Tan
Malaka mungkin lebih cocok disebut sebagai pahlawan yang terlupakan. Mengapa
demikian, karena Ia berpuluh-puluh tahun telah berjuang bersama rakyat, namun
kemudian dibunuh dan dikuburkan disamping markas militer di sebuah desa di
Kediri pada 1949, tanpa banyak yang tahu. Padahal ia lebih dari tiga dekade
merealisasikan gagasannya dalam kancah perjuangan Indonesia. Dia juga adalah
Tokoh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia yang menginspirasi
para pemimpin Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, dan kawan-kawan
melalui bukunya yang berjudul “Naar de ‘Republiek Indonesia’” atau "Menuju
Republik Indonesia". Buku yang disusun tahun 1925 ini menjadi tulisan
pertama yang nyebut frase “Republik Indonesia” yang mengacu pada perjuangan
kemerdekaan Hindia Belanda dari kolonialisme.
Masa Kecil Tan Malaka
Tan
Malaka lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat,pada 2 Juni 1897. Nama asli Tan Malaka adalah
Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah nama semi-bangsawan yang ia dapatkan dari
garis ibu.Pada tahun 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara)
di Fort de Kock. Menurut gurunya GH Horensma, meskipun tekadang Malaka, adalah
termasuk murid yang bandel namua ia memiliki kepandaian diatas rata-rata. Di
sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga gurunya menyarankan
agar ia menjadi seorang guru di sekolah Belandat. Ia lulus dari sekolah itu
pada tahun 1913. Setelah lulus, ia ditawari gelar datuk dan seorang gadis untuk
menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelar datuk. Ia menerima gelar tersebut dalam sebuah
upacara tradisional pada tahun 1913 .
Pendidikan di Belanda
Meskipun diangkat
menjadi datuk, pada bulan Oktober 1913 ia meninggalkan desanya untuk belajar di
Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah), dengan didanai oleh para
engku dari desanya. Sesampainya di Belanda, Malaka mengalami kejutan budaya,
dan pada 1915, ia menderita pleuritis. Selama kuliah, pengetahuannya tentang
revolusi mulai meningkat setelah membaca de
Fransche Revolutie, yang diberikan kepadanya sebelum keberangkatannya ke
Belanda oleh Horensma. Setelah Revolusi Rusia pada Oktober 1917, ia semakin
tertarik pada komunisme dan sosialisme, membaca buku-buku karya Karl Marx,
Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Friedrich Nietzsche juga menjadi salah
satu panutannya. Saat itulah ia mulai membenci budaya Belanda dan terkesan oleh
masyarakat Jerman dan Amerika. Karena banyaknya pengetahuan yang ia dapat
tentang Jerman, ia terobsesi menjadi salah satu angkatan perang Jerman. Dia
kemudian mendaftar ke militer Jerman, Bagaimanapun, ia ditolak karena Angkatan
Darat Jerman tidak menerima orang asing. Saat itulah ia bertemu Henk Sneevliet,
salah satu pendiri Indische Sociaal dari-Democratische Vereeniging (ISDV,
pendahulu dari Partai Komunis Indonesia). Ia juga tertarik bergabung dengan
Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (Asosiasi Demokrat Sosial Guru).
Pada bulan November 1919, ia lulus dan menerima ijazahnya ( hulpactie).
Kembali ke Indonesia
Setelah lulus, ia kembali
ke desanya. Ia kemudian menerima tawaran Dr. C. W. Janssen untuk mengajar
anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera
Utara. Ia tiba di sana pada Desember 1919; dan mulai mengajar anak-anak itu
bahasa Melayu pada Januari 1920 Selain mengajar, Tan Malaka juga menulis
beberapa propaganda subversif untuk para kuli, yang dikenal sebagai Deli Spoor.
Selama masa ini, dia belajar dari kemerosotan dan keterbelakangan hidup kaum
pribumi di Sumatera.Ia juga berhubungan dengan ISDV dan terkadang juga menulis
untuk media massa. Salah satu karya awalnya adalah "Tanah Orang
Miskin", yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam hal kekayaan
antara kaum kapitalis dan pekerja, yang dimuat di Het Vrije Woord edisi Maret
1920. Ia juga menulis mengenai penderitaan parakuli kebun teh di Sumatera Post.
Tan Malaka terpilih menjadi anggota Volksraad (Dewan Parlemen Hindia Belanda)
dalam pemilihan tahun 1920, mewakili kaum kiri namun ia kemudian memutuskan
untuk mengundurkan diri pada 23 Februari 1921.
Pada tahun 1920 Tan Malaka berpindah ke Jawa bergabung bersama ISDV yag telah berubahnama menjadi PKH (Cikal bakal PKI) dengan membentuk Sekolah Rakyat dimana Tan menjadi guruya lalu Tahun 1921 Tan Malaka menjadi ketua PKI setelah kepergian
Semaun ke Rusia ia mengembangkan cabang PKI di daerah dan mengecam pemerintah
kolonial-kolonial yang menindas para buruh. Tahun 1922 Tan Malaka
ditangkap Pemerintah Kolonial Belanda karena terlibat aksi pemogokan buruh
perkebunan. Kemudian ia minta untuk mengasingkan diri ke Belanda, tidak lama
setelah itu ke Moskow.
Perjuangan
Dalam Masa Pengasingan (1922 – 1942)
Di
dalam pengasingan, Malaka bergabung kedalam Communistische Partij Nederland
(CPN) atau Partai Komunis Belanda. Karena kecerdasnya Tan Malaka, terpilih menjadi
kandidat ke tiga untuk duduk di parlemen Belanda dari partai ini Namun sayangnya,
karena faktor usia yang dianggap masih muda (25 tahun), dia tidak bisa menjadi
anggota parlemen Belanda.
Stelah gagal menjadi
anggota parlemen di Belanda, dia pindah ke Berlin saat ide komunisme sedang
sangat berkembang pasca Perang Dunia I dengan berhasil menngulingkan Kaisar
Wilhelm II . Di Berlin, Tan Malaka bertemu dan bergabung lagi bersama rekan
seperjuangannya, yaitu Darsono ( pentolan Sarekat Islam), yang pada waktu itu
jadi perwakilan COMINTERN (Communist International) di kota itu.
Setelah bertemu dengan Darsono, Tan
Malaka ikut bergabung menjadi anggota Comintern dan pindah ke Moscow Rusia
untuk fokus mengurus negara-negara Timur termasuk Hindia Belanda. Pada
Kongres Internasional Comintern ke empat tahun 1922, Tan Malaka membuat kaget
para pemimpin-pemimpin komunis dunia, termasuk Lenin dan Trotsky, dengan
mengajak Comintern bekerjasama dengan negara-negara Islam untuk membela kaum
tertindas. Namun, namun gagasan itu tidak berhasil direalisasikan
Berikutnya, Tan Malaka
ditugaskan menjadi agen Comintern di Asia Tenggara dan bermarkas di Kanton, China.
Di sanalah, Tan Malaka menyusun sebuah gagasan masa depan bagi Hindia Belanda
yang dia bukukan dengan judul “Naar de ‘Republiek Indonesia’” atau "Menuju
Republik Indonesia". Buku yang disusun tahun 1925 ini menjadi tulisan
pertama yang nyebut frase “Republik Indonesia” yang mengacu pada perjuangan
kemerdekaan Hindia Belanda dari kolonialisme.
Buku inilah yang pertama
kali menginspirasi kaum cendekiawan muda di tanah air maupun Belanda (Soekarno,
Hatta, Amir Sjarifuddin, Nasution, dan kawan-kawan) untuk ikut merealisasikan
gagasan negara Indonesia ini menjadi kenyataan. Enam belas tahun setelah buku
ini dicetak, analisa Tan Malaka terjadi, meletus tuh Perang Pasifik dalam
rangkaian Perang Dunia II, sekaligus menjadi peluang bagi Bung Karno, Hatta,
Sjahrir, dan kawan-kawan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Ia pulang ke Jawa disana ia langsung berkantor di Semarang, saat
itu sedang ramai perpecahan di tubuh Sarekat Islam (SI), suatu malam Tan Malaka
dibawa ke Prambanan oleh sekelompok orang. Para pemimpin PKI berteriak pada
pertemuan sangat rahasia "Kita Memberontak sekarang juga sebagai
katalisator, sebagai pemicu pemberontakan besar di Asia Tenggara" tandas
salah satu pemimpin Komunis. Tapi Tan Malaka tidak setuju dengan rencana pemberontakan
PKI yang kemudian meletus tahun 1926/1927 karena tidak sesuai dengan analisis frase
perjuangan yang ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju
Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember
1925).
Setelah pembrontakan PKI yang terjadi pada tahun 1926/27 Belanda
dalam tempo singkat dapat memadamkan pembrontakan lalu menetapkan Tan Malaka
yang merupakan pimpinan utama PKI sebagai buronan nomor satu Agen Polisi Belanda.Agen
Polisi Rahasia Hindia Belanda lalu mengontak Pemerintahan Inggris di Singapura
dan Perwakilan Amerika Serikat untuk
memburu Tan Malaka setelah Tan Malaka berhasil lari dari penjara Belanda. Maka
dimulailah episode perburuan paling mencekam sepanjang sejarah Indonesia
modern.
Tan Malaka dihadapkan situas hidup-mati, temannya Soebakat
ditembak mati di Singapura, ia sendiri dikejar dimana-mana. Penolong Tan Malaka
yang paling utama justru media massa. Di Manila nama Tan Malaka menjadi
headline surat kabar, pemerintahan Manila mendesak agar Tan Malaka dibebaskan
dari buruan perwakilan Amerika Serikat di wilayah Manila. Lalu Tan Malaka
melarikan diri ke Hongkong disana Tan Malaka berhasil ditangkap lalu media
massa Hongkong, media Inggris bersimpati pada Tan Malaka dan mengirimkan surat
ke pemerintahan London untuk membebaskan Tan Malaka. Kesal dengan situasi
formal yang diserang Media akhirnya Polisi Belanda dan Inggris ingin menghabisi
Tan Malaka diluar jalur hukum, keputusan inilah yang kemudian menjadi efek
terbesar gangguan jiwa Tan Malaka yang terlalu paranoid. Setiap pagi palu
kematian sudah di depan matanya, dan kita sendiri tak mungkin membayangkan bisa
hidup dengan situasi kepribadian seperti itu.
Tan lalu bersebrangan dengan Komintern yang tidak sependapat
bekerjasama dengan kelompok Islam. Hal inilah yang mendorongnya mendirikan
Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927. Walaupun bukan partai
massa, organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun; pada saat yang sama
partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati. Tan Malaka kontan dibenci
dan dia dijauhi oleh kelompok Moskow. Namun nama Tan Malaka sudah terlanjur
menjadi ikon PKI pada waktu itu.
Kembali ke
Indonesia dan Perjuangan mempertahankan Kemerdekaan (1942 – 1949)
Tan Malaka sampai di Djakarta tanpa memiliki apa-apa, kecuali hanya kepandaian. Dia pun masih menyembunyikan jati dirinya sampai Bung Karno, dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Ia lalu menjadi guru dan penerjemah karena memiliki kemampuan bahasa asing yang baik. Di Jakarta Ia mengontrak rumah separuh kandang kambing di bilangan Rawajati, Kalibata (belakang pabrik sepatu bata), disana ia sering merenung di danau dekat Rawajati (sekarang danau pemakaman Kalibata) dalam perenunganya itu ia berhasil menyusun buku berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) sebuah buku yang isinya argumennya tentang pentingnya pola pikir analitik dalam mencapai sebuah kesimpulan yang valid. Buku ini ditulis karena Tan Malaka melihat kelemahan terbesar sebagian besar rakyat Indonesia (yang pada masa itu) cenderung belum terbiasa berpikir kritis, seringkali tidak logis dan rasional, serta belum mampu berdialog secara sehat.
Tan Malaka sampai di Djakarta tanpa memiliki apa-apa, kecuali hanya kepandaian. Dia pun masih menyembunyikan jati dirinya sampai Bung Karno, dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Ia lalu menjadi guru dan penerjemah karena memiliki kemampuan bahasa asing yang baik. Di Jakarta Ia mengontrak rumah separuh kandang kambing di bilangan Rawajati, Kalibata (belakang pabrik sepatu bata), disana ia sering merenung di danau dekat Rawajati (sekarang danau pemakaman Kalibata) dalam perenunganya itu ia berhasil menyusun buku berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) sebuah buku yang isinya argumennya tentang pentingnya pola pikir analitik dalam mencapai sebuah kesimpulan yang valid. Buku ini ditulis karena Tan Malaka melihat kelemahan terbesar sebagian besar rakyat Indonesia (yang pada masa itu) cenderung belum terbiasa berpikir kritis, seringkali tidak logis dan rasional, serta belum mampu berdialog secara sehat.
\
Suatu saat Tan Malaka membaca buku di perpustakaan nasional
(sekarang Musium Gadjah). Profesor Purbacaraka, ahli bahasa Jawa Kuno pertama
di Indonesia menawari Tan sebagai penerjemah dan ia pun menerimanya. Dari
Purbacaraka, Tan Malaka direkomendasikan ke Bayah, Banten disana Tan Malaka
berkarier sangat cepat ia menjadi kepala di wilayah tambang batubara Bayah, ia
menjadi penolong banyak Romusha yang tersiksa. Ia membangun sistem masyarakat
disana, dan yang terpenting ia membangun jaringan. Jaringan inilah yang
kemudian menjadi senjata bagi dirinya untuk menyusun perjuangannya. Suatu saat
datanglah Bung Karno dan Bung Hatta. Tan Malaka yang dikenal di Bayah dengan
nama Ilyas Husein berdebat dengan Bung Karno disana. Bung Karno yang tak tau
siapa itu Ilyas Husein sebenarnya, dikalahkan dalam perdebatan itu oleh Tan
Malaka. Dan pertanyaan yang gagal dijawab oleh Bung Karno dari Tan Malaka
adalah : "Apakah sebuah kemerdekaan akan menjamin kemenangan
terakhir?" Bila Bung Karno berpikir kemenangan awal, maka Tan Malaka
berpikir kemenangan akhir. Dan bagi Tan Malaka kemenangan akhir itu adalah
'Beralihnya secara total hak Indonesia ke tangan rakyat Indonesia bukan ke
tangan elite atau tangan yang separuh terjajah' kemenangan akhir itu adalah
'Revolusi Sosial'.
Setelah Jepang menyerah dari sekutu dan Indonesia memerdekakan
diri, Tan Malaka, baru merasa aman untuk menunjukan identitas aslinya ke muka
umum. Langkah pertamanya setelah Proklamasi kemerdekaan yang dibacakan oleh
Sukarno adalah tur keliling Jawa dan memberitakan "kabar gembira"
tentang kemerdekaan sekaligus membakar semangat rakyat untuk betul-betul
mempertahankan kemerdekaan sampai status ini diakui secara internasional.
Pada saat keliling Pulau Jawa ini, Tan Malaka melihat sendiri
bahwa ternyata rakyat menyambut kemerdekaan ini dengan semangat yang luar biasa
untuk mempertahankan tanah airnya, kalau perlu sampai mengorbankan nyawa. Namun
di sisi lain, Tan Malaka justru melihat pergerakan pemimpin negara baru ini
(Bung Karno, Hatta, Sjahrir) cenderung "lembek" dan terus mau disetir
oleh orang Barat, supaya negara ini mendapat pengakuan oleh masyarakat
internasional. Tan Malaka berpendapat, bahwa kemerdekaan ini sudah diraih
sepenuhnya, dan kita tidak perlu lagi melakukan jalur perundingan apa-apa lagi,
karena nanti khawatirnya, isi perjanjian tersebut akan merugikan Bangsa
Indonesia di kemudian hari.
Dalam tur keliling Jawa nya tersebut, Tan Malaka juga sempat
bergabung dengan perjuangan rakyat Surabaya untuk secara langsung berjuang
mengusir tentara Belanda (Allied Force for Netherland East Indies- AFNEI) yang
dipimpin oleh Lord Mountbatten dan wakilnya, Brigadir Aubertin Walter Sothern
Mallaby dalam upaya mencoba lagi menyusup ke Indonesia
Setelah memenangkan peperangan di Surabaya, pada bulan Desember
1945 Tan Malaka kembali berjuang di Purwokerto untuk menyusun strategi
perlawanan total terhadap para penjajah Barat yang akhirnya ia membentuk sebuah
perkumpulan yang dinamakan “Persatuan Perjuangan” (PP). Perkumpulan ini adalah
sebuah manifesto dari kekecewaan rakyat Indonesia terhadap keputusan pemerintah
Republik Indonesia yang pada saat itu cenderung dianggap “lembek” karena
menempuh jalur perundingan untuk mendapatkan pengakuan internasional. Ternyata
dukungan bagi PP banyak sekali.
Walaupun mendapat banyak dukungan dari rakyat, namun tindakan
Tan Malaka kurang disukai para elit politik di Jakarta yang ingin meminimalisir
konflik dengan pihak Barat. Pada tahun pertengahan tahun 1946 Tan Malaka dan
para pemimpin Persatuan Perjuangan lainya ditangkap karena dituduh menggerakkan
rakyat menentang persetujuan Linggarjati antara Belanda dan Indonesia serta
terlibat percobaan kudeta dalam peristiwa 3 Juli 1946
Bahkan PKI sebagai partai yang dulu dia bela mati-matian hingga harus
ngungsi ke banyak negara, malah bersikap pro terhadap Sjahrir. Dalam masa
penahananya itu ia menulis banyak buku-buku yang menginspirasi peruangan
kemerdekaan dengan judul “Rentjana Ekonomi”, “Theses”, dan “Gerilya Politik
Ekonomi (GERPOLEK)”.
Setelah kabinet Syahrir jatuh, pemerintahan dipimpin oleh
Perdana Menteri Amir Syarifudin yang merupakan koleganya di PKI , lalu
membebaskanya. Kemudian setelah kabinet Amir Syarifuddin menandatangani
perjanjian Renvile pada 17 Januari 1948 yang merugikan Indonesia, Tan Malaka
langsung mengecam kebijakan koleganya tersebut lalu membentuk gerakan
masyarakat untuk menghimpun kekuatan massa yang menentang perjanjian Renville
dan merebut kembali keutuhan wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke
Setelah meletusnya pemberontakan FDR/PKI di Madiun, pada 18 September
1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, dan juga mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia
akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari
hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka
merintis pembentukan Partai Murba, 7 November 1948 di Yogyakarta.
Dalam
situasi ini, Tan Malaka lagi-lagi dianggap sebagai "pembuat onar",
oleh pemerintah Indonesia sendiri. Dia malah menghimpun kekuatan di Jawa Timur
untuk terus bertempur melawan Belanda. Pada 19 Desember 1948 Belanda
melancarkan Agresi Militer Belanda II.
Menghadapi
situasi genting ini, Presiden Soekarno mengutus Syafrudin Prawiranegara
membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dengan pusatnya di
Bukittinggi. Dalam kondisi Indonesia yang antara ada dan tiada seperti itu,
Tan Malaka berpidata di di radio dari daerah Kediri, untuk tetap
melanjutkan perjuangan dengan cara:
- Tidak
mengakui Perjanjian Linggarjati dan Renville.
- Menghancurkan
negara boneka bentukan Belanda.
- Mengambil
alih semua wilayah Indonesia yang masih dikuasai oleh Belanda.
- Mengambil
alih semua aset Belanda dan Eropa lainnya.
- Mengembalikan
harga diri rakyat Indonesia.
- Mengabaikan
seluruh ajakan perundingan.
- Tidak
menyetujui perjanjian apapun yang tidak menyebutkan bahwa Indonesia
merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945
- Menyatukan
seluruh partai dan badan keamanan rakyat.
Himbauan
inilah yang membakar semangat rakyat tapi juga sekaligus menyebabkan Tan
Malaka dianggap sebagai pemberontak yang dianggap berbahaya oleh
pemerintahan Perdana Menteri Muhammad Hatta. Sejak saat itulah Tan
Malaka diburu oleh tentara negara yang dia bela mati-matian
selama 30 tahun terakhir, sampai akhirnya terbunuh oleh tentara nasional
Indonesia di Kediri Jawa Timur
Pahlawan
Pada
tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati
tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela
Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut
terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang
menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 di
lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten
Kediri atas lalu untuk menghormati jasa-jasanya maka pada 28 Maret 1963 melaluiKeputusan
Presiden RI No. 53, menetapkan bahwa Tan Malaka dianugrahi sebagai seorang
pahlawan kemerdekaan Nasional.
Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia yang Dilupakan
4/
5
Oleh
Unknown