Tuesday, December 1, 2015

Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia yang Dilupakan


  
Tan Malaka mungkin lebih cocok disebut sebagai pahlawan yang terlupakan. Mengapa demikian, karena Ia berpuluh-puluh tahun telah berjuang bersama rakyat, namun kemudian dibunuh dan dikuburkan disamping markas militer di sebuah desa di Kediri pada 1949, tanpa banyak yang tahu. Padahal ia lebih dari tiga dekade merealisasikan gagasannya dalam kancah perjuangan Indonesia. Dia juga adalah Tokoh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang menginspirasi para pemimpin Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, dan kawan-kawan melalui bukunya yang berjudul “Naar de ‘Republiek Indonesia’” atau "Menuju Republik Indonesia". Buku yang disusun tahun 1925 ini menjadi tulisan pertama yang nyebut frase “Republik Indonesia” yang mengacu pada perjuangan kemerdekaan Hindia Belanda dari kolonialisme.

Masa Kecil Tan Malaka
Tan Malaka lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat,pada  2 Juni 1897. Nama asli Tan Malaka adalah Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah nama semi-bangsawan yang ia dapatkan dari garis ibu.Pada tahun 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock. Menurut gurunya GH Horensma, meskipun tekadang Malaka, adalah termasuk murid yang bandel namua ia memiliki kepandaian diatas rata-rata. Di sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga gurunya menyarankan agar ia menjadi seorang guru di sekolah Belandat. Ia lulus dari sekolah itu pada tahun 1913. Setelah lulus, ia ditawari gelar datuk dan seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelar datuk.  Ia menerima gelar tersebut dalam sebuah upacara tradisional pada tahun 1913 .

Pendidikan di Belanda
Meskipun diangkat menjadi datuk, pada bulan Oktober 1913 ia meninggalkan desanya untuk belajar di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah), dengan didanai oleh para engku dari desanya. Sesampainya di Belanda, Malaka mengalami kejutan budaya, dan pada 1915, ia menderita pleuritis. Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai meningkat setelah membaca de Fransche Revolutie, yang diberikan kepadanya sebelum keberangkatannya ke Belanda oleh Horensma. Setelah Revolusi Rusia pada Oktober 1917, ia semakin tertarik pada komunisme dan sosialisme, membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Friedrich Nietzsche juga menjadi salah satu panutannya. Saat itulah ia mulai membenci budaya Belanda dan terkesan oleh masyarakat Jerman dan Amerika. Karena banyaknya pengetahuan yang ia dapat tentang Jerman, ia terobsesi menjadi salah satu angkatan perang Jerman. Dia kemudian mendaftar ke militer Jerman, Bagaimanapun, ia ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing. Saat itulah ia bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal dari-Democratische Vereeniging (ISDV, pendahulu dari Partai Komunis Indonesia). Ia juga tertarik bergabung dengan Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (Asosiasi Demokrat Sosial Guru). Pada bulan November 1919, ia lulus dan menerima ijazahnya ( hulpactie).

Kembali ke Indonesia
Setelah lulus, ia kembali ke desanya. Ia kemudian menerima tawaran Dr. C. W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Ia tiba di sana pada Desember 1919; dan mulai mengajar anak-anak itu bahasa Melayu pada Januari 1920 Selain mengajar, Tan Malaka juga menulis beberapa propaganda subversif untuk para kuli, yang dikenal sebagai Deli Spoor. Selama masa ini, dia belajar dari kemerosotan dan keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatera.Ia juga berhubungan dengan ISDV dan terkadang juga menulis untuk media massa. Salah satu karya awalnya adalah "Tanah Orang Miskin", yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam hal kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja, yang dimuat di Het Vrije Woord edisi Maret 1920. Ia juga menulis mengenai penderitaan parakuli kebun teh di Sumatera Post. Tan Malaka terpilih menjadi anggota Volksraad (Dewan Parlemen Hindia Belanda) dalam pemilihan tahun 1920, mewakili kaum kiri namun ia kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri pada 23 Februari 1921.

Pada tahun 1920 Tan Malaka berpindah ke Jawa bergabung bersama ISDV yag telah berubahnama menjadi PKH (Cikal bakal PKI) dengan membentuk Sekolah Rakyat dimana Tan menjadi guruya lalu Tahun 1921 Tan Malaka menjadi ketua PKI setelah kepergian Semaun ke Rusia ia mengembangkan cabang PKI di daerah dan mengecam pemerintah kolonial-kolonial yang menindas para buruh.  Tahun 1922 Tan Malaka ditangkap Pemerintah Kolonial Belanda karena terlibat aksi pemogokan buruh perkebunan. Kemudian ia minta untuk mengasingkan diri ke Belanda, tidak lama setelah itu ke Moskow.

Perjuangan Dalam Masa Pengasingan (1922 – 1942)
Di dalam pengasingan, Malaka bergabung kedalam Communistische Partij Nederland (CPN) atau Partai Komunis Belanda. Karena kecerdasnya Tan Malaka, terpilih menjadi kandidat ke tiga untuk duduk di parlemen Belanda dari partai ini Namun sayangnya, karena faktor usia yang dianggap masih muda (25 tahun), dia tidak bisa menjadi anggota parlemen Belanda.

Stelah gagal menjadi anggota parlemen di Belanda, dia pindah ke Berlin saat ide komunisme sedang sangat berkembang pasca Perang Dunia I dengan berhasil menngulingkan Kaisar Wilhelm II . Di Berlin, Tan Malaka bertemu dan bergabung lagi bersama rekan seperjuangannya, yaitu Darsono ( pentolan Sarekat Islam), yang pada waktu itu jadi perwakilan COMINTERN (Communist International) di kota itu.

Setelah bertemu dengan Darsono, Tan Malaka ikut bergabung menjadi anggota Comintern dan pindah ke Moscow Rusia untuk fokus mengurus negara-negara Timur termasuk Hindia Belanda. Pada Kongres Internasional Comintern ke empat tahun 1922, Tan Malaka membuat kaget para pemimpin-pemimpin komunis dunia, termasuk Lenin dan Trotsky, dengan mengajak Comintern bekerjasama dengan negara-negara Islam untuk membela kaum tertindas. Namun, namun gagasan itu tidak berhasil direalisasikan

Berikutnya, Tan Malaka ditugaskan menjadi agen Comintern di Asia Tenggara dan bermarkas di Kanton, China. Di sanalah, Tan Malaka menyusun sebuah gagasan masa depan bagi Hindia Belanda yang dia bukukan dengan judul “Naar de ‘Republiek Indonesia’” atau "Menuju Republik Indonesia". Buku yang disusun tahun 1925 ini menjadi tulisan pertama yang nyebut frase “Republik Indonesia” yang mengacu pada perjuangan kemerdekaan Hindia Belanda dari kolonialisme.

Buku inilah yang pertama kali menginspirasi kaum cendekiawan muda di tanah air maupun Belanda (Soekarno, Hatta, Amir Sjarifuddin, Nasution, dan kawan-kawan) untuk ikut merealisasikan gagasan negara Indonesia ini menjadi kenyataan. Enam belas tahun setelah buku ini dicetak, analisa Tan Malaka terjadi, meletus tuh Perang Pasifik dalam rangkaian Perang Dunia II, sekaligus menjadi peluang bagi Bung Karno, Hatta, Sjahrir, dan kawan-kawan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Ia pulang ke Jawa disana ia langsung berkantor di Semarang, saat itu sedang ramai perpecahan di tubuh Sarekat Islam (SI), suatu malam Tan Malaka dibawa ke Prambanan oleh sekelompok orang. Para pemimpin PKI berteriak pada pertemuan sangat rahasia "Kita Memberontak sekarang juga sebagai katalisator, sebagai pemicu pemberontakan besar di Asia Tenggara" tandas salah satu pemimpin Komunis. Tapi Tan Malaka tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI yang kemudian meletus tahun 1926/1927 karena tidak sesuai dengan analisis frase perjuangan yang ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember 1925).

Setelah pembrontakan PKI yang terjadi pada tahun 1926/27 Belanda dalam tempo singkat dapat memadamkan pembrontakan lalu menetapkan Tan Malaka yang merupakan pimpinan utama PKI sebagai buronan nomor satu Agen Polisi Belanda.Agen Polisi Rahasia Hindia Belanda lalu mengontak Pemerintahan Inggris di Singapura dan Perwakilan Amerika Serikat  untuk memburu Tan Malaka setelah Tan Malaka berhasil lari dari penjara Belanda. Maka dimulailah episode perburuan paling mencekam sepanjang sejarah Indonesia modern.

Tan Malaka dihadapkan situas hidup-mati, temannya Soebakat ditembak mati di Singapura, ia sendiri dikejar dimana-mana. Penolong Tan Malaka yang paling utama justru media massa. Di Manila nama Tan Malaka menjadi headline surat kabar, pemerintahan Manila mendesak agar Tan Malaka dibebaskan dari buruan perwakilan Amerika Serikat di wilayah Manila. Lalu Tan Malaka melarikan diri ke Hongkong disana Tan Malaka berhasil ditangkap lalu media massa Hongkong, media Inggris bersimpati pada Tan Malaka dan mengirimkan surat ke pemerintahan London untuk membebaskan Tan Malaka. Kesal dengan situasi formal yang diserang Media akhirnya Polisi Belanda dan Inggris ingin menghabisi Tan Malaka diluar jalur hukum, keputusan inilah yang kemudian menjadi efek terbesar gangguan jiwa Tan Malaka yang terlalu paranoid. Setiap pagi palu kematian sudah di depan matanya, dan kita sendiri tak mungkin membayangkan bisa hidup dengan situasi kepribadian seperti itu.

Tan lalu bersebrangan dengan Komintern yang tidak sependapat bekerjasama dengan kelompok Islam. Hal inilah yang mendorongnya mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927. Walaupun bukan partai massa, organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun; pada saat yang sama partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati. Tan Malaka kontan dibenci dan dia dijauhi oleh kelompok Moskow. Namun nama Tan Malaka sudah terlanjur menjadi ikon PKI pada waktu itu.

Kembali ke Indonesia dan Perjuangan mempertahankan Kemerdekaan (1942 – 1949)
Tan Malaka sampai di Djakarta tanpa memiliki apa-apa, kecuali hanya kepandaian. Dia pun masih menyembunyikan jati dirinya sampai Bung Karno, dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Ia lalu menjadi guru dan penerjemah karena memiliki kemampuan bahasa asing yang baik. Di Jakarta Ia mengontrak rumah separuh kandang kambing di bilangan Rawajati, Kalibata (belakang pabrik sepatu bata), disana ia sering merenung di danau dekat Rawajati (sekarang danau pemakaman Kalibata) dalam perenunganya itu ia berhasil menyusun buku berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) sebuah buku yang isinya argumennya tentang pentingnya pola pikir analitik dalam mencapai sebuah kesimpulan yang valid. Buku ini ditulis karena Tan Malaka melihat kelemahan terbesar sebagian besar rakyat Indonesia (yang pada masa itu) cenderung belum terbiasa berpikir kritis, seringkali tidak logis dan rasional, serta belum mampu berdialog secara sehat.
\
Suatu saat Tan Malaka membaca buku di perpustakaan nasional (sekarang Musium Gadjah). Profesor Purbacaraka, ahli bahasa Jawa Kuno pertama di Indonesia menawari Tan sebagai penerjemah dan ia pun menerimanya. Dari Purbacaraka, Tan Malaka direkomendasikan ke Bayah, Banten disana Tan Malaka berkarier sangat cepat ia menjadi kepala di wilayah tambang batubara Bayah, ia menjadi penolong banyak Romusha yang tersiksa. Ia membangun sistem masyarakat disana, dan yang terpenting ia membangun jaringan. Jaringan inilah yang kemudian menjadi senjata bagi dirinya untuk menyusun perjuangannya. Suatu saat datanglah Bung Karno dan Bung Hatta. Tan Malaka yang dikenal di Bayah dengan nama Ilyas Husein berdebat dengan Bung Karno disana. Bung Karno yang tak tau siapa itu Ilyas Husein sebenarnya, dikalahkan dalam perdebatan itu oleh Tan Malaka. Dan pertanyaan yang gagal dijawab oleh Bung Karno dari Tan Malaka adalah : "Apakah sebuah kemerdekaan akan menjamin kemenangan terakhir?" Bila Bung Karno berpikir kemenangan awal, maka Tan Malaka berpikir kemenangan akhir. Dan bagi Tan Malaka kemenangan akhir itu adalah 'Beralihnya secara total hak Indonesia ke tangan rakyat Indonesia bukan ke tangan elite atau tangan yang separuh terjajah' kemenangan akhir itu adalah 'Revolusi Sosial'.

Setelah Jepang menyerah dari sekutu dan Indonesia memerdekakan diri, Tan Malaka, baru merasa aman untuk menunjukan identitas aslinya ke muka umum. Langkah pertamanya setelah Proklamasi kemerdekaan yang dibacakan oleh Sukarno adalah tur keliling Jawa dan memberitakan "kabar gembira" tentang kemerdekaan sekaligus membakar semangat rakyat untuk betul-betul mempertahankan kemerdekaan sampai status ini diakui secara internasional.

Pada saat keliling Pulau Jawa ini, Tan Malaka melihat sendiri bahwa ternyata rakyat menyambut kemerdekaan ini dengan semangat yang luar biasa untuk mempertahankan tanah airnya, kalau perlu sampai mengorbankan nyawa. Namun di sisi lain, Tan Malaka justru melihat pergerakan pemimpin negara baru ini (Bung Karno, Hatta, Sjahrir) cenderung "lembek" dan terus mau disetir oleh orang Barat, supaya negara ini mendapat pengakuan oleh masyarakat internasional. Tan Malaka berpendapat, bahwa kemerdekaan ini sudah diraih sepenuhnya, dan kita tidak perlu lagi melakukan jalur perundingan apa-apa lagi, karena nanti khawatirnya, isi perjanjian tersebut akan merugikan Bangsa Indonesia di kemudian hari.

Dalam tur keliling Jawa nya tersebut, Tan Malaka juga sempat bergabung dengan perjuangan rakyat Surabaya untuk secara langsung berjuang mengusir tentara Belanda (Allied Force for Netherland East Indies- AFNEI) yang dipimpin oleh Lord Mountbatten dan wakilnya, Brigadir Aubertin Walter Sothern Mallaby dalam upaya mencoba lagi menyusup ke Indonesia

Setelah memenangkan peperangan di Surabaya, pada bulan Desember 1945 Tan Malaka kembali berjuang di Purwokerto untuk menyusun strategi perlawanan total terhadap para penjajah Barat yang akhirnya ia membentuk sebuah perkumpulan yang dinamakan “Persatuan Perjuangan” (PP). Perkumpulan ini adalah sebuah manifesto dari kekecewaan rakyat Indonesia terhadap keputusan pemerintah Republik Indonesia yang pada saat itu cenderung dianggap “lembek” karena menempuh jalur perundingan untuk mendapatkan pengakuan internasional. Ternyata dukungan bagi PP banyak sekali.

Walaupun mendapat banyak dukungan dari rakyat, namun tindakan Tan Malaka kurang disukai para elit politik di Jakarta yang ingin meminimalisir konflik dengan pihak Barat. Pada tahun pertengahan tahun 1946 Tan Malaka dan para pemimpin Persatuan Perjuangan lainya ditangkap karena dituduh menggerakkan rakyat menentang persetujuan Linggarjati antara Belanda dan Indonesia serta terlibat percobaan kudeta dalam peristiwa 3 Juli 1946
Bahkan PKI sebagai partai yang dulu dia bela mati-matian hingga harus ngungsi ke banyak negara, malah bersikap pro terhadap Sjahrir. Dalam masa penahananya itu ia menulis banyak buku-buku yang menginspirasi peruangan kemerdekaan dengan judul “Rentjana Ekonomi”, “Theses”, dan “Gerilya Politik Ekonomi (GERPOLEK)”.

Setelah kabinet Syahrir jatuh, pemerintahan dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifudin yang merupakan koleganya di PKI , lalu membebaskanya. Kemudian setelah kabinet Amir Syarifuddin menandatangani perjanjian Renvile pada 17 Januari 1948 yang merugikan Indonesia, Tan Malaka langsung mengecam kebijakan koleganya tersebut lalu membentuk gerakan masyarakat untuk menghimpun kekuatan massa yang menentang perjanjian Renville dan merebut kembali keutuhan wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke

Setelah meletusnya pemberontakan FDR/PKI di Madiun, pada 18 September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin,  dan juga mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai Murba, 7 November 1948 di Yogyakarta.

Dalam situasi ini, Tan Malaka lagi-lagi dianggap sebagai "pembuat onar", oleh pemerintah Indonesia sendiri. Dia malah menghimpun kekuatan di Jawa Timur untuk terus bertempur melawan Belanda. Pada 19 Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda II.
Menghadapi situasi genting ini, Presiden Soekarno mengutus Syafrudin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dengan pusatnya di Bukittinggi. Dalam kondisi Indonesia yang antara ada dan tiada seperti itu, Tan Malaka berpidata di di radio dari daerah Kediri, untuk tetap melanjutkan perjuangan dengan cara:

  1. Tidak mengakui Perjanjian Linggarjati dan Renville.
  2. Menghancurkan negara boneka bentukan Belanda.
  3. Mengambil alih semua wilayah Indonesia yang masih dikuasai oleh Belanda.
  4. Mengambil alih semua aset Belanda dan Eropa lainnya.
  5. Mengembalikan harga diri rakyat Indonesia.
  6. Mengabaikan seluruh ajakan perundingan.
  7. Tidak menyetujui perjanjian apapun yang tidak menyebutkan bahwa Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945
  8. Menyatukan seluruh partai dan badan keamanan rakyat.
Himbauan inilah yang membakar semangat rakyat tapi juga sekaligus menyebabkan Tan Malaka dianggap sebagai pemberontak yang dianggap berbahaya oleh pemerintahan Perdana Menteri Muhammad Hatta. Sejak saat itulah Tan Malaka diburu oleh tentara negara yang dia bela mati-matian selama 30 tahun terakhir, sampai akhirnya terbunuh oleh tentara nasional Indonesia di Kediri Jawa Timur

Pahlawan

Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri atas lalu untuk menghormati jasa-jasanya maka pada 28 Maret 1963 melaluiKeputusan Presiden RI No. 53, menetapkan bahwa Tan Malaka dianugrahi sebagai seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia yang Dilupakan
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.