musuh
7. Menyita
hak-hak perindustrian musuh (pabrik, bengkel, tambang dan lain-lain)
Pemaparan
pokok-pokok program tadi disepakati oleh panitia yang terdiri dari Pesindo
(Ibnu Parna), Masyumi (Wali al-Fatah), Dewan Pusat Perjuangan Jawa Tengah (Ir.
Sakirman), Serikat Rakyat Indonesia (atau nantinya menjadi PNI-Mangunsarkoro),
Partai Sosialis (Abdulmadjid), Markas Besar TRI (Jenderal Soedirman) TLRI
(Atmadji) Perwari (Ny. Mangunsarkoro), Tan Malaka, dan seorang dari Panitia
Musyawarah Solo.
Persatuan
Perjuangan dengan cepat menjelma menjadi oposisi yang menyerap banyak kekuatan
massa. Program PP dan program kabinet yang saling berbenturan secara keras,
juga karena diisi banyak golongan, membuat Sjahrir yang kala itu masih di
Jakarta menjadi kalang kabut. Soekarno telah memindahkan ibukota ke Yogyakarta
sejak 4 Januari karena situasi memasuki tahap ‘awas’ oleh kedatangan tentara
Sekutu dan Belanda pun diberbagai daerah,
terutama Jakarta. Tekanan dari dua sisi membuat Sjahrir tidak kuat mempertahankan kabinet yang cenderung tidak
memiliki mayoritas suara. Selain itu, komposisi kabinetnya pun banyak yang
tidak mewakili partai-partai di KNIP, maka Sjahrir bisa kapan saja dijatuhkan.
Menyadari terjangan gelombang yang sangat kuat dari oposisi, Sjahrir
menyerahkan mandatnya sebagai Perdana Menteri kepada Soekarno pada 23 Februari
dan secara resmi kabinet Sayap Kiri I bubar pada 28 Februari dalam rapat pleno
KNIP di Surakarta. Terhitung dari awal pembentukannya, Sjahrir hanya dapat
bertahan menjalankan roda kekuasaan selama 3 bulan.
Kabinet Sjahrir I
4/
5
Oleh
Unknown