Sunday, December 13, 2015

Pembrontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun, 18 September 1948

Setelah penandatanganan perjanjian Renville maka wilayah Republik Indonesia semakin berkurang dan semakin sempit, ditambah lagi dengan blokade ekonomi yang dilakukan oleh Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 23 Januari 1948 Amir Syarifuddin menyerahkan mandatnya kepada presiden Republik Indonesia. Presiden kemudian menunujuk Moh. Hatta untuk menyusun kabinet. Hatta menyusun kabinet tanpa campur tangan memasukan golongan sayap kiri atau sosialis

Selanjutnya karena sudah tidak berada di pemerintahan, Amir Syarifuddin kemudian mejadi oposisi untuk merebut kembali kedudukannya, pada tanggal 28 Juni 1948, Amir Sjarifuddin membentuk koalisi partai kiri bernama Front Demokrasi Rakyat (FDR), untuk mempersatukan semua golongan sosialis kiri dan komunis yang terdiri dari Partai Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, PKI, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Untuk memperkuat basis massa, FDR membentuk organisasi kaum petani dan buruh. Selain itu, FDR juga memancing bentrokan dengan cara menghasut kaum buruh untuk melakukan pemogokan dan demonstrasi .


Sebulan sebelum FDR didirikan, bersama Suripno, wakil Indonesia di Praha, Muso, seorang tokoh senior PKI yang kabur keluar negeri pasca kudeta PKI 1926-1927 kembali dari Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus 1948, Muso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Muso, antara lain Mr. Amir Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dan lain-lain.

Muso mengecam kabinet Hatta. Menurutnya, hanya PKI yang mampu menyelesaikan revolusi di Indonesia. Ia menuduh pemerintahan Hatta telah membawa negara Indonesia pada “penjajahan baru” dalam bentuk lain. Meskipun banyak tantangan dan kecaman keras dari Muso yang didukung oleh FDR, Hatta tetap melaksanakan programnya terutama Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera).

Sebagai langkah pertama untuk melaksanakan rasionalisasi angkatan perang, dikeluarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1948 pada tanggal 2 Januari 1948 yang isisnya antara lain:
1.    Pembubaran pucuk pimpinan TNI dan staf gabungan angkatan perang.
2.    Pengangkatan untuk sementara kepala staf umum angkatan perang beserta wakilnya.
3.    Mengangkat Jenderal Sudirman menjadi panglima angkatan perang mobil.
4.    Pengangkatan angkatan staf markas besar pertempuran.

Muso menentang program rasionalisasi ini. Sebab, menurutnya, program ini dapat menyebabkan berkurangnya kader komunis di TNI. Tetapi, upaya Muso mengalami kegagalam karena kabinet Hatta didukung oleh parta besar seperti PNI dan Masyumi serta beberapa organisasi pemuda yang tergabung dalam Badan Perjuangan Seberang di bawah pimpinan Mr. Latuharhary.

Selain itu Muso menuduh kabinet Hatta sangat anti komunis dan telah bekerjasama dengan Amerika serikat untuk menumpas kekuatan kiri di indonesia, hal ini berkaitan dengan diadakanya pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje" Sarangan, dekat Madiun pada 21 Juli 1948 yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Sukiman, Menteri Dalam negeri, Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto, sedangkan di pihak Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika dalam Komisi Jasa Baik PBB).

Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui Red Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan Arturo Campbell, Sukanto berangkat ke Amerika guna menerima bantuan untuk kepolisian RI.

Sejak awal kedatangannya Muso lalu mengambil alih pimpinan kaum komunis Indonesia dan mencetuskan konsepsinya dengan nama “Jalan Baru Republik Indonesia”, yang berisi:
Ø  Hanya boleh ada satu partai yang berlandaskan Marxisme-Lenimisme, oleh karenanya partai-partai yang berada dibawah naungan FDR, harus rela dijadikan partai yang tugasnya hanya membantu urusan politik PKI.

Ø  Partai Komunis harus menyelenggarakan Front Persatuan Nasional, yang dipimpin oleh Muso sendiri, konsepsi ini dengan patuh dilaksanakan oleh Amir Syarifudin, Setiadjit dsb., sehingga semua partai dibawah FDR semuanya harus melebur kedalam PKI.

Pada tanggal 1 September 1948, Comite Central Partai Komunis Indonesia (CC PKI) pertama dibentuk dengan Muso sebagai ketuanya menggantikan Sardjono, ia mengangkat Mr. Amir Syarifudin sebagai sekretaris urusan pertahanan, Suripto menangani urusan luar negeri, M.H. Lukman seorang tokoh muda PKI diangkat sebagai Pemimpin Sekretariat Agitrasi Dan Propaganda (AgitProp). Tokoh lainnya seperti Aidit dipercaya untuk menangani urusan perburuhan, dan Njoto diangkat untuk menjadi Wakil PKI dalam badan pekerja KNIP.

Semua tokoh-tokoh yang telah dipilih oleh PKI, kemudian melakukan Pidato-pidato ke daerah-daerah, seperti di Yogyakarta, Solo, Sragen dan Madiun, dalam orasinya mereka menggembar-gemborkan tentang janji-janji muluk PKI, dan juga dengan nada yang membakar emosi massa, bahkan Muso didepan rakyat berpidato dengan nada mengancam kepada pegawai pemerintah dan tokoh yang berasal dari luar PKI, aksi-aksi mereka ini bertujuan untuk menurunkan derajat pemerintah RI, dan SOBSI melaksakan pemogokan di Delangu. Aksi kerusuhan lainnya kemudian menyusul, misalnya di Solo yang diwarnai dengan penculikan, pembunuhan dan teror bersenjata. Banyak tokoh yang menentang kemudian dibunuh seperti Kolonel Soetarto dan  dr. Muwardi.

Proses pemberontakan yang dilakukan oleh PKI di Madiun tahun 1948
Usaha pertama yang dilakukan FDR/PKI adalah melakukan propaganda kepada massa akan pentingnya Front Nasional, lewat Front Nasional dilakukan penggalangan kekuatan revolusioner dari massa buruh, tani, dan kaum miskin lainnya dengan memanfaatkan keresahan sosial yang ada. Setelah langkah tersebut, FDR/PKI akan berkoalisi dengan tentara. Konsep tentara dimata FDR(PKI) harus memiliki konsep seperti tentara merah di Uni Sovyet, tentara harus memiliki pengetahuan tentang politik dan dibimbing oleh opsir-opsir politik, dan tentara harus berwatak anti penjajah. Tentara-tentara yang bergabung kemudian, kebanyakan adalah tentara sakit hati yang terkena program Rasionalisasi dan Reorganisasi kabinet Hatta dan kebetulan menemukan persamaan visi dengan FDR (PKI).

Rencana perebutan kekuasaan diawal dengan demonstrasi, penculikan, dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap musuh di kota Solo. Selain itu, kesatuan-kesatuan TNI saling diadu. Pada tanggal 11 September1948, terjadi bentrokan antara pasukan pro pemerintah RI (Divisi Siliwangi) dengan pasukan pro-PKI (Divisi IV). Untuk mengatasi keadaan, pemerintah mengangkat Kolonel Gatot Soebroto sebagai Gubernur Militer Surakarta dan sekitarnya (Semarang, Pati, dan Madiun).

Pemberontakan PKI di Madiun tersebut dimulai pada jam 3.00 setelah terdengar tembakan pestol tiga kali sebagai tanda dimulainya gerakan non parlementer oleh kesatuan komunis yang disusul dengan gerakan perlucutan senjata, kemudian kesatuan PKI menduduki tempat-tempat penting di kota Madiun, seperti Kantor Pos, Gedung Bank, Kantor Telepon, dan Kantor Polisi. Lalu berlanjut dengan penguasaan kantor radio RRI dan Gelora Pemuda sebagai alat bagi mereka untuk mengumumkan ke seluruh negeri tentang penguasaan kota Madiun yang akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan akan mendirikan Sovyet Republik Indonesia serta pembentukan Pemerintahan Front Nasional. Proklamasi ini sendiri diucapkan oleh Supardi dan Sumarsoso tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan Madiun diiringi pengibaran bendera merah. Dengan ini Madiun dan sekitarnya resmi dinyatakan sebagai daerah yang terbebaskan. Puncak gerakan yang dilakukan PKI pada tanggal 18 september 1948 yaitu dengan pernyataan tokoh-tokoh PKI tentang berdirinya Sovyet Republik Indonesia yang bertujuan mengganti dasar negara pancasila dengan Komunis. Yang menarik adalah ketika Sovyet Republik Indonesia diproklamirkan Amir Syarifuddin dan Muso yang selanjutnya di usung sebagai presiden dan wakil presiden malah berada di luar Madiun. Kesatuan-kesatuan yang telah dipersiapkan untuk melakukan pemberontakan tersebut antara lain: kesatuan yang dipimpin oleh Sumartono (Pesindo). Pasukan Divisi VI Jawa Timur dibawah pimpinan Kolonel Djokosujono dan Letkol Dahlan yang waktu Panglima Divisinya ialah Kolonel Sungkono. Juga dari sebagian Divisi Panembahan Senopati yang dipimpin oleh Letkol Suadi dan Letkol Sujoto. Dalam gerakan ini kesatuan PKI telah melakukan pembunuhan terhadap dua orang pegawai pemerintah dan menangkap empat orang militer. 

Perebutan kekuasaan ini berjalan lancar, kemudian mereka mengibarkan bendera merah di depan Balai Kota. Pasukan-pasukan komunis yang dipimpin oleh Sumarsono, Dahlan dan Djokosujono dengan cepat telah bergerak menguasai seluruh kota Madiun, karena sebagian besar tentara di kota itu tidak mengadakan perlawanan. Disamping itu pertahanan kota Madiun sebelumnya praktis sudah dikuasai oleh Pasukan Brigade 29.121 Perebutan kekuasaan tersebut pada jam 07.00 pagi telah berhasil sepenuhnya menguasai Madiun. pemberontakan PKI Madiun ini telah menguasai beberapa sektor penting seperti Kantor-kantor pemerintahan, Markas Teritorial Komando Madiun, Kantor Pos dan Staf Pertahanan Djawa Timur (SPDT), dalam aksinya mereka dengan membabi buta, penyiksaan dan pembunuhan diluar batas kemanusiaan, mereka membantai habis orang-orang baik dari golongan pemerintah maupun rakyat biasa yang menolak dan kontra dengan PKI. Kolonel Djokosujono kemudian diangkat menjadi “Gubernur Militer”, dan dengan singkat PKI menguasai .

Akhir dari Konflik yang terjadi di Madiun pada tahun 1948
Pemberontakan PKI yang terjadi di Madiun mendorong Pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan tindak tegas. Presiden Soekarno kemudian memusatkan seluruh kekuasaan negara berada ditangannya serta berpidato di radio untuk menyuruh rakyat memilih Soekarno – Hatta atau Musso dengan PKI-nya. Setelah mendengar pidato Soekarno tersebut rakyat pun meresponya dengan memilih mendukung Soekarno daripada Muso. Mengetahui respon rakyat Indonesia tersebut pemerintah segera melancarkan operasi penumpasan pada gerombolan pembrontak tersebut    

Pertama –tama pemerintah mengadakan Sidang Kabinet Lengkap pada tanggal 19 September 1948 yang diketuai oleh Presiden Soekarno sendiri dengan mengambil keputusan antara lain ;
Ø  Bahwa Peristiwa Madiun yang digerakan oleh FDR/PKI adalah suatu pemberontakan terhadap Pemerintah dan mengadakan instruksi kepada alat-alat Negara dan Angkatan Perang untuk memulihkan keamanan Negara.
Ø  Memberikan kuasa penuh kepada Jendral Sudirman untuk melaksanakan tugas pemulihan keamanan dan ketertiban kepada keadaan biasa di Madiun dan daerah-daerah lainnya.

Setelah presiden memberi perintah kepada Angkatan Perang untuk segera mengembalikan keamanan dengan segera diadakan penangkapan terhadap orang-orang yang membahayakan negara dan diadakan penggerebegan tempat-tempat yang dianggap perlu. Supaya dapat melaksanakan tugas dengan baik, Markas Besar Angkatan Perang segera menetapkan dan mengangkat Kolonel Sungkono Panglima Divisi VI Jawa Timur sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur yang mendapat tugas menggerakan pasukan dari arah timur. Karesidenan Madiun untuk menumpas Pemberontakan PKI dan mengamankan kembali seluruh Jawa Timur dari anasir pemberontak. Setelah mendapat perintah tersebut Kolonel Sungkono segera memerintahkan Brigade Surachmad bergerak menuju Madiun. Pasukan tersebut dipimpin oleh Mayor Jonosewojo yang terdiri atas Batalyon Sabirin Muchtar bergerak menuju Trenggalek terus ke Ponorogo, Batalyon Gabungan Pimpinan Mayor Sabaruddin bergerak melalui Sawahan menuju Dungus dan Madiun, Batalyon Sunarjadi bergerak melalui Tawangmangu, Sarangan, Plaosan bergerak Divisi Siliwangi yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Sadikin.

Untuk tugas operasi ini Divisi Siliwangi mengerahkan kekuatan 8 Batalyon, yaitu : Batalyon Achmad Wiaranatakusumah, Batalyon Lukas yang menggantikan Batalyon Umar, Batalyon Daeng, Batalyon Nasuhi, Batalyon Kusno Utomo, Letkol Kusno Utomo memegang dua batalyon dan menjabat sebagai Kepala Staf Brigade, Batalyon Sambas, yang kemudian diganti oleh Batalyon Darsono, Batalyon A. Kosasih, Batalyon Kemal Idris. Di samping itu juga Pasukan Panembahan Senopati yang dipimpin oleh Letkol Slamet Ryadi, Pasukan Tentara Pelajar yang dipimpin oleh Mayor Achmadi dan Pasukanpasukan dari Banyumas yang dipimpin oleh Mayor Surono.Batalyon Kemal Idris dan Batalyon A. Kosasih yang didatangkan dari Yogyakarta bergerak ke Utara dengan tujuan Pati. Batalyon Daeng bergeruk ke Utara dengan tujuan Cepu, Blora, Batalyon Nasuhi dan Batalyon Achmad Wiranatakusumah bergerak ke Selatan dengan tujuan Wonogiri dan Pacitan. Batalyon Darsono dan Batalyon Lukas bergerak ke Madiun. Sedangkan Pasukan Panembahan Senopati bergerak ke Utara, Pasukan Tentara Pelajar yang dipimpin oleh Mayor Achmadi bergerak ke Timur menuju Madiun melalui Sarangan.

Musso yang melarikan diri ke daerah Ponorogo tertembak mati pada tanggal 31 Oktober 1948 oleh Brigade S yang dipimpin oleh Kapten Sunandar sewaktu melakukan patroli. Sedangkan Pada tanggal 20 Nopember 1948 pasukan Amir menuju Tambakromo, sebelah Timur Kayen sebelah Selatan Pati. Mereka terdiri dari kurang lebih 500 orang, ada yang beserta keluarga mereka. Keadaan mereka sangat menyedihkan. Banyak diantara mereka yang ingin melarikan diri, tetapi rakyat selalu siap menangkap mereka. Banyak mayat pemberontak diketemukan karena sakit, atau kelaparan. akhirnya Amir menyerahkan diri beserta pasukannya pada tanggal 29 Nopember, saat mereka menyeberangi Sungai Lusi menuju ke desa Klambu, antara Klampok dan Bringin (7 Km dari Purwodadi). Pasukan TNI mengadakan taktik menggiring ke titik buntu yang mematikan. Taktik ini ternyata berhasil, karena pasukan pemberontak terjepit di daerah rawa-rawa. Mereka dikepung oleh kesatuan-kesatuan TNI, akhirnya Amir menyerahkan diri beserta pasukannya.

Gerakan Operasi Militer yang dialncarkan oleh pasukan yang setia pada pemerintah RI berjalan dengan singkat. Dalam 12 hari Madiun dapat dikuasai kembali, teaptnya tanggal 30 September 1948 jam 16.15. setelah Madiun dapat direbut kembali oleh pasukan-pasukan TNI, maka jam 17.30 sore keamanan telah terjamin kembali, dan tiap-tiap rumah telah berkibar bendera Merah Putih.






Pembrontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun, 18 September 1948
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.