Setelah
kabinet Sjahrir I ada runtuh, maka Soekarno meminta pihak oposisi (PP) untuk
membentuk kabinet baru. Namun, karena heterogenitas yang tinggi dalam komposisi
PP sendiri, maka komitmen diantara mereka hilang, artinya PP terpecah-pecah
dengan kepentingan kelompoknya masing-masing. Terutama pasca menyerahnya
kabinet Sjahrir. Tan Malaka kesulitan mengkonsolidasikan kembali PP-nya yang
termashyur ketika mengadakan pertemuan kembali pada 15 Maret di Madiun.
Grup-grup beraliran kiri menyatakan diri keluar dari persekutuan (Pesindo dan
PS). Kemudiaan Persatuan Perjuangan dinilai tidak dapat membentuk kabinet baru
dan karena tekanan-tekanan dari pihak Sekutu semakin menguat, Soekarno menunjuk
kembali Sutan Sjahrir sebagai formatur kabinet. Alasan yang konkret mengapa
Sjahrir kembali ditunjuk adalah ketika pihak Sekutu semakin memberikan gesekan,
dan Soekarno tidak ingin pertumpahan darah terjadi secara massal. Maka pada 12
Maret, Sjahrir kembali membentuk kabinet.
Dalam
masa pemerintahan Kabinet jilid II nya ini Sjahrir semakin mengerti peta
politik lokal, baik kepentingan kawan maupun oposisi. Kemudian Kabinet ini
mengusung Program Kerja Kabinet Syahrir
II sebagai berikut
- Berunding
atas dasar pengakuan Republik Indonesia merdeka seratus persen.
- Mempersiapkan
rakyat negara disegala lapangan politik, ketrentaman, ekonomi, dan sosial
untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia.
- Menyusun
pemerintahan pusat dan daerah yang demokratis.
- Berusaha
segiat-giatnya untuk menyempurnakan pembagian makanan dan pakaian.
- Tentang perusahaan dan perkebunan hendaklah diambil tindakan-tindakan oleh pemerintah seperlunya sehingga memenuhi maksud sebagaimana termaktub dalam UUD pasal 33
Meski
Sjahrir kembali mendapatkan kepercayaan, dan komposisi kabinetnya terdiri dari
beberapa mantan anggota golongan Tan Malaka, PP tetap menjadi oposisi dengan
mengutamakan program-program yang dulu telah dicetuskanya. Pesindo, organ yang
setia kepada Amir melakukan manuver-manuver yang bersifat mengancam PP.
Keresahan pun merebak di barisan PP, hingga terjadilah penculikan Tan Malaka,
Sukarni, Chaerul Saleh, dan Abikusno pada 17 Maret. Misi penangkapan
tokoh-tokoh yang dianggap mengancam kedaulatan dari dalam ini dikomandoi atas
perintah Amir, selaku pemimpin Pesindo dan Menteri Pertahanan. Gelagat
anak-anak buah Amir ini membuat gerah Jenderal Soedirman, yang telah disebutkan
bahwa dia memiliki peran dalam Persatuan Perjuangan. Selain itu juga difaktori
ketegangan karena perang dingin antara tentara dengan pemerintah sejak November
1945. Sejak 13 Maret, Sjahrir memberikan konsesi kepada Van Mook (pihak
Belanda) bahwa Belanda harus mengakui kedaulatan Indonesia seratus persen,
seperti yang diinginkan pihak oposisi. Namun, Van Mook tidak mengindahkan
tuntutan tersebut dan hanya mengakui wilayah Indonesia atas Sumatra, Jawa dan
Madura. Sjahrir setuju dan rancangan persetujuan tersebut dibawa ke Belanda
bersama tiga utusan Indonesia, dibicarakan dalam benteng Hubertus di Hoge Veluwe.
Namun, hasil keputusan tersebut dipersepsikan berbeda oleh kalangan oposisi
yang merujuk pada penculikan Sjahrir pada 28 Juni di kota Solo. Aksi penculikan
tersebut dinilai sebagai keputusan bulat rakyat atas ketidakpuasan pemerintah
dalam menegakkan kedaulatan di mata musuh. Tujuannya adalah agar Soekarno
menunjuk formatur baru dengan PP sebagai mayoritas. Soedarsono dan Mayor Jusuf
yang menjadi dalang dalam aksi tersebut. Cepat sekali berita itu beredar di Yogyakarta
dan Amir serta Hatta memaksa Soekarno untuk mengumumkan keadaan darurat dan
mengambil kekuasaan sementara.
Dalam
pidatonya tertanggal 30 Juni, Soekarno mengecam aksi yang melemahkan posisi
diri sendiri ketika musuh sedang berada sedekat-dekatnya. Maka dua hari
kemudian, Sjahrir dan kelompoknya yang diculik dilepaskan. Kejadian ini terkenal dengan sebutan Peristiwa 3 Juli
karena pada pagi harinya pada 3 Juli, Muhammad Yamin bersama Mayjen Sudarsono
(Panglima Divisi III) menuntut kabinet Sjahrir yang ditandatangani pula oleh
Iwa Kusumasumantri, Soebardjo dan Chaerul Saleh. Permintaan muluk tersebut
ditolak dan mereka pun ditangkap karena dinilai melakukan kudeta halus pada negara.
Pernyataan Presiden Soekarno yang menyatakan keadaan
darurat dan mengambil alih pemerintahan, serta mendesak pihak oposisi agar
segera membebaskan Sjahrir beserta pejabat lainnya. Dengan pernyataan pengambil-alihan
pemerintahan oleh Presiden Soekarno tersebut, maka berakhirlah Kabinet Sjahrir
II karena diambil alih oleh Presiden Soekarno.
Kabinet Sjahrir II
4/
5
Oleh
Unknown