Soe
Hok Gie dalam bukunya ‘Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan’ mengatakan ada
tiga tokoh kunci yang menjadi dalang peristiwa ini yakni, Muso, Alimin, dan
Sardjono. Di samping ketiganya, tentu tokoh-tokoh PKI lainnya turut mendukung,
termasuk juga Amir Sjarifuddin.
Dari
beberapa tokoh yang berperan dan bertanggung jawab atas lahirnya Madiun Affairs
1948 itu adalah Muso atau Paul Mussotte bernama lengkap Muso Manowar adalah
seorang tokoh komunis Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) pada
tahu 1926/1927 dan merupakan dalang dari Pemberontakan PKI Madiun 1948.
Muso
dilahirkan di desa Pagu (Kediri) pada tahun 1897. Ia dididik di sekolah guru di
Jakarta dan bersahabat dengan Alimin. Selama masa pendidikannya, ia menjadi
murid kesayangan Dr. Hazeu (penasehat urusan Bumiputera) dan teosopis D.
Van Hinloopen Labberton. Muso pernah tinggal di rumah Tjokroaminoto (tokoh
pergerakan SI) bersama dengan Alimin dan Soekarno. Sebagai individu ia seorang
yang cerdas, organisatoris, serta penulis politik yang baik. Muso adalah
seorang yang keras dan tegas, bahkan terkadang nekat.
Dia
adalah salah satu pemimpin PKI di awal 1920-an. Dia adalah pengikut Stalin dan
anggota dari Internasional Komunis di Moskwa. Pada tahun 1925 beberapa orang
pemimpin PKI membuat rencana untuk menghidupkan kembali partai ini pada tahun
1926, meskipun ditentang oleh beberapa pemimpin PKI yang lain seperti Tan
Malaka. Pada tahun 1926 Musso menuju Singapura dimana dia menerima perintah
langsung dari Moskwa untuk melakukan pemberontakan kepada penjajah Belanda.
Musso dan pemimpin PKI lainnya, Alimin, kemudian berkunjung ke Moskwa, bertemu
dengan Stalin, dan menerima perintah untuk membatalkan pemberontakan dan
membatasi kegiatan partai menjadi dalam bentuk agitasi dan propaganda dalam
perlawananan nasional. Akan tetapi pikiran Musso berkata lain.
Pada
bulan November 1926 terjadi beberapa pemberontakan PKI di beberapa kota
termasuk Batavia (sekarang Jakarta), tetapi pemberontakan itu dapat dipatahkan
oleh penjajah Belanda. Musso dan Alimin ditangkap. Setelah keluar dari penjara
Musso pergi ke Moskwa, tetapi kembali ke Indonesia pada tahun 1935 untuk
memaksakan "barisan populer" yang dipimpin oleh 7 anggota Kongres
Komintern. Akan tetapi dia dipaksa untuk meninggalkan Indonesia dan kembali ke
Uni Soviet pada tahun 1936.
Pada
11 Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia lewat Yogyakarta. Di negara kawah
Candradimukanya Komunisme tersebut Muso mendapat kehormatan untuk berada di
bawah asuhan dan bimbingan langsung dari Stalin sehingga dapat difahami mengapa
para tokoh komunis Indonesia merasa beruntung betul dengan kepulangan Muso ke
Indonesia pada tanggal 11 Agustus 1948, setelah 22 tahun belajar komunis lama
di Moskow.
Muso
pulang ke Indonesia bersama dengan Suripno dengan naik pesawat mendarat di
Bukit Tinggi, dan kedua maestro pembantai 1948 ini langsung ke Ibukota Republik
Indonesia di Yogyakarta untuk menemui sahabat lamanya, yang waktu itu sudah
menjadi Presiden. Setelah menghadap Presiden Soekarno, Muso dan Suripno
langsung memberikan ceramah di muka Badan Konggres Pemuda Republik Indonesia.
Dalam caramah itu Muso dan Suripno memuji-muji kebesaran dan kehebatan Uni
Sovyet. Namun sungguh malang pidatonya di depan Badan Konggres Pemuda itu tidak
mendapat perhatian dari para pemuda . Belum lagi Muso selesai bicara, ruang
pertemuan sudah nyaris kosong ditinggalkan pengunjungnya. Kemudian Muso
langsung berangkat ke kampung halamannya di Kediri untuk menjumpai keluarga
sekaligus melancarkan kampanye menyebarluaskan ideologi komunisme, dimana waktu
itu golongan komunis masih berada dalam berbagai kelompok yang tergabung dalam
FDR.
Setelah
melakukan provokasi dan agitasi dimana-mana, maka bak seorang preman penguasa
wilayah, maka Ia rebut pimpinan FDR dari tangan Mr. Amir Syarifuddin. Muso
mengambil langkah strategis, yaitu FDR dilebur hanya menjadi PKI (Partai
Komunis Idonesia) langsung dipimpin olehnya dengan didampingi didampingi Mr. Amir
Syarifuddin, Maruto Darusma, Tan Ling Djie, Abdulmajid dan Setiadjit dan
Alimin.
Pada
tanggal 5 September 1948 dia memberikan pidato yang menganjurkan agar Indonesia
merapat kepada Uni Soviet. Gebrakan
Muso dalam menyebarluaskan faham komunisme ditengah-tengah masyarakat,
khususnya di Daerah Madiun dan sekitarnya yang notabene masyarakatnya masih
buta huruf dan tidak memehami bahasa Indonesia, yaitu pada tanggal 15 Agustus
1948 dengan mengadakan rapat raksasa di alun-alun Madiun, dengan pongahnya
dalam pidatonya Muso mengutuk dan mencaci maki Presiden Soekarno dan Perdana
Menteri Hatta yang dianggapnya tidak becus memimpin negara.
Rapar
Raksasa tersebut dihadiri oleh puluhan ribu rakyat dari Karisidenan Madiun.
Mereka ramai datang, sebaba sebelumnya para agitator dan propagandis PKI telah
menyebar berita kepada rakyat di Karisidenan Madiun bahwa akan diadakan ceramah
akbar dengan pembicara "Nabi Muso dari Moskow" yang akan memimpin
rakyat ke arah revolusi Indonesia merdeka. Kebohongan ini mirip sekali dengan
dusta besar komunis kepada rakyat yang dihasut untuk ikut pemberontakan tahun
1926, yang dijanjikan bahwa Kemal Ataturk pemimpin Turki akan mengirim kapal
terbang angkatan udaranya untuk membantu pemberontakan tersebut.
Pemberontakan
terjadi di Madiun, Jawa Timur ketika beberapa militan PKI menolak untuk
dilucuti. PKI memproklamasikan berdirinya "Republik Soviet Indonesia"
di Madiun pada tanggal 18 September 1948 dan mengangkat Musso sebagai presiden
dan Amir Sjarifuddin sebagai perdana menteri. Akan tetapi pemberontakan dapat
dipadamkan oleh pihak militer. Pada tanggal 30 September 1948, Madiun direbut
oleh TNI dari Divisi Siliwangi. Ribuan kader partai terbunuh dan sejumlah
36.000 orang dipenjarakan. Di antara yang terbunuh adalah Musso yang mati
tertembak di Ponorogo pada tanggal 31 Oktober, ketika rombongannya bertemu
dengan pasukan TNI yang memburunya.
Fakta
menariknya yaitu ternyata Muso adalah
keturunan pendiri Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Ia adalah anak dari
KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro yang
menikah dengan Nyai Juru. Sebagai anak seorang kyai dan berada di lingkungan
pesantren, sejak kecil tentu saja Muso kecil rajin nyantri. Cerita ini
disampaikan oleh KH Mohammad Hamdan Ibiq, pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu,
Kediri. Menurut Gus Ibiq, Muso selain masih keluarganya, juga pernah nyantri
layaknya putra para kyai, penuturan ini berdasarkan cerita dari para
leluhurnya.
Saat
di Surabaya, Musso pernah kos di Jl. Peneleh VII No. 29-31 rumah milik HOS
Tjokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Selain Musso, di rumah kos itu juga
ada Soekarno, Alimin, Semaun, dan Kartosuwiryo. Musso, Alimin, dan Semaun
dikenal sebagai tokoh kiri Indonesia. Sedangkan nama yang terakhir, menjelma
menjadi tokoh Darul Islam, ekstrem kanan. Mereka dicatat dalam sejarah
perjalanan revolusi di Indonesia.
Saat
kos itu, Musso menjadi salah seorang sumber ilmu Bung Karno dalam setiap
percakapan. Seperti misalnya saat Musso membahas tentang penjajahan Belanda,
"Penjajahan ini membuat kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara
bangsa-bangsa."
Muso, Dalang Pembrontakan PKI Madiun 1948
4/
5
Oleh
Unknown