Dalam
masa- masa awal kemerdekaan terjadi perdebatan fundamental soal konsep Angkatan
Perang yang dimiliki Republik. Ada dua kubu yang bertarung
saat itu, yakni golongan kiri versus tentara. Golongan kiri mengusung konsep
Tentara Rakyat (volks lager) seperti Konsep Tentara China yang mana Tentra
sebagai alat politik Partai Komunis, sementara kelompok tentara menghendaki
Tentara profesional. Kelompok kiri diwakili oleh Amir Sjarifuddin, tokoh kiri
yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Sementara di kelompok
tentara ada Jenderal Mayor (Kolonel) Nasution, Kolonel Gatot Subroto, Kolonel
Simatupang, dan Panglima Besar Jenderal Soedirman serta lain-lain.
Pada
14 November 1945, Amir Sjarifuddin ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan. Sebagai
seorang revolusioner, Amir menghendaki agar semua aparatur negara sejalan
dengan tuntutan revolusi. Karena itu, begitu menempati jabatan Menteri
Pertahanan, Amir lekas-lekas ingin mengintegrasikan tentara nasional dalam
garis revolusi.
Sebagai
konsekuensinya, harus ada tindakan koreksi. Di sini, koreksi bermakna mengubah
segala sesuatu yang tidak sesuai dengan tuntutan revolusi. Memang, saat itu ada
persoalan di tubuh tentara karena pimpinan Tentara saat itu berasal dari dua
grup. Grup pertama berasal dari sisa-sisa KNIL (Tentara Kerajaan
Hindia-Belanda). Kelompok kiri mencap opsir-opsir eks-KNIL sebagai “buruh
kolonial, kurang kesadaran nasional, dan lebih mementingkan organisasi
ketimbang semangat.” Tokohnya, antara lain, Kolonel Nasution, Kolonel
Simatupang, dan Kolonel Suryadharma. Grup kedua adalah serdadu bekas didikan
Jepang, yakni PETA dan HEIHO, yang dianggap mewarisi jiwa fasistik Jepang.
Salah satu tokohnya adalah Jenderal Soedirman.
Jelas,
kedua unsur di atas menyisakan mental penjajah (Belanda dan Jepang). Sementara,
sejak bergolaknya Revolusi Agusustus 1945, pemuda dan rakyat telah ambil bagian
dalam perjuangan bersenjata. Mereka telah membentuk Laskar Rakyat. Saat itu
Amir, terang-terangan menyatakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 bukan
tentara yang berjuang, tetapi seluruh Rakyat.
Saat
itu, kekuatan perang Indonesia memang terdiri dari dua unsur, yakni, kesatuan
militer formal-terlatih (eks KNIL dan Peta/Heiho) dan Laskar-Laskar Rakyat.
Amir sendiri mengusung konsep Tentara Rakyat atau tentara masyarakat. Baginya,
kekuatan pertahanan kita harus dibangun di atas kekuatan rakyat.
Ada
dua langkah yang diambil Amir untuk mewujudkan idenya itu. Pertama,
mendorong pendidikan politik di kalangan tentara. Pendidikan politik ini
dimaksudkan untuk memberi jiwa politik pada tentara, menanamkan ide
“kerakyatan”, membuang paham korporatisme, patronase, faksionalisme dan,
meminjam kata-kata Jenderal A.H. Nasution, segala macam “vertikalisme”. Kedua,
mengkoordinasikan dan mereorganisasi laskar-laskar rakyat dan badan perjuangan
yang dibentuk partai politik agar sejalan dengan tuntutan revolusi kemerdekaan.
Pada
bulan November 1945, Rapat Besar TKR (Tentara Keamanan Rakyat) menyetujui
usulan Amir untuk membentuk komisi yang bertugas menyusun garis-garis besar
pendidikan tentara. Selain itu, dibentuk Badan Pendidikan Tentara (BPT) di
dalam tubuh TKR. Namun, pada prakteknya, ide ini banyak ditentang pimpinan TKR.
Pada
bulan Februari 1946, Badan ini berhasil merumuskan lima bidang pendidikan bagi
TRl, meliputi politik, agama, kejiwaan, sosial, dan pengetahuan umum. Karena
memasukkan soal agama, Masyumi awalnya mendukung konsep ini.
Pada
bulan Mei 1946, setelah pertemuan antara pimpinan TRI dan Laskar-Laskar Rakyat,
BPT beralih dari bawah Markas Besar TRI menjadi di bawah Kementerian
Pertahanan. Namanya pun diubah menjadi Pendidikan Politik Tentara (Pepolit).
Pepolit ini terdiri dari opsir-opsir politik yang akan ditempatkan di kesatuan
tentara.
Pada
tanggal 30 Mei 1946, Kementerian Pertahanan melantikan 55 orang opsir politik.
Semuanya berasal dari Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Pimpinan Pepolitik
ditunjuk Soekono Djojopratignjo. Karena Pesindo dekat dengan Amir, maka banyak
yang menuding Pepolit hanya alat politik Amir untuk mempengaruhi TRI.
Pepolit
sering dianggap hanya perpanjangan politik pemerintah (partai). Pembinaan
opsir-opsir politik agar pemerintah (partai) mempunyai pengaruh langsung di
kalangan prajurit. Setiap Divisi mendapat lima opsir politik. Kedudukan opsir
politik ini otonom disamping pimpinan Divisi. Tetapi tidak semua pimpinan
Divisi TRI patuh atas instruksi Kementerian Pertahanan. Jenderal Mayor Gatot
Subroto terang-terangan menolak mengakui Pepolit itu.
Tetapi,
Pepoliti ini sebenarnya tidak hanya merupakanalat kelompok kiri (komunis) untuk
mempengaruhi tentara, karena di samping grup kiri, Pepolit juga menyertakan
wakil-wakil dari non-kiri, seperti Masyumi (H.F Ma’ruf dan H Mukti) dan PSII
(Anwar Tjokroaminoto), dan Dr Moestopo.
Selain
itu saat pelantikan 55 opsir politik itu, Kementerian Pertahanan menitipkan
pesan agar: merapatkan kerjasama antara tentara dan rakyat, mengupas UUD 1945, menjelaskan
arti penting Negara Kesatuan bagi rakyat, pentingnya tentara di dalam negara,
hubungan tentara dengan rakyat, dan kedaulatan rakyat.
Sementara
untuk mengorganisasikan laskar rakyat, Amir membetuk badan yang disebut Biro
Perjuangan (BP). Pimpinannya adalah Jenderal Mayor Djoko Sudjono. Di tiap
daerah ada koordinator lokal, yang bertugas mengkoordinasikan laskar-laskar di
daerahnya. Tugas utama BP ini adalah mengkoordinasikan semua laskar-laskar
rakyat dan badan perjuangan yang didirikan partai politik.
Kehadiran
BP sebetulnya sangat menolong Republik Indonesia. Laskar-laskar rakyat yang
selama ini dianggap kurang disiplin dan sering bertindak sendiri, telah
dikoordinasikan di bawah BP ini. Badan-badan perjuangan yang berserakan sesuai
dengan aliran dan afiliasi politiknya juga berhasil dikoordinasikan. Artinya,
penyatuan ini penting guna mengkonsolidasikan kekuatan nasional menghadapi
ancaman agresi militer Belanda.
Dalam
prakteknya, pimpinan TRI tidak senang dengan kehadiran BP ini. Bagi mereka, kehadiran
BP justru menciptakan semacam dualisme dalam Angkatan Perang. Apalagi,
Laskar-laskar di bawah BP mendapat dukungan anggaran dan senjata.
Untuk
mengatasi masalah ini, pada bulan Mei 1947, Bung Karno mengeluarkan keputusan
mengenai penyatuan antara TRI dan Laskar-Laskar Rakyat di bawah BP. Pada 3 Juni
1947, peleburan TRI dan Laskar Rakyat itu diresmikan dengan nama Tentara
Nasional Indonesia (TNI).
Kepemimpinan
TNI bersifat kolektif. Dua orang pucuk pimpinannya adalah tokoh kiri, yakni Ir.
Sakirman dan Djoko Sudjono. Namun, tidak semua laskar mau melebur ke TNI.
Akhirnya, pada Agustus 1947, dibentuk lagi badan baru bernama TNI-Masyarakat.
Ir. Sakirman ditunjuk sebagai pimpinannya. Anggota TNI-Masyarakat ini
diperkirakan mencapai 90.000-an orang.
Sayang,
konsep tentara rakyat Amir ini tidak bertahan lama. Begitu kabinet Amir jatuh,
yang kemudian digantikan oleh Bung Hatta, konsep Tentara Rakyat turut
disingkirkan. Kabinet Hatta justru melakukan sebaliknya, melalui program
rasionalisasinya yang dimulai sejak Januari 1949 membuat anggota TNI yang
tadinya diperkirakan 400.000 tinggal 60.000. Tak hanya itu, laskar-laskar
rakyat pun dibubarkan untuk membuat Tentara makin profesional.
Muara
dari pemberangusan laskar-laskar rakyat dan badan-badan perjuangan dari kaum
kiri itu adalah “Peristiwa Madiun 1948”. Amir sendiri menjadi korban dari
peristiwa tersebut. Ia bersama 10 kawan seperjuangannya dieksekusi tentara atas
perintah Gatot Subroto.
Sejak
itu, konsep ketentaraan kita menjadi “Tentara Profesional”, yang menempatkan
dirinya sebagai kekuatan dari masyarakat dengan konsep “Dwi-Fungsi ABRI”nya
meski dalam pelaksanaanya Konsep ini bermasalah dengan dijadikan alat mendukung
rezim Orde Baru selama 32 tahun. Namun pasca reformasi Tentara kita telah
berubah menjadi Tentara Profesional yang menyatu dengan masyarakatnya dengan
Konsep komando Teritorial dengan Bintara Pembina Desa (Babinsa) sebagai ujung
tombaknya. Selain itu pelaksanaan Tentara Manunggal Masuk Desa serta Operasi
Militer Selain Perang (OMSP) juga turut membantu Tentara kita menerapkan
strategi pertahananya dengan Konsep Perjuangan semesta .
Konsep Tentara Rakyat & Opsir politik Ala Amir Sjarifoeddin
4/
5
Oleh
Unknown