Politik
luar negeri Indonesia
Landasan politik luar negeri Indonesia pada masa demokrasi terpimpin
Pada masa
demokrasi terpimpin, ada 4 dokumen yang dijadikan sebagai landasan politik luar
negeri Indonesia. Dokumen-dokumen itu adalah sebagai berikut.
Ø
UUD 1945
Ø
Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang
berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang terkenal sebagai “Manifesto
Politik Republik Indonesia”. Manifesto politik ini dijadikan sebagai Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1960, tanggal
29 Januari 1960, dan diperkuat dengan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/I/1960, tanggal
19 November 1960.
Ø
Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang
berjudul “Jalannya Revolusi Kita”. Berdasarkan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960,
tanggal 9 November 1960 menjadi “Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik
Indonesia”.
Ø
Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 di muka
Sidang Umum PBB yang berjudul “Membangun Dunia Kembali”. Pidato ini ditetapkan
sebagai “Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik
Ø
Republik Indonesia” dengan Ketetapan MPRS No.
I/MPRS/1960, tanggal 19 November 1960. Kemudian berdasarkan Keputusan DPA No.
2/Kpts/Sd/61, tanggal 19 Januari 1961, dinyatakan sebagai “Garis-garis Besar
Politik Luar Negeri Republik Indonesia” dan sebagai “Pedoman Pelaksanaan
Manifesto Politik Luar Negeri Republik Indonesia”.
Politik luar negeri Indonesia
bersifat konfrontatif
Pada masa
demokrasi terpimpin, politik luar negeri yang dipraktikkan adalah politik luar
negeri yang revolusioner. Dalam beberapa hal politik luar negeri Indonesia
sarat konfrontasi karena masa itu oleh Pemerintah Presiden Soekarno dianggap
sebagai masa konfrontasi. Diplomasi yang revolusioner, diplomasi yang
konfrontatif, diplomasi perjuangan, diplomasi yang mau merombak dan menyusun
suatu suasana dan perimbangan baru antara negara-negara dipakai sebagai alat
politik luar negeri. Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru.
Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu “Oldefos” (Old
Established Forces) dan “Nefos” (New Emerging Forces). Soekarno menyatakan
bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari pertentangan
antara kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru
bangkit (Nefos). Imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme mengabdi Pada
kekuatan lama. Saat pemerintah Indonesia menganut system demokrasi terpimpin,
cita-cita politik luar negeri yang bebas-aktif tidak tercapai. Terjadi
penyimpangan- penyimpangan. Negara Indonesia ternyata tidak bebas dari
blok-blok negara lain, tetapi justru condong ke arah blok sosialis-komunis.
Karena
politik luar negeri Indonesia bersifat konfrontatif, revolusioner dan cenderung
berpihak ke blok timur, maka pergaulan Indonesia di dunia internasional menjadi
semakin sempit. Berikut ini adalah beberapa kebijakan luar negeri yang
dilakukan pemerintah pada masa demokrasi terpimpin.
Ø
Memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda (17
Agustus 1960).
Ø
Mengirim kontingen pasukan perdamaian (pasukan
Garuda II) ke Kongo (10 September 1960).
Ø
Indonesia ikut terlibat dalam Gerakan Non Blok
(September 1961).
Ø
Pembebasan Irian Jaya (1962).
Ø
Konfrontasi dengan Malaysia (1963).
Ø
Menyelenggarakan Ganefo I (Games of the New Emerging
Forces) (1963).
Ø
Indonesia keluar dari keanggotaan PBB (1964).
Ø
Mempraktikkan politik luar negeri yang condong ke
negara-negara sosialis-komunis (blok timur) dengan bergabung dalam poros
Jakarta—Peking (Indonesia—RRC) dan poros Jakarta—Pnom Penh—Hanoi—Peking—
Pyongyang (Indonesia — Kamboja — Vietnam Utara—RRC—Korea Utara).
Presiden
Soekarno dengan politik mercusuarnya berpendapat bahwa Indonesia merupakan
mercusuar yang mampu menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Dengan politik
mercusuar, Indonesia
mengambil
posisi sebagai pelopor dalam memecahkan masalah-masalah internasional pada masa
itu. Dengan demikian Indonesia akan diakui sebagai negara yang pantas
diperhitungkan di Asia.
Pada
praktiknya, politik mercusuar merugikan masyarakat secara nasional. Dengan
demikian, jelaslah bahwa dalam masa demokrasi terpimpin, sistem politik yang
diberlakukan juga menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.
Dalam bidang pembangunan
Dalam
bidang pembangunan, pemerintah pada tahun 1958 mengeluarkan undang-undang
pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas), yakni UU No. 80 tahun 1958.
Tugas Dewan Perancang Nasional adalah mempersiapkan rancangan undang-undang
pembangunan nasional yang berencana dan menilai penyelenggaraan pembangunan
itu. Dewan yang beranggotakan 80 orang wakil golongan masyarakat dan daerah ini
semula dipimpin oleh Muhammad Yamin. Pada tanggal 26 Juli 1960, dewan ini
berhasil menyusun “Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara
Berencana tahapan tahun 1961 – 1969” yang kemudian disetujui MPRS melalui Tap
No. 2/MPRS/1960. Pada tahun 1963, Depernas diganti namanya menjadi Badan
Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas). Bappenas dipimpin langsung oleh
Presiden Soekarno. Badan ini bertugas untuk menyusun rencana jangka panjang dan
rencana tahunan, baik nasional maupun daerah, mengawasi dan menilai pelaksanaan
pembangunan, menyiapkan dan menilai Mandataris untuk MPRS.
Dalam bidang ekonomi–keuangan
Pada masa
demokrasi terpimpin keadaan ekonomi Indonesia bisa dikatakan terpuruk dan
sangat buruk. Tingkat inflasi sangat tinggi. Untuk mengatasi inflasi dan mencapai
keseimbangan dan kemantapan. Keadaan
keuangan negara (moneter), pemerintah melakukan beberapa tindakan sebagai
berikut.
Ø
Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang No. 2 tahun 1959 yang mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959.
Peraturan ini dikeluarkan untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar. Untuk
itu nilai uang kertas pecahan Rp. 500 dan Rp 1000 yang beredar saat itu
diturunkan masing-masing menjadi Rp 50 dan Rp 100.
Ø
Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang No. 3 tahun 1959 Tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada
bank-bank. Tujuannya untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran.
Ø
Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang No.6 tahun 1959. Peraturan ini berisi tentang ketentuan bahwa
bagian uang lembaran Rp 1000 dan Rp 500 yang masih berlaku (yang sekarang
bernilai Rp 100 dan Rp 50) harus ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum
tanggal 1 Januari 1960.
Ø
Menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang
usaha-usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan.
Meskipun
sudah melakukan tindakan-tindakan di atas, pemerintah gagal. Uang yang beredar
semakin meningkat, sehingga inflasi juga semakin tinggi. Kenaikan jumlah uang yang
beredar ini juga disebabkan tindakan
pemerintah yang mengeluarkan uang rupiah baru pada tanggal 13 Desember 1965.
Tindakan
ini didasarkan pada Penetapan Presiden RI No. 27 Tahun 1965. Kegagalan
pemerintah mengatur masalah keuangan dan ekonomi negara disebabkan juga oleh
tidak adanya kemauan politik dari pemerintah untuk menahan diri dalam
pengeluaran-pengeluarannya. Misalnya, untuk menyelenggarakan proyek- proyek
mercusuar seperti Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan Conefo
(Conference of the New Emerging Forces), pemerintah terpaksa harus mengeluarkan
uang yang setiap tahun semakin besar. Akibatnya, inflasi semakin tinggi dan
hargaharga barang semakin mahal sehingga rakyat kecil semakin sengsara.
Dalam bidang perdagangan dan
perkreditan luar negeri
Negara
Indonesia yang agraris belum mampu memenuhi seluruh kebutuhannya. Hasil
pertanian dan perkebunan yang dihasilkan memang dapat dijual ke luar negeri
melalui kegiatan ekspor. Kegiatan perdagangan luar negeri ini bertujuan untuk
menghasilkan dan meningkatkan devisa. Devisa inilah yang kemudian dipakai untuk
membeli barang- barang kebutuhan dari luar negeri yang belum bisa dihasilkan
sendiri dalam negeri. Untuk menjaga dan mempertahankan neraca perdagangan luar
negeri yang sehat, Indonesia harus meningkatkan ekspor supaya devisa semakin
bisa ditingkatkan. Jika terjadi bahwa devisa yang dihasilkan dari kegiatan perdagangan
luar negeri tidak mampu menutupi seluruh biaya impor barang kebutuhan,
pemerintah “terpaksa” membuat utang luar negeri melalui kredit-kredit yang
dikucurkan negara donor.
Dalam hal
kredit luar negeri inilah Indonesia dapat terjebak dalam keputusan politik
berpihak pada blok tertentu yang sedang bersitegang, entah itu Blok Barat
(negara-negara demokrasi Barat) ataupun Blok Timur (negara-negara komunis).
Misalnya, melalui Government to Government (G to G), pemerintah RI dan RRC
mengadakan hubungan dagang yang menguntungkan kedua negara. Indonesia
mengekspor karet ke RRC, tetapi dengan harga yang sangat rendah. Karet tersebut
tidak langsung dikirim ke RRC, tetapi justru diolah terlebih dahulu di
Singapura menjadi bahan baku yang selanjutnya diekspor Singapura ke RRC. Tentu
Singapura yang menerima keuntungan lebih besar dibandingkan Indonesia. Lebih
menyakitkan lagi, kapal-kapal yang membawa karet dari Indonesia hanya berhenti
di wilayah teritorial Singapura. Karet- karet tersebut ditampung di kapal lain
yang sudah siap membawa ke Singapura. Sementara kapal- kapal dari Indonesia
meneruskan perjalanan ke Hongkong atau RRC sambil membawa karet yang sudah
diolah di Singapura dan dijual dengan harga yang lebih mahal. RRC kemudian
mengolah bahan baku karet dari Singapura tersebut menjadi ban dan barangbarang
lainnya lalu diekspor ke Indonesia. Celakanya, barang-barang yang diekspor RRC
ke Indonesia itu dijual sangat mahal dan diperhitungkan sebagai bantuan luar
negeri. Hubungan perdagangan semacam ini sangat merugikan Indonesia, karena
Indonesia tidak punya pilihan lain selain menjual karet ke RRC. Ini terjadi
karena pemerintah RI memilih masuk dalam blok RRC dan blok negara komunis.
Contoh lainnya, untuk membiayai proyek-proyek yang sedang dikerjakan dalam negeri,
Presiden/ Mandataris MPRS mengeluarkan Instruksi Presiden No. 018 Tahun 1964
dan Keputusan Presiden No. 360 tahun 1964. Isi dari instruksi presiden dan
keputusan presiden itu adalah ketentuan mengenai penghimpunan dan penggunaan
Dana-Dana Revolusi. Dana Revolusi tersebut pada awalnya diperoleh dari pungutan
uang call SPP dan pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan
deferrend payment (impor dibayar dengan kredit karena tidak cukup persediaan
devisa). Dalam praktiknya, barang-barang yang diimpor dengan system kredit itu
adalah barang-barang yang tidak member manfaat bagi rakyat banyak karena
merupakan barang mewah atau barang perdagangan lainnya.
Akibat
kebijakan luar negeri yang semacam itu, utang-utang negara bertambah besar.
Sementara itu, ekspor barang ke luar negeri semakin menurun. Devisa negara juga
semakin menipis. Oleh karena itu, sering terjadi bahwa beberapa negara tidak
mau lagi berhubungan dagang dengan Indonesia karena utang-utangnya tidak
dibayar. Di dalam negeri, situasi keuangan yang buruk ini mengganggu produksi,
distribusi, dan perdagangan. Masyarakatlah yang akan mengalami kerugian dari
praktik perdagangan dan perkreditan luar negeri ini.
Politik Luar Negeri dan Ekonomi Indonesi Pada Masa Demokrasi Terpimpin
4/
5
Oleh
Unknown