Pada Masa Demokrasi Terpimpin Politik Luar Negeri Indonesia yang sebenarnya adalah politik bebas aktif cenderung bersifat konfrontatif dan juga cenderung dekat dengan Blok Timur yang Sosialis dan Komunis karena pada masa itu Indonesia sedang berjuang menghadapi Belanda (Anggota Blok Barat) untuk merebut Irian Barat serta menentang pembentukan Negara Federasi Malaysia yang dicurigai merupakan proyek Neo Kolinialisme dari Inggris serta menjadikanya satelit atau pangkalan bagi kepentingan Inggris yang merupakan anggota Blok Barat
Rencana
pembentukan negara Federasi Malaysia yang diprakarsai Inggris menimbulkan
persoalan baru bagi
negara-negara yang berdampingan, misalnya Indonesia, Filipina, dan Malaya.
Indonesia secara tegas menentang pembentukan Federasi Malaysia. Indonesia
menganggap pembentukan Federasi Malaysia adalah proyek neokolonialis Inggris
yang membahayakan revolusi Indonesia. Satu pangkalan militer asing yang
ditujukan antara lain untuk menentang Indonesia dan juga menentang New Emerging Forces di Asia
Tenggara. Oleh karena itu, pemerintah memandang
pembentukan federasi itu harus digagalkan. Pemerintah Indonesia, Malaya, dan
Philipina mengadakan beberapa kali pertemuan untuk menuntaskan permasalahan
tersebut. Berikut ini adalah rangkaian pertemuan ketiga negara yang membahas
masalah pembentukan negara federasi Malaysia;
Ø
Tanggal 9–17 April 1963. Di Philipina, para menteri
luar negeri ketiga negara bertemu untuk membicarakan masalah pembentukan
Federasi Malaysia, kerja sama antarketiga negara, dan mempersiapkan
pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Ø
1 Juni 1963. Presiden Soekarno (Indonesia) dan PM
Tengku Abdul Rachman (Malaya) mengadakan
Ø
pertemuan di Tokyo, Jepang. PM Malaya menyatakan
kesediaannya untuk membicarakan masalah yang sedang dihadapi dengan Presiden RI
dan Presiden Filipina, baik mengenai masalah-masalah yang menyangkut daerah
Asia Tenggara maupun rencana pembentukan Federasi Malaysia.
Ø
Tanggal 7–11 Juni 1963. Menteri luar negeri Malaya,
Indonesia, dan Philipina bertemu di Manila untuk membicarakan persiapan rencana
pertemuan 3 kepala pemerintahan.
Ø
Tanggal 9 Juli 1963. Perdana Menteri Tengku Abdul
Rachman menandatangani dokumen pembentukan Negara Federasi Malaysia di London.
Tindakan ini membuat negara Filipina dan Indonesia bersitegang dengan Malaysia.
Ø
Tanggal 3 Juli – 5 Agustus 1963. Kepala pemerintahan
Malaysia, Filipina, dan Indonesia mengadakan pertemuan di Manila.
Ø
Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Manila,
Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama. Dalam Persetujuan Manila antara lain
dikatakan bahwa Indonesia dan Filipina akan menyambut baik pembentukan Federasi
Malaysia apabila dukungan rakyat di daerah Borneo diselidiki oleh otoritas yang
bebas dan tidak memihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB atau wakilnya.
Filipina dan Indonesia setuju untuk menerima pembentukan
Federasi Malaysia apabila mayoritas di daerah yang hendak dilakukan dekolonial
memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16
September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat
pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut
campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai
Persetujuan Manila yang dilanggar dan sebagai bukti kolonialisme dan
imperialisme Inggris.
Kemudian pada Tanggal 17
September 1963. Masyarakat di Jakarta mengadakan demonstrasi di Kedutaan Besar
Malaysia di Jakarta. Tindakan tersebut dibalas oleh masyarakat Malaysia dengan
melakukan demonstrasi terhadap Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia. Hubungan
diplomatic antara Indonesia dan Malaysia putus pada tanggal 17 September 1963.
Sejak saat itu
hubungan Indonesia dan Malaysia semakin memanas. Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1964 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
- Perhebat revolusi Indonesia
- Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk membubarkan Negara Boneka Malaysia.
Untuk
menggagalkan pembentukan Negara Federasi Malaysia itu pemerintah melakukan
beberapa tindakan, antara lain:
- Pemerintah mengadakan konfrontasi senjata dengan Malaysia
- Pembentukan sukarelawan yang terdiri dari ABRI dan masyarakat; dan
- Mengirimkan sukarelawan ke Singapura dan Kalimantan Utara, wilayah Malaysia, melalui Kalimantan untuk melancarkan operasi terhadap Angkatan Perang Persemakmuran Inggris
Konfrontasi
antara Indonesia dan Malaysia membawa beberapa akibat berikut.
- Timbulnya politik Poros Jakarta—Peking.
- Hilangnya simpati rakyat Malaysia terhadap Indonesia.
- Kerugian materi yang sudah dikeluarkan untuk biaya konfrontasi.
- Indonesia keluar dari PBB
Indonesia keluar dari PBB
Dalam
situasi konflik Indonesia—Malaysia, Malaysia dicalonkan sebagai anggota tidak
tetap Dewan Keamanan PBB. Menanggapi pencalonan Malaysia tersebut, Presiden
Soekarno pada tanggal 31 Desember 1964 menyatakan ketidaksetujuannya. Kalau PBB
menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan, Indonesia mengancam akan
keluar dari PBB. Keberatan Indonesia itu disampaikan oleh Kepala Perutusan
Tetap RI di PBB kepada Sekertaris Jenderal PBB, U Thant. Ancaman Indonesia
tidak mendapatkan tempat di PBB. Pada tanggal 7 Januari 1965, Malaysia diterima
sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Keputusan
PBB ini membuat Indonesia menyatakan diri keluar dari PBB. Indonesia tidak
menjadianggota
PBB lagi. Keluar dari PBB juga berarti keluar dari keanggotaan badan-badan PBB,
khususnya UNESCO, UNICEF, dan FAO. Pernyataan resmi keluarnya pihak Indonesia
dari PBB disampaikan melalui Surat Menteri Luar Negeri, Dr. Subandrio,
tertanggal 20 Januari
Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap, Sukarno menarik
Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk
Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai
alternatif.
Bahkan sebagai tandingan Olimpiade, Sukarno bahkan menyelenggarakan GANEFO
(Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta
pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48
negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500
wartawan asing.
Akhir Konfrontasi dengan Malaysia
Menjelang akhir
1965, Jenderal Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya Kudeta Gerakan 30 September. Oleh karena konflik nasional ini, keinginan Indonesia
untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun
mereda.
Pada 28 Mei
1966 di sebuah konferensi di Bangkok, meski diwarnai dengan keberatan Sukarno
(yang tidak lagi memegang kendali pemerintahan secara efektif), Kerajaan
Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik dan
normalisasi hubungan antara kedua negara. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan
perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari
kemudian.
DwiKora dan Konfrontasi dengan Malaysia
4/
5
Oleh
Unknown