Wednesday, December 23, 2015

Kabinet Sjahrir II

Setelah kabinet Sjahrir I ada runtuh, maka Soekarno meminta pihak oposisi (PP) untuk membentuk kabinet baru. Namun, karena heterogenitas yang tinggi dalam komposisi PP sendiri, maka komitmen diantara mereka hilang, artinya PP terpecah-pecah dengan kepentingan kelompoknya masing-masing. Terutama pasca menyerahnya kabinet Sjahrir. Tan Malaka kesulitan mengkonsolidasikan kembali PP-nya yang termashyur ketika mengadakan pertemuan kembali pada 15 Maret di Madiun. 

Grup-grup beraliran kiri menyatakan diri keluar dari persekutuan (Pesindo dan PS). Kemudiaan Persatuan Perjuangan dinilai tidak dapat membentuk kabinet baru dan karena tekanan-tekanan dari pihak Sekutu semakin menguat, Soekarno menunjuk kembali Sutan Sjahrir sebagai formatur kabinet. Alasan yang konkret mengapa Sjahrir kembali ditunjuk adalah ketika pihak Sekutu semakin memberikan gesekan, dan Soekarno tidak ingin pertumpahan darah terjadi secara massal. Maka pada 12 Maret, Sjahrir kembali membentuk kabinet.

Dalam masa pemerintahan Kabinet jilid II nya ini Sjahrir semakin mengerti peta politik lokal, baik kepentingan kawan maupun oposisi. Kemudian Kabinet ini mengusung Program Kerja Kabinet Syahrir II sebagai berikut
  1.  Berunding atas dasar pengakuan Republik Indonesia merdeka seratus persen. 
  2. Mempersiapkan rakyat negara disegala lapangan politik, ketrentaman, ekonomi, dan sosial untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia.
  3. Menyusun pemerintahan pusat dan daerah yang demokratis. 
  4. Berusaha segiat-giatnya untuk menyempurnakan pembagian makanan dan pakaian.
  5. Tentang perusahaan dan perkebunan hendaklah diambil tindakan-tindakan oleh pemerintah seperlunya sehingga memenuhi maksud sebagaimana termaktub dalam UUD pasal 33


Meski Sjahrir kembali mendapatkan kepercayaan, dan komposisi kabinetnya terdiri dari beberapa mantan anggota golongan Tan Malaka, PP tetap menjadi oposisi dengan mengutamakan program-program yang dulu telah dicetuskanya. Pesindo, organ yang setia kepada Amir melakukan manuver-manuver yang bersifat mengancam PP. Keresahan pun merebak di barisan PP, hingga terjadilah penculikan Tan Malaka, Sukarni, Chaerul Saleh, dan Abikusno pada 17 Maret. Misi penangkapan tokoh-tokoh yang dianggap mengancam kedaulatan dari dalam ini dikomandoi atas perintah Amir, selaku pemimpin Pesindo dan Menteri Pertahanan. Gelagat anak-anak buah Amir ini membuat gerah Jenderal Soedirman, yang telah disebutkan bahwa dia memiliki peran dalam Persatuan Perjuangan. Selain itu juga difaktori ketegangan karena perang dingin antara tentara dengan pemerintah sejak November 1945. Sejak 13 Maret, Sjahrir memberikan konsesi kepada Van Mook (pihak Belanda) bahwa Belanda harus mengakui kedaulatan Indonesia seratus persen, seperti yang diinginkan pihak oposisi. Namun, Van Mook tidak mengindahkan tuntutan tersebut dan hanya mengakui wilayah Indonesia atas Sumatra, Jawa dan Madura. Sjahrir setuju dan rancangan persetujuan tersebut dibawa ke Belanda bersama tiga utusan Indonesia, dibicarakan dalam benteng Hubertus di Hoge Veluwe. Namun, hasil keputusan tersebut dipersepsikan berbeda oleh kalangan oposisi yang merujuk pada penculikan Sjahrir pada 28 Juni di kota Solo. Aksi penculikan tersebut dinilai sebagai keputusan bulat rakyat atas ketidakpuasan pemerintah dalam menegakkan kedaulatan di mata musuh. Tujuannya adalah agar Soekarno menunjuk formatur baru dengan PP sebagai mayoritas. Soedarsono dan Mayor Jusuf yang menjadi dalang dalam aksi tersebut. Cepat sekali berita itu beredar di Yogyakarta dan Amir serta Hatta memaksa Soekarno untuk mengumumkan keadaan darurat dan mengambil kekuasaan sementara.

Dalam pidatonya tertanggal 30 Juni, Soekarno mengecam aksi yang melemahkan posisi diri sendiri ketika musuh sedang berada sedekat-dekatnya. Maka dua hari kemudian, Sjahrir dan kelompoknya yang diculik dilepaskan. Kejadian  ini terkenal dengan sebutan Peristiwa 3 Juli karena pada pagi harinya pada 3 Juli, Muhammad Yamin bersama Mayjen Sudarsono (Panglima Divisi III) menuntut kabinet Sjahrir yang ditandatangani pula oleh Iwa Kusumasumantri, Soebardjo dan Chaerul Saleh. Permintaan muluk tersebut ditolak dan mereka pun ditangkap karena dinilai melakukan kudeta halus pada negara.      


Pernyataan Presiden Soekarno yang menyatakan keadaan darurat dan mengambil alih pemerintahan, serta mendesak pihak oposisi agar segera membebaskan Sjahrir beserta pejabat lainnya. Dengan pernyataan pengambil-alihan pemerintahan oleh Presiden Soekarno tersebut, maka berakhirlah Kabinet Sjahrir II karena diambil alih oleh Presiden Soekarno.
Kabinet Sjahrir II
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.