Thursday, December 3, 2015

DwiKora dan Konfrontasi dengan Malaysia

Pada Masa Demokrasi Terpimpin Politik Luar Negeri Indonesia yang sebenarnya adalah politik bebas aktif cenderung bersifat konfrontatif dan juga cenderung dekat dengan Blok Timur yang Sosialis dan Komunis karena pada masa itu Indonesia sedang berjuang menghadapi Belanda (Anggota Blok Barat) untuk merebut Irian Barat serta menentang pembentukan Negara Federasi Malaysia yang dicurigai merupakan proyek Neo Kolinialisme dari Inggris serta menjadikanya satelit atau pangkalan bagi kepentingan Inggris yang merupakan anggota Blok Barat

Rencana pembentukan negara Federasi Malaysia yang diprakarsai Inggris menimbulkan persoalan baru bagi negara-negara yang berdampingan, misalnya Indonesia, Filipina, dan Malaya. Indonesia secara tegas menentang pembentukan Federasi Malaysia. Indonesia menganggap pembentukan Federasi Malaysia adalah proyek neokolonialis Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia. Satu pangkalan militer asing yang ditujukan antara lain untuk menentang Indonesia dan juga menentang New Emerging Forces di Asia Tenggara. Oleh karena itu, pemerintah memandang pembentukan federasi itu harus digagalkan. Pemerintah Indonesia, Malaya, dan Philipina mengadakan beberapa kali pertemuan untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Berikut ini adalah rangkaian pertemuan ketiga negara yang membahas masalah pembentukan negara federasi Malaysia;

Ø  Tanggal 9–17 April 1963. Di Philipina, para menteri luar negeri ketiga negara bertemu untuk membicarakan masalah pembentukan Federasi Malaysia, kerja sama antarketiga negara, dan mempersiapkan pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Ø  1 Juni 1963. Presiden Soekarno (Indonesia) dan PM Tengku Abdul Rachman (Malaya) mengadakan
Ø  pertemuan di Tokyo, Jepang. PM Malaya menyatakan kesediaannya untuk membicarakan masalah yang sedang dihadapi dengan Presiden RI dan Presiden Filipina, baik mengenai masalah-masalah yang menyangkut daerah Asia Tenggara maupun rencana pembentukan Federasi Malaysia.
Ø  Tanggal 7–11 Juni 1963. Menteri luar negeri Malaya, Indonesia, dan Philipina bertemu di Manila untuk membicarakan persiapan rencana pertemuan 3 kepala pemerintahan.
Ø  Tanggal 9 Juli 1963. Perdana Menteri Tengku Abdul Rachman menandatangani dokumen pembentukan Negara Federasi Malaysia di London. Tindakan ini membuat negara Filipina dan Indonesia bersitegang dengan Malaysia.
Ø  Tanggal 3 Juli – 5 Agustus 1963. Kepala pemerintahan Malaysia, Filipina, dan Indonesia mengadakan pertemuan di Manila.
Ø  Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama. Dalam Persetujuan Manila antara lain dikatakan bahwa Indonesia dan Filipina akan menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia apabila dukungan rakyat di daerah Borneo diselidiki oleh otoritas yang bebas dan tidak memihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB atau wakilnya.

Filipina dan Indonesia setuju untuk menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila mayoritas di daerah yang hendak dilakukan dekolonial memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai Persetujuan Manila yang dilanggar dan sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris.

Kemudian pada Tanggal 17 September 1963. Masyarakat di Jakarta mengadakan demonstrasi di Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Tindakan tersebut dibalas oleh masyarakat Malaysia dengan melakukan demonstrasi terhadap Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia. Hubungan diplomatic antara Indonesia dan Malaysia putus pada tanggal 17 September 1963.

Sejak saat itu hubungan Indonesia dan Malaysia semakin memanas. Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1964 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
  1. Perhebat revolusi Indonesia
  2. Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk membubarkan Negara Boneka Malaysia.
   Untuk menggagalkan pembentukan Negara Federasi Malaysia itu pemerintah melakukan beberapa tindakan, antara lain:
  1. Pemerintah mengadakan konfrontasi senjata dengan Malaysia
  2. Pembentukan sukarelawan yang terdiri dari ABRI dan masyarakat; dan
  3. Mengirimkan sukarelawan ke Singapura dan Kalimantan Utara, wilayah Malaysia, melalui Kalimantan untuk melancarkan operasi terhadap Angkatan Perang Persemakmuran Inggris
Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia membawa beberapa akibat berikut.
  1. Timbulnya politik Poros Jakarta—Peking.
  2. Hilangnya simpati rakyat Malaysia terhadap Indonesia.
  3. Kerugian materi yang sudah dikeluarkan untuk biaya konfrontasi.
  4. Indonesia keluar dari PBB

Indonesia keluar dari PBB
Dalam situasi konflik Indonesia—Malaysia, Malaysia dicalonkan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Menanggapi pencalonan Malaysia tersebut, Presiden Soekarno pada tanggal 31 Desember 1964 menyatakan ketidaksetujuannya. Kalau PBB menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan, Indonesia mengancam akan keluar dari PBB. Keberatan Indonesia itu disampaikan oleh Kepala Perutusan Tetap RI di PBB kepada Sekertaris Jenderal PBB, U Thant. Ancaman Indonesia tidak mendapatkan tempat di PBB. Pada tanggal 7 Januari 1965, Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

Keputusan PBB ini membuat Indonesia menyatakan diri keluar dari PBB. Indonesia tidak menjadianggota PBB lagi. Keluar dari PBB juga berarti keluar dari keanggotaan badan-badan PBB, khususnya UNESCO, UNICEF, dan FAO. Pernyataan resmi keluarnya pihak Indonesia dari PBB disampaikan melalui Surat Menteri Luar Negeri, Dr. Subandrio, tertanggal 20 Januari 

Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap, Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.

Bahkan sebagai tandingan Olimpiade, Sukarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.

Akhir Konfrontasi dengan Malaysia
Menjelang akhir 1965, Jenderal Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya Kudeta Gerakan 30 September. Oleh karena konflik nasional ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.

Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, meski diwarnai dengan keberatan Sukarno (yang tidak lagi memegang kendali pemerintahan secara efektif), Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik dan normalisasi hubungan antara kedua negara. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.
DwiKora dan Konfrontasi dengan Malaysia
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.