Tuesday, December 1, 2015

Sutan Sjahrir, "The Smiling Diplomat" yang Berakhir Tragis

Sutan Sjahrir adalah satu dari Tujuh Begawan Revolusi Indonesia seperti.Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifoeddin, Tan Malaka, Sudirman, dan A.H. Nasution-dalam kadar berbeda menentukan arah pergerakan pada masa Revolusi indonesia. Kegimilangan karirnya dalam bidang diplomasi harus diakhiri dengan nasib yang tragis, dengan meninggal karena penyakit stroke dalam keadaan masih menjadi tahanan karena kerap bersebrangan pandangan politik dengan Presiden Soekarno.

Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumbar, 5 Maret 1909. Ia lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat . Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan.

Syahrir mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah pertama (MULO) terbaik di Medan. Pada 1926, setelah ia menyelesaikan pendidikanya di MULO, masuk sekolah menengah atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit, (Cahaya Universitas Rakyat).

Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Sjahrir dikenal sebagai siswa yang sering menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas sosial, yang kemudian menjurus menjadi kegiatan politis. Ketika para pemuda masih terikat dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada tanggal 20 Februari 1927, Syahrir bersama sembilan tokoh pemuda lainya menggagas pendirian perhimpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda II yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.

Syahrir lalu melanjutkan pendidikanya ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam. Di sana, Syahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh-sungguh ia berkutat dengan teori-teori sosialisme. Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Di awal 1930, pemerintah Hindia Belanda kian ketat mengawasi aktivitas organisasi pergerakan nasional, dengan aksi razia dan memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Berita tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu menyerukan agar pergerakan jangan jadi melempem lantaran pemimpinnya dipenjarakan. Seruan itu mereka sampaikan lewat tulisan. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan memasukkan pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik.

Pengujung tahun 1931, Syahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Syahrir segera bergabung dalam organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932 diketuainya. Pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia praktekkan di tanah air. Syahrir terjun dalam pergerakan buruh. Ia memuat banyak tulisannya tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Ia juga kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.

Hatta kemudian kembali ke tanah air pada Agustus 1932, segera pula ia memimpin PNI Baru. Bersama Hatta, Syahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal tinimbang Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup sebanding dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara cerdas, lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.

Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Syahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel. Hampir setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.

Pada masa pendudukan Jepang, sementara Soekarno-Hatta menjalin "kerja sama" dengan Jepang, Sjahrir yang tidak setuju dengan cara Soekarno-Hatta membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis karena yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, sehingga kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat.

Pada 15 Agustus 1945 Syahrir yang mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri mendengar berita kekalahan Jepang. Berita-berita tersebut kemudian ia sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Syahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada hari itu juga karena Jepang sudah menyerah. Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari pihak Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan pada 24 September 1945.

Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab sikap itu berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan RI adalah buatan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.

Perjuangan mereka membuahkan hasil dengan diproklamasikannya Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta. Sutan Sjahrir kemudia menjabat Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) merangkap Ketua Badan Pekerja KNIP pada 16 Oktober-28 November 1945.

Agar Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan wajah bengis, Syahrir menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun menganut sistem multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan.

Dengan siasat-siasat tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia internasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Pihak Belanda kerap melakukan propaganda bahwa orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, menculik, dan lain-lain, karena itu sah bagi Belanda, melalui NICA, menegakkan tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II. Mematahkan propaganda itu, Syahrir menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri.

Pada November 1945, Syahrir yang didukung kalangan pemuda dan ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Sjahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.

Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.

Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran Agresi militer Belanda I pada 21 Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan masalah Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah yang tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III) diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB.

Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB. Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir menguraikan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Eelco van Kleffens. Dengan begitu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional.

PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya. Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB, suatu kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir
Kegemilangan aksi diplomasi Sjahrir tersebut membuat dia pun dijuluki "The Smiling Diplomat". Syahrir sendiri mewakili Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali sidang. Pimpinan delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus Nicodemus Palar (L.N.) Palar sampai tahun 1950.


Sejak akhir Januari 1950, Sutan Sjahrir tidak lagi memegang suatu jabatan negara. Pada tahun 1955, Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sjahrir gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia dengan hanya meraih 14 kursi saja di parlemen.

Setelah kasus pembrontakan PRRI yang banyak didukung oleh tokoh-tokoh PSI pada tahun 1958 serta pembubaran PSI pada tahun 1960, hubungan antara Sutan Sjahrir dengan Presiden Soekarno semakin memburuk

Bahkan, tahun 1962 hingga tahun 1965 , beliau ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili, hingga pada tahun 1965 Sjahrir menderita penyakit "stroke". Setelah itu, Sjahrir diijinkan untuk berobat ke Zurich, Swiss, hingga meninggal dunia di sana pada tanggal 9 April 1966 pada usia 57 tahun.  Sutan Sjahrir wafat dalam pengasingan sebagai tawanan politik dan kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Sutan Sjahrir, "The Smiling Diplomat" yang Berakhir Tragis
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.