Wednesday, December 23, 2015

Kabinet Sjahrir I

Setelah ditunjuk menjadi Perdana Menteri pada 14 November 1945 Sjahrir langsung mengusung kabinet dan program kerja yang benar-benar bersih anasir anasir pengaruh Jepang 
Kabinet I Sjahrir ini mengusung Program Kabinet antara lain,

1.    Menyempurnakan susunan Pemerintah Daerah berdasarkan kedaulatan Rakyat
2.    Mencapai Koordinasi segala tenaga rakyat di dalam usaha menegakkan Negara Republik Indonesia serta pembangunan masyarakat yang berdasarkan keadilan dan perikemanusiaan.
3.    Berusaha untuk memperbaiki kemakmuran rakyat di antaranya dengan jalan pembagian pangan.
4.    Berusaha mempercepat keberesan tentang hal uang Republik Indonesia.


Disamping bukan antek-antek Jepang, Sjahrir disukai oleh beberapa kelompok pemuda karena bersifat progresif namun rasional. Bagi dia, Indonesia sebagai negara baru belum memiliki layar yang cukup besar untuk mulai berlayar di lautan lepas. Perlu waktu untuk menyempurnakan kebutuhan-kebutuhan material. Menurutnya juga, kemenangan tidak selalu dapat digapai dengan semangat, tetapi juga dengan rapinya pengorganisasian negara tersebut. Dapat dikatakan bahwa Sjahrir ingin membuktikan pada dunia bahwa negaranya lebih mengedepankan jalan damai semacam diplomasi, karena sikap tersebut mencerminkan bahwa Indonesia telah siap ditantang untuk bertarung di arena padat intelektualitas.

Pada 20 November Sutan Sjahrir memproklamirkan berdirinya Partai Rakyat Sosialis (Paras), wakilnya yaitu Amir Syarifuddin telah mendirikan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) beberapa minggu sebelumnya. Mereka memperkuat posisi dengan memobilisasi organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan partainya. Pendekatan terhadap pemuda-pemuda revolusioner pun dilakukan layaknya partai lain yang juga menjajaki tahap awal. Aktivis pemuda yang telah bergabung dan paham perihal prinsip pimpinannya, mengusulkan agar Parsi dan Paras melebur.  Kedua pihak setuju karena tidak ada perbedaan prinsip secara mendasar. Maka diadakanlah fusi oleh para aktivis pemuda dengan mengusung nama baru, yakni Partai Sosialis (PS) pada Desember 1945 di Cirebon. Meski PS telah terbentuk dan tidak pertentangan internal, didalamnya mengandung berbagai rencana untuk mencapai tujuan masing-masing kelompok (Grup Amir, Grup Sjahrir, Grup mantan mahasiswa Eropa dan Grup Yogya), yang merujuk bubarnya persekutuan mereka dikemudian hari. PS pun tidak memiliki ketua melainkan sebuah dewan pimpinan dan Sjahrir tidak mencampuri dewan ini. Sebaliknya, Amir memimpin perkembangan partai secara aktual.[9] Sebelum itu, Amir pun telah memobilisasi pemuda-pemuda revolusioner dengan duduk sebagai badan penasihat organisasi pemuda bernama Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), yang terbentuk oleh gabungan 7 organisasi pada kongres pemuda 10 November di Yogyakarta. Ketujuh organ tersebut adalah Angkatan Pemuda Indonesia (Jakarta), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (Yogyakarta), Angkatan Muda Republik Indonesia (Semarang), Angkatan Muda Kereta Api, Angkatan Muda Gas dan Listrik, Angkatan Muda Pos dan Telegram, serta Pemuda Republik Indonesia.Di Yogyakarta, Pesindo memiliki majalah Revolusioner yang mana aktif mendukung setiap jengkal kabinet yang diusung Sjahrir-Amir. Sedangkan di Magelang, Pesindo menerbitkan koran Penghela Rakyat. Pesindo menjadi kuat dengan keanggotaan yang besar dan meluas. Selain itu kemajuan-kemajuannya pun disokong oleh pemerintah. Ditilik dari formasi pendukungnya yang mayoritas beraliran Marxis, kabinet Sjahrir sering disebut sebagai Kabinet Sayap Kiri. Meski sebelumnya telah dipaparkan formasi kekuatan pendukungnya, Sjahrir – Amir harus menghadapi lawan politik yang kuat dalam perjalanannya menuntaskan program kerja yang telah diusung harus menghadapi lawan-lawan yang tidak kalah kuat. Diantaranya adalah kelompok tentara dan kelompok Tan Malaka. 

BKR yang telah berganti nama menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) sejak 5 Oktober dan Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Staf, memposisikan diri sebagai kesatuan tentara hasil gabungan dari berbagai kelaskaran dan sisa-sisa  bentukan Belanda dan Jepang. Soeprijadi, yang ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan oleh Soekarno, tidak kunjung muncul. Hal tersebut diindasikan bahwa Soeprijadi telah gugur bersama anak buahnya pada masa pemberontakan di Blitar. Kekosongan kepepimpinan tersebut sangat mencemaskan para perwira TKR, sehingga pada 11 November dilantiklah Panglima Besar TKR, Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Kongres besar tentara tersebut menyudutkan posisi Sjahrir yang menginginkan Amir Sjarifuddin menduduki Menteri Pertahanan. Maka diambilah keputusan untuk memblokir pengangkatan Sultan Hamengkubuwono IX, yang diidamkan pihak tentara, sebagai menteri bidang ketentaraan tersebut. Dapat disimpulkan dengan mudah bagaimana perasaan pihak tentara terkait penundaan tersebut dan mulai mengakar kepada politisi sipil.

Kabinet Sayap Kiri I yang mana mayoritas penggeraknya beraliran Marxis, terutama Amir memiliki perbedaan konsepsi mengenai ketentaraan dengan pimpinan TRI (Tentara Republik Indonesia, telah berganti nama sejak 1 Januari 1946). Prinsip yang dipegang Amir mengenai tentara negara adalah bahwa ideologi revolusioner harus dipelihara sebaik mungkin. Untuk mewujudkannya, dalam setiap kesatuan tentara harus ada opsir politik atau fungsionaris partai untuk memelihara semangat juang. Negara adalah alat partai, maka setiap unsur-unsur dibawahnya pun harus bergerak sesuai visi dan perintah partai. Konsepsi Amir tersebut diilhami dari negara-negara komunis. Soegijono, seorang pakar Marxisme saat itu pun mengatakan bahwa dalam suatu perang modern seluruh rakyat akan terlibat dan bukan semata-mata kepentingan tentara. Keefektifan tentara dalam berperang sangat bergantung dari semangat tiap prajuritnya. Kesadaran, kerelaan dan kesediaan berkorban harus ditumbuhkan untuk melengkapi kedisipilinan. Untuk menjaga jiwa tersebut agar tetap tumbuh maka perwira staf berpendidikan politik dituntut keeksisannya. Perwira ini membantu komandan dalam memberikan penjelasan serta mendengarkan setiap keluhan prajurit. Kementerian Pertahanan mulai membina aspek kepolitikan kepada opsir-opsir dengan tujuan, pengaruh pemerintah menjalar dengan baik sejak 1946. Sangat menarik ketika staf khusus pendidik opsir-opsir politik terdiri dari tentara yang juga berafiliasi dengan partai yang bukan partai pemerintah. Pada 30 Mei, 55 opsir politik dilantik dan langsung diterjunkan ke tengah-tengah kesatuan tentara.

Pihak tentara memiliki prinsip berbeda dengan yang didengungkan pemerintah. Tentara merupakan unsur revolusioner yang harus berpolitik secara luas dan bukan robot pemerintah. Persoalan ketahanan negara pun bukan semata-mata masalah politik. Kemudian, dalam penyusunan perangkat ketahanan negara juga dituntut suatu keorganisasian yang rapi dengan garis komando yang ketat. Di sisi lain, pihak TRI gusar ketika pemerintah menyuarakan pemerintahan bersih dari imperialis dan fasistis. Hal itu terjadi karena pimpinan TRI adalah perwira-perwira hasil didikan KNIL (Belanda) dan PETA (Jepang). Sentimen tersebut senantiasa hadir dengan mudahnya karena latar belakang pendidikan militer dan gelar kepangkatan mereka memang didapat dari badan kemiliteran tersebut. Perang dingin ini terus berlangsung, ditambah lagi ketika Amir membuat laskar-laskar yang setia kepadanya dan dibiayai oleh negara.

Oposisi lain kabinet Sayap Kiri adalah golongan Tan Malaka yang diisi oleh pemuda-pemuda macam Sukarni, Chaerul Saleh, Adam Malik dkk yang telah keluar dari keanggotaan Pesindo. Achmad Soebardjo dan kompatriotnya yang disingkirkan kabinet Sjahrir pun turut mendukung Tan Malaka dalam upaya memberikan tekanan kepada pemerintah. Golongan oposisi ini berhasil membentuk front bernama Persatuan Perjuangan (PP), hasil dari peleburan 138 organisasi massa, politik, laskar, dan pimpinan TRI pada 3 – 5 Januari 1946 di Purwokerto.
Berikut adalah petikan pernyataan Tan Malaka
“Kami tidak bersedia berunding bila musuh masih tetap di negeri kami. Kalau kami bersedia mengadakan perundingan, kami melakukannya bertentangan dengan kehendak khalayak ramai. Oleh karena itu, selama masih ada satu orang musuh pun di negeri kami, selama masih ada kapal musuh dipantai kami, kami harus terus berjuang”

Pertemuan kedua digelar di kota Solo sepuluh hari berikutnya (15-16 Januari 1946) dan tiga organisasi baru ikut bergabung. Pertemuan kedua, Jenderal Soedirman hadir dan memberikan dukungan. Kedatangan Soedirman adalah suatu langkah konkretnya dalam menyalurkan sentiment dalam diri terhadap pemerintah yang ada. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pihak tentara telah memulai perang dingin dengan kabinet Sayap Kiri lebih dulu. PP merumuskan program yang harus dijadikan pedoman oleh negara, diantaranya :

1.    Berunding atas pengakuan kemerdekaan seratus persen
2.    Pemerintah Rakyat (maksudnya sesuai dengan kemauan rakyat)
3.    Tentara Rakyat (maksudnya sesuai dengan kemauan rakyat)
4.    Melucuti  tentara Jepang
5.    Mengurus tawanan berkebangsaan Eropa
6.    Menyita hak-hak pertanian musuh
7.    Menyita hak-hak perindustrian musuh (pabrik, bengkel, tambang dan lain-lain)
Pemaparan pokok-pokok program tadi disepakati oleh panitia yang terdiri dari Pesindo (Ibnu Parna), Masyumi (Wali al-Fatah), Dewan Pusat Perjuangan Jawa Tengah (Ir. Sakirman), Serikat Rakyat Indonesia (atau nantinya menjadi PNI-Mangunsarkoro), Partai Sosialis (Abdulmadjid), Markas Besar TRI (Jenderal Soedirman) TLRI (Atmadji) Perwari (Ny. Mangunsarkoro), Tan Malaka, dan seorang dari Panitia Musyawarah Solo.


Persatuan Perjuangan dengan cepat menjelma menjadi oposisi yang menyerap banyak kekuatan massa. Program PP dan program kabinet yang saling berbenturan secara keras, juga karena diisi banyak golongan, membuat Sjahrir yang kala itu masih di Jakarta menjadi kalang kabut. Soekarno telah memindahkan ibukota ke Yogyakarta sejak 4 Januari karena situasi memasuki tahap ‘awas’ oleh kedatangan tentara Sekutu dan Belanda pun  diberbagai daerah, terutama Jakarta. Tekanan dari dua sisi membuat Sjahrir tidak kuat  mempertahankan kabinet yang cenderung tidak memiliki mayoritas suara. Selain itu, komposisi kabinetnya pun banyak yang tidak mewakili partai-partai di KNIP, maka Sjahrir bisa kapan saja dijatuhkan. Menyadari terjangan gelombang yang sangat kuat dari oposisi, Sjahrir menyerahkan mandatnya sebagai Perdana Menteri kepada Soekarno pada 23 Februari dan secara resmi kabinet Sayap Kiri I bubar pada 28 Februari dalam rapat pleno KNIP di Surakarta. Terhitung dari awal pembentukannya, Sjahrir hanya dapat bertahan menjalankan roda kekuasaan selama 3 bulan.
Kabinet Sjahrir I
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.