Setelah
penandatanganan perjanjian Renville maka wilayah Republik Indonesia semakin
berkurang dan semakin sempit, ditambah lagi dengan blokade ekonomi yang
dilakukan oleh Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 23 Januari 1948 Amir
Syarifuddin menyerahkan mandatnya kepada presiden Republik Indonesia. Presiden
kemudian menunujuk Moh. Hatta untuk menyusun kabinet. Hatta menyusun kabinet
tanpa campur tangan memasukan golongan sayap kiri atau sosialis
Selanjutnya
karena sudah tidak berada di pemerintahan, Amir Syarifuddin kemudian mejadi
oposisi untuk merebut kembali kedudukannya, pada tanggal 28 Juni 1948, Amir
Sjarifuddin membentuk koalisi partai kiri bernama Front Demokrasi Rakyat (FDR),
untuk mempersatukan semua golongan sosialis kiri dan komunis yang terdiri dari Partai
Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, PKI, dan Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia (SOBSI). Untuk memperkuat basis massa, FDR membentuk
organisasi kaum petani dan buruh. Selain itu, FDR juga memancing bentrokan
dengan cara menghasut kaum buruh untuk melakukan pemogokan dan demonstrasi .
Sebulan
sebelum FDR didirikan, bersama Suripno, wakil Indonesia di Praha, Muso, seorang
tokoh senior PKI yang kabur keluar negeri pasca kudeta PKI 1926-1927 kembali
dari Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus 1948, Muso tiba di Yogyakarta dan segera
menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi
sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Muso, antara lain Mr. Amir
Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dan lain-lain.
Muso
mengecam kabinet Hatta. Menurutnya, hanya PKI yang mampu menyelesaikan revolusi
di Indonesia. Ia menuduh pemerintahan Hatta telah membawa negara Indonesia pada
“penjajahan baru” dalam bentuk lain. Meskipun banyak tantangan dan kecaman
keras dari Muso yang didukung oleh FDR, Hatta tetap melaksanakan programnya
terutama Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera).
Sebagai
langkah pertama untuk melaksanakan rasionalisasi angkatan perang, dikeluarkan
Penetapan Presiden No. 1 tahun 1948 pada tanggal 2 Januari 1948 yang isisnya
antara lain:
1. Pembubaran
pucuk pimpinan TNI dan staf gabungan angkatan perang.
2. Pengangkatan
untuk sementara kepala staf umum angkatan perang beserta wakilnya.
3. Mengangkat
Jenderal Sudirman menjadi panglima angkatan perang mobil.
4. Pengangkatan
angkatan staf markas besar pertempuran.
Muso
menentang program rasionalisasi ini. Sebab, menurutnya, program ini dapat
menyebabkan berkurangnya kader komunis di TNI. Tetapi, upaya Muso mengalami
kegagalam karena kabinet Hatta didukung oleh parta besar seperti PNI dan
Masyumi serta beberapa organisasi pemuda yang tergabung dalam Badan Perjuangan
Seberang di bawah pimpinan Mr. Latuharhary.
Selain
itu Muso menuduh kabinet Hatta sangat anti komunis dan telah bekerjasama dengan
Amerika serikat untuk menumpas kekuatan kiri di indonesia, hal ini berkaitan dengan
diadakanya pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje" Sarangan, dekat
Madiun pada 21 Juli 1948 yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Sukiman, Menteri
Dalam negeri, Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto,
sedangkan di pihak Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden
Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika dalam Komisi Jasa
Baik PBB).
Dalam
pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan
Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui Red
Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan Arturo
Campbell, Sukanto berangkat ke Amerika guna menerima bantuan untuk kepolisian
RI.
Sejak
awal kedatangannya Muso lalu mengambil alih pimpinan kaum komunis Indonesia dan
mencetuskan konsepsinya dengan nama “Jalan Baru Republik Indonesia”, yang
berisi:
Ø Hanya
boleh ada satu partai yang berlandaskan Marxisme-Lenimisme, oleh karenanya
partai-partai yang berada dibawah naungan FDR, harus rela dijadikan partai yang
tugasnya hanya membantu urusan politik PKI.
Ø Partai
Komunis harus menyelenggarakan Front Persatuan Nasional, yang dipimpin oleh
Muso sendiri, konsepsi ini dengan patuh dilaksanakan oleh Amir Syarifudin,
Setiadjit dsb., sehingga semua partai dibawah FDR semuanya harus melebur kedalam
PKI.
Pada
tanggal 1 September 1948, Comite Central Partai Komunis Indonesia (CC PKI)
pertama dibentuk dengan Muso sebagai ketuanya menggantikan Sardjono, ia
mengangkat Mr. Amir Syarifudin sebagai sekretaris urusan pertahanan, Suripto
menangani urusan luar negeri, M.H. Lukman seorang tokoh muda PKI diangkat
sebagai Pemimpin Sekretariat Agitrasi Dan Propaganda (AgitProp). Tokoh lainnya
seperti Aidit dipercaya untuk menangani urusan perburuhan, dan Njoto diangkat
untuk menjadi Wakil PKI dalam badan pekerja KNIP.
Semua
tokoh-tokoh yang telah dipilih oleh PKI, kemudian melakukan Pidato-pidato ke
daerah-daerah, seperti di Yogyakarta, Solo, Sragen dan Madiun, dalam orasinya
mereka menggembar-gemborkan tentang janji-janji muluk PKI, dan juga dengan nada
yang membakar emosi massa, bahkan Muso didepan rakyat berpidato dengan nada
mengancam kepada pegawai pemerintah dan tokoh yang berasal dari luar PKI,
aksi-aksi mereka ini bertujuan untuk menurunkan derajat pemerintah RI, dan
SOBSI melaksakan pemogokan di Delangu. Aksi kerusuhan lainnya kemudian
menyusul, misalnya di Solo yang diwarnai dengan penculikan, pembunuhan dan
teror bersenjata. Banyak tokoh yang menentang kemudian dibunuh seperti Kolonel
Soetarto dan dr. Muwardi.
Proses
pemberontakan yang dilakukan oleh PKI di Madiun tahun 1948
Usaha
pertama yang dilakukan FDR/PKI adalah melakukan propaganda kepada massa akan
pentingnya Front Nasional, lewat Front Nasional dilakukan penggalangan kekuatan
revolusioner dari massa buruh, tani, dan kaum miskin lainnya dengan
memanfaatkan keresahan sosial yang ada. Setelah langkah tersebut, FDR/PKI akan
berkoalisi dengan tentara. Konsep tentara dimata FDR(PKI) harus memiliki konsep
seperti tentara merah di Uni Sovyet, tentara harus memiliki pengetahuan tentang
politik dan dibimbing oleh opsir-opsir politik, dan tentara harus berwatak anti
penjajah. Tentara-tentara yang bergabung kemudian, kebanyakan adalah tentara
sakit hati yang terkena program Rasionalisasi dan Reorganisasi kabinet Hatta
dan kebetulan menemukan persamaan visi dengan FDR (PKI).
Rencana
perebutan kekuasaan diawal dengan demonstrasi, penculikan, dan pembunuhan tokoh-tokoh
yang dianggap musuh di kota Solo. Selain itu, kesatuan-kesatuan TNI saling
diadu. Pada tanggal 11 September1948, terjadi bentrokan antara pasukan pro
pemerintah RI (Divisi Siliwangi) dengan pasukan pro-PKI (Divisi IV). Untuk
mengatasi keadaan, pemerintah mengangkat Kolonel Gatot Soebroto sebagai
Gubernur Militer Surakarta dan sekitarnya (Semarang, Pati, dan Madiun).
Pemberontakan
PKI di Madiun tersebut dimulai pada jam 3.00 setelah terdengar tembakan pestol
tiga kali sebagai tanda dimulainya gerakan non parlementer oleh kesatuan
komunis yang disusul dengan gerakan perlucutan senjata, kemudian kesatuan PKI
menduduki tempat-tempat penting di kota Madiun, seperti Kantor Pos, Gedung
Bank, Kantor Telepon, dan Kantor Polisi. Lalu berlanjut dengan penguasaan
kantor radio RRI dan Gelora Pemuda sebagai alat bagi mereka untuk mengumumkan
ke seluruh negeri tentang penguasaan kota Madiun yang akan memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan akan mendirikan Sovyet Republik
Indonesia serta pembentukan Pemerintahan Front Nasional. Proklamasi ini sendiri
diucapkan oleh Supardi dan Sumarsoso tokoh Pesindo, pada 18 September 1948
melalui radio di Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional
bagi Karesidenan Madiun diiringi pengibaran bendera merah. Dengan ini Madiun
dan sekitarnya resmi dinyatakan sebagai daerah yang terbebaskan. Puncak gerakan
yang dilakukan PKI pada tanggal 18 september 1948 yaitu dengan pernyataan
tokoh-tokoh PKI tentang berdirinya Sovyet Republik Indonesia yang
bertujuan mengganti dasar negara pancasila dengan Komunis. Yang menarik adalah ketika Sovyet
Republik Indonesia diproklamirkan Amir Syarifuddin dan Muso yang selanjutnya di
usung sebagai presiden dan wakil presiden malah berada di luar Madiun.
Kesatuan-kesatuan yang telah dipersiapkan untuk melakukan pemberontakan
tersebut antara lain: kesatuan yang dipimpin oleh Sumartono (Pesindo). Pasukan
Divisi VI Jawa Timur dibawah pimpinan Kolonel Djokosujono dan Letkol Dahlan
yang waktu Panglima Divisinya ialah Kolonel Sungkono. Juga dari sebagian Divisi
Panembahan Senopati yang dipimpin oleh Letkol Suadi dan Letkol Sujoto. Dalam
gerakan ini kesatuan PKI telah melakukan pembunuhan terhadap dua orang pegawai
pemerintah dan menangkap empat orang militer.
Perebutan kekuasaan ini berjalan
lancar, kemudian mereka mengibarkan bendera merah di depan Balai Kota. Pasukan-pasukan
komunis yang dipimpin oleh Sumarsono, Dahlan dan Djokosujono dengan cepat telah
bergerak menguasai seluruh kota Madiun, karena sebagian besar tentara di kota
itu tidak mengadakan perlawanan. Disamping itu pertahanan kota Madiun
sebelumnya praktis sudah dikuasai oleh Pasukan Brigade 29.121 Perebutan
kekuasaan tersebut pada jam 07.00 pagi telah berhasil sepenuhnya menguasai
Madiun. pemberontakan PKI Madiun ini telah menguasai beberapa sektor penting
seperti Kantor-kantor pemerintahan, Markas Teritorial Komando Madiun, Kantor
Pos dan Staf Pertahanan Djawa Timur (SPDT), dalam aksinya mereka dengan membabi
buta, penyiksaan dan pembunuhan diluar batas kemanusiaan, mereka membantai
habis orang-orang baik dari golongan pemerintah maupun rakyat biasa yang
menolak dan kontra dengan PKI. Kolonel Djokosujono kemudian diangkat
menjadi “Gubernur Militer”, dan dengan singkat PKI menguasai .
Akhir
dari Konflik yang terjadi di Madiun pada tahun 1948
Pemberontakan
PKI yang terjadi di Madiun mendorong Pemerintah Republik Indonesia untuk
melakukan tindak tegas. Presiden Soekarno kemudian memusatkan seluruh kekuasaan
negara berada ditangannya serta berpidato di radio untuk menyuruh rakyat
memilih Soekarno – Hatta atau Musso dengan PKI-nya. Setelah mendengar pidato
Soekarno tersebut rakyat pun meresponya dengan memilih mendukung Soekarno
daripada Muso. Mengetahui respon rakyat Indonesia tersebut pemerintah segera
melancarkan operasi penumpasan pada gerombolan pembrontak tersebut
Pertama
–tama pemerintah mengadakan Sidang Kabinet Lengkap pada tanggal 19 September
1948 yang diketuai oleh Presiden Soekarno sendiri dengan mengambil keputusan
antara lain ;
Ø Bahwa
Peristiwa Madiun yang digerakan oleh FDR/PKI adalah suatu pemberontakan
terhadap Pemerintah dan mengadakan instruksi kepada alat-alat Negara dan
Angkatan Perang untuk memulihkan keamanan Negara.
Ø Memberikan
kuasa penuh kepada Jendral Sudirman untuk melaksanakan tugas pemulihan keamanan
dan ketertiban kepada keadaan biasa di Madiun dan daerah-daerah lainnya.
Setelah
presiden memberi perintah kepada Angkatan Perang untuk segera mengembalikan
keamanan dengan segera diadakan penangkapan terhadap orang-orang yang
membahayakan negara dan diadakan penggerebegan tempat-tempat yang dianggap
perlu. Supaya dapat melaksanakan tugas dengan baik, Markas Besar Angkatan
Perang segera menetapkan dan mengangkat Kolonel Sungkono Panglima Divisi VI
Jawa Timur sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur yang mendapat tugas
menggerakan pasukan dari arah timur. Karesidenan Madiun untuk menumpas
Pemberontakan PKI dan mengamankan kembali seluruh Jawa Timur dari anasir
pemberontak. Setelah mendapat perintah tersebut Kolonel Sungkono segera
memerintahkan Brigade Surachmad bergerak menuju Madiun. Pasukan tersebut
dipimpin oleh Mayor Jonosewojo yang terdiri atas Batalyon Sabirin Muchtar
bergerak menuju Trenggalek terus ke Ponorogo, Batalyon Gabungan Pimpinan Mayor
Sabaruddin bergerak melalui Sawahan menuju Dungus dan Madiun, Batalyon
Sunarjadi bergerak melalui Tawangmangu, Sarangan, Plaosan bergerak Divisi Siliwangi
yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Sadikin.
Untuk
tugas operasi ini Divisi Siliwangi mengerahkan kekuatan 8 Batalyon, yaitu :
Batalyon Achmad Wiaranatakusumah, Batalyon Lukas yang menggantikan Batalyon
Umar, Batalyon Daeng, Batalyon Nasuhi, Batalyon Kusno Utomo, Letkol Kusno Utomo
memegang dua batalyon dan menjabat sebagai Kepala Staf Brigade, Batalyon
Sambas, yang kemudian diganti oleh Batalyon Darsono, Batalyon A. Kosasih,
Batalyon Kemal Idris. Di samping itu juga Pasukan Panembahan Senopati yang
dipimpin oleh Letkol Slamet Ryadi, Pasukan Tentara Pelajar yang dipimpin oleh
Mayor Achmadi dan Pasukanpasukan dari Banyumas yang dipimpin oleh Mayor
Surono.Batalyon Kemal Idris dan Batalyon A. Kosasih yang didatangkan dari
Yogyakarta bergerak ke Utara dengan tujuan Pati. Batalyon Daeng bergeruk ke
Utara dengan tujuan Cepu, Blora, Batalyon Nasuhi dan Batalyon Achmad
Wiranatakusumah bergerak ke Selatan dengan tujuan Wonogiri dan Pacitan.
Batalyon Darsono dan Batalyon Lukas bergerak ke Madiun. Sedangkan Pasukan
Panembahan Senopati bergerak ke Utara, Pasukan Tentara Pelajar yang dipimpin
oleh Mayor Achmadi bergerak ke Timur menuju Madiun melalui Sarangan.
Musso
yang melarikan diri ke daerah Ponorogo tertembak mati pada tanggal 31 Oktober
1948 oleh Brigade S yang dipimpin oleh Kapten Sunandar sewaktu melakukan
patroli. Sedangkan Pada tanggal 20 Nopember 1948 pasukan Amir menuju
Tambakromo, sebelah Timur Kayen sebelah Selatan Pati. Mereka terdiri dari
kurang lebih 500 orang, ada yang beserta keluarga mereka. Keadaan mereka sangat
menyedihkan. Banyak diantara mereka yang ingin melarikan diri, tetapi rakyat
selalu siap menangkap mereka. Banyak mayat pemberontak diketemukan karena
sakit, atau kelaparan. akhirnya Amir menyerahkan diri beserta pasukannya pada
tanggal 29 Nopember, saat mereka menyeberangi Sungai Lusi menuju ke desa
Klambu, antara Klampok dan Bringin (7 Km dari Purwodadi). Pasukan TNI
mengadakan taktik menggiring ke titik buntu yang mematikan. Taktik ini ternyata
berhasil, karena pasukan pemberontak terjepit di daerah rawa-rawa. Mereka
dikepung oleh kesatuan-kesatuan TNI, akhirnya Amir menyerahkan diri beserta
pasukannya.
Gerakan
Operasi Militer yang dialncarkan oleh pasukan yang setia pada pemerintah RI
berjalan dengan singkat. Dalam 12 hari Madiun dapat dikuasai kembali, teaptnya
tanggal 30 September 1948 jam 16.15. setelah Madiun dapat direbut kembali oleh
pasukan-pasukan TNI, maka jam 17.30 sore keamanan telah terjamin kembali, dan
tiap-tiap rumah telah berkibar bendera Merah Putih.
Pembrontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun, 18 September 1948
4/
5
Oleh
Unknown