Meski
Amir Sjarifoeddin dihukum mati atas hukumanya karena terlibat dalam pergerakan
di partai komunisme serta peristiwa Madiun, tetap saja beliau merupakan salah
seorang pahlawan yang berjasa karena turut berjuang pada masa awal Kemerdekaan
Republik Indonesia.
Mr.
Amir Sjarifoeddin Harahap (ejaan baru: Amir Syarifuddin Harahap) atau yang
lebih dikenal dengan nama Amir Sjarifoedin, lahir di Medan, Sumatera Utara, pada
tanggal 27 April 1907. Dia adalah seorang salah satu politisi sosialis terkemuka
dan juga menjadi salah satu pemimpin perjuangan pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia.
Amir
lahir dari pasangan suami-istri bernama Soripada Harahap dengan Basunu Siregar,
yang keduanya berbeda agama. Soripada sendiri adalah anak dari Ephraim Harahap,
seorang pemeluk kristen pada masa-masa awal misi zending di
Parausorat, Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Sedangkan ibunya, Basunu Siregar,
besar di Medan dan telah membaur dengan masyarakat Melayu-Deli dan memeluk
agama islam. Karena perkawinan ini pula Soripada memeluk agama islam.
Beragam
kesulitan dialami oleh keluarga ini dalam kehidupan sehari-harinya, baik karena
sikap temperamen Soripada maupun kesulitan ekonomi. Soripada yang berprofesi
sebagai hoofjaksa (Jaksa) namun
tidak berhasil mencapai karier yang cerah dalam pekerjaannya karena dijatuhi
hukuman tidak boleh menjadi pegawai negeri setelah memukul seorang tahanan.
Basunu sendiri mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri pada tahun 1931.
Pendidikan
Berasal
dari keluarga yang memiliki latar belakang keluarga aristokrat serta terpandang
dengan dukungan kemampuan intelektual yang luar biasa membuat Amir tak
kesulitan masuk ke sekolah-sekolah paling. elit Amir mengawali pendidikanya
dengan masuk di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga
selesai Agustus 1921. Kemudian atas bantuan sepupunya, Gunung Mulia Harahap
yang merupakan anggota Volksraad, Amir bisa melanjutkan pendidikannya di Kota Leiden,
Belanda, sejak tahun 1921 hingga tingkat dua di Gymnasium di Haarlem pada tahun
1927. Pada tahun tersebut, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah
keluarga. Namun atas saran dan desakan teman-temannya, Amir kemudian
melanjutkan pendidikannya di Batavia mengambil jurusan hukum.
Ia kemudian
kembali dibantu oleh sepupunya Mulia yang telah kembali ke Batavia dan menjabat
direktur pendidikan guru di Jatinegara. Hubungannya dengan aktivis pejuang
kemerdekaan semakin intens, yang telah dimulai sejak dari negeri
Belanda, ketika ia pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw,
Kramat 106, menumpang pada Muhammad Yamin. Dalam Kongres Pemuda Kedua, yang
dianggap sebagai batu penjuru bagi perjuangan menuju negara Indonesia merdeka
dengan dirumuskannya Sumpah Pemuda, Amir turut sebagai peserta mewakili Jong
Batak dimana ia duduk sebagai bendahara.
kedatangannya
di Belanda dalam kurun waktu 1926-1927 membuat dia masuk menjadi anggota
pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu pula Amir
aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op
Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia
tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga
Mulia menumpang. Karena kedekatan dan pendalamanya terhadap Kristen akhirnya Amir
lalu pindah agama dari Islam ke Kristen pada tahun 1931.
Dalam
pandangan Amir, elemen-elemen yang penting dalam perjuangan adalah komunikasi
dan pendidikan politik, bahasa, pers dan kantor berita, sekolah serta
pendidikan rakyat. Ketertarikan ini pula yang mendorong ia giat hingga duduk
sebagai pemimpin redaksi Indonesia Raja yang didirikan oleh
Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI). Ketika ia aktif di Partindo
(Partai Indonesia), dimana ia menjadi salah satu pengurusnya, ia duduk di
bagian propaganda dan penerbitan. Bidang komunikasi ini pula yang
mengenalkannya dengan penjara karena ia sebagai pemimpin redaksi majalah Banteng menerbitkan
karangan anonim berjudul “Massa Actie” yang sebenarnya adalah karangan
Muhammad Yamin. Karangan ini dianggap pemerintahan kolonial berbahaya karena
berisi petunjuk untuk melakukan perjuangan secara rasional dan terstruktur
untuk menumbangkan kekuasaan kolonial.
Amir
adalah seorang pengurus Partindo yang lebih condong pada pandangan-pandangan
kiri tapi sekaligus juga aktif dalam diskusi-diskusi kristen sejak tahun 1931
di Christelijte Studenten Vreeninging op Java (CSV op Java)
yang mendekatkan dirinya dengan tokoh-tokoh pergerakan yang beragama kristen
seperti J. Leimena, W. P. Tambunan, dan lain-lain
Perjuangan
Menjelang
invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha menyetujui dan menjalankan garis
Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan
kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Barangkali ini mempunyai hubungan dengan
pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun
1936.
Ia
kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, Belanda
waktu itu untuk menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama
dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak
mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan
terhadapnya akibat polemik pada awal tahun 1940-an, serta tidak paham akan
strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu,
berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan
kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini
garis Amir yang terbukti benar.
Keteguhan
hati dan tak kenal takut Amir yang melegenda tak hanya sekali memukau Belanda,
Dalam dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service),
jawatan rahasia Kolonial Belanda, tertanggal 9 Juni 1947, dituliskan bagaimana
ia tertawa ketika para penyidik Jepang tahun 1943 menyiksanya saat interogasi
terkait keterlibatannya dalam gerakan bawah tanah menentang pendudukan Jepang.
Ia tertawa bahkan ketika ia digantung dengan kaki diatas.
Pada
bulan Januari 1943 Amir ditangkap oleh fasis Jepang, karena merupakan bagian
gerakan bawah tanah anti-fasis. Lalu dia dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan
karena terbukti terliba. Namun karena pengaruh campur tangan Soekarno, akhirnya
hukuman mati atas Amir dibatalkan.
Kabinet Sjahrir
Setelah
Proklamasi kemerdekaan Amir melanjutkan perjuanganya dengan masuk dalam
pemerintahan dengan menjabat sebagai wakil ketua KNI-P. Amir beserta koleganya
sesama tokoh sosialis lain, Sutan Sjahrir kurang menyukai sistem pemerintahan
presidensiil yang diterapakan oleh PPKI serta peran KNI-P yang hanya pembantu
dan penasehat presiden sehingga mengesankan pemerintahan bisa-bisa bersifat
Diktator. Untuk itu dia bersama tokoh-tokoh sosialis lain menggalang kekuatan
di KNI-P untuk membentuk Badan Pekerja KNI-P untuk merubah sistem pemerintahan
yang ada. Akhirnya setelah bekerja kurang lebih 3 bulan Badan ini berhasil
mendesak pemerintah merubah sistem pemerintahan menjadi Parlementer
Setelah
berhasil merubah sistem pemerintahan menjadi Parlementer Sutan Sjahrir ditunjuk
menjadi Perdana Menteri pertama Indonesia dan Amir yang merupakan orang dekat
Sjahrir ditunjuk menjadi salah satu Menterinya. Amir Sjarifoeddin berhasil
duduk di kursi Menteri selama 3 jilid kabinet Sjahrir . Sebelum kabinet ini
jatuh pada tahun 1947 seusai menandatangani perjanjian Linggarjati
Perjanjian Renville
Seusai
Kabinet Sjahrir jatuh Soekarno menunjuk Amir Sjarifoeddin sebagai Perdana
Menteri pada 3 Juli 1947. Awal perjalanan Kabinet ini pun menghadapi pukulan
berat dengan menghadapi Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, yang
membuat wilayah Indonesia kian sempit, untuk meredam agresi tersebut Amir pun
terpaksa menandatangani Perjanjian Renville. Perjanjian Renville ini membuat
Parlemen yang berasal baik dari golongan Nasionalis dan Islam pimpinan PNI dan
Masyumi marah besar sehingga mengeluarkan mosi tidak percaya yang membuat
Kabinet Amir jatuh pada 29 Januari 1948
Menjadi Oposisi
Seusai
lepas dari pemerintahan, Amir menjadi oposisi dengan menggalang
kekuata-kekuatan politik sayap kiri dalam koalisi yang bernama Front Demokrasi
Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948. Kelompok ini sering melancarkan kritikan
tajam terhadap pemerintahan Kabinet pimpinan Hatta serta menolak mengakui
perjanjian Renville dan melakukan sabotase-sabotase dengan melakukan pemogokan
buruh. Gerakan oposisi sayap kiri ini semakin kuat dengan kedatangan Muso,
tokoh kawakan komunis yang merupakan “alumnus” kudeta PKI 1926/1927 pada 11
Agustus 1948. Kemudian Muso mengambil alih pimpinan Koalisi sayap kiri ini
dengan merumuskan kebijakan “Jalan Baru Republik Indonesia ” untuk
meleburkan seluruh kekuatan sayap kiri kedalam PKI.
Peristiwa Madiun
Kemudian
karena merasa sudah kuat PKI melancarkan kudeta di Madiun dengan
memproklamirkan berdirinya “Republik Soviet Indonesia” pada 18 September 1948. Hal
yang menarik
dari kudeta ini adalah ketika Sovyet Republik Indonesia diproklamirkan Amir
Syarifuddin dan Muso yang selanjutnya di usung sebagai presiden dan wakil
presiden malah berada di luar Madiun. Amir Sjarifuddin, sebagai
salah seorang tokoh PKI, yang pada saat peristiwa Madiun meletus sedang berada
di Yogyakarta dalam rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api (SBKA). Pemerintah
kemudian merespon kudeta ini dengan melancarkan perang terhadap PKI. Akhirnya hanya
dalam kurun waktu 12 hari kudeta ini dapat dipatahkan. Sementara itu para
pimpinan kudeta ini berhamburan pergi keluar Madiun untuk menyelamatkan diri
Kematian Amir
Setelah
Kudeta PKI di Madiun dapat ditumpas oleh pemerintah Indonesia dengan menguasai
Madiun lagi. Para pemimpin kudeta tersebut berhamburan melarikan diri
keberbagai daerah. Akhirnya pada tanggal 29 November 1948, Amir Sjarifuddin
yang merupakan tokoh utama kudeta PKI Madiun beserta lima kawannya ditangkap.
Mereka
kemudian dibawa ke Kudus dan Solo. Tiba di Solo, Amir dan kawan-kawan
diserahkan kepada Kolonel Gatot Subroto. Konon, Gatot Subroto sempat menyuguhi
mereka kopi, lalu dibawa ke penjara. Nasution juga sempat bertemu dengan
mereka. Saat itu Amir dan kawan-kawan tinggal berpakaian celana dalam dan duduk
di lantai.
Tanggal
5 Desember, Amir dan kawan-kawan tiba di Jogjakarta dengan menggunakan kereta
api. Mereka ditunggu oleh beribu-ribu orang. Wartawan diperbolehkan mewancarai
mereka. Namun, Amir hanya terdiam dan membaca Shakespeare. Mereka kemudian dibawa ke benteng Fort Vredeburg.
Selama di penjara pun Amir Sjarifuddin menghabiskan hari-harinya dengan
membaca.
Pada
tanggal 18 Desember 1948, atau sehari sebelum Agresi Militer Belanda II dan
sekaligus proses eksekusi Amir dan kawan-kawan, Kabinet Hatta menggelar sidang
yang berlangsung sangat panas. Salah satu agenda sidang itu membahas nasib para
pemimpin PKI, termasuk Amir. Dari 12 Menteri yang hadir, 4 orang setuju
eksekusi, 4 orang menolak, dan 4 orang abstain. Soekarno, yang mengetahui
suasana rapat itu, datang dan kemudian menggunakan hak veto-nya, bahwa Amir
Sjarifuddin tidak boleh dihukum mati. Namun sayangnya, pada malam 18 Desember, Amir dan 10 kawannya telah
dipindahkan dengan truk militer. Dan proses pemindahan ini tidak diketahui
Soekarno. Tak lama kemudian, Amir dieksekusi oleh tentara.
Akhirnya
pada tanggal 19 Desember 1948, bersamaan dengan serbuan militer ke wilayah
Republik, Amir dan kawan-kawannya dieksekusi di desa Ngalihan dengan tembakan
pistol dikepalanya dari seorang letnan Polisi Militer . Sebelum dieksekusi,
Amir dan 10 kawannya menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale. Usai
menyanyi, Amir berseru: bersatulah kaum Buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu.
Tak lama kemudian, mereka dieksekusi atas perintah Kolonel Gatot Subroto. Eksekusi
atas Amir Sjarifoediin menimbulkan kemarahan dari Soekarno dan Hatta karena
dilakukan sepihak oleh Kolonel Gatot Soebroto (Gubernur Militer Surakarta)
tanpa melalui proses pengadilan sehingga menimbulkan berbagai kontroversi yang
menyelimuti terkait alasan dan penyebab peristiwa tersebut.
Kontroversi Eksekusi Amir
Harry
A Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak mengatakan, Hatta berencana agar Amir
dan semua pimpinan PKI dibawa kepengadilan. Dan dengan begitu, ada landasan
untuk melarang Partai Komunis. Sedangkan George McTurnan Kahin (1995:9)
mengungkapkan, bahwa Hatta mengatakan kepadanya bahwa “ia sangat marah karena
Amir Sjarifuddin telah ditembak mati tanpa proses pengadilan, dan bertentangan
dengan apa yang dikatakannya, yaitu perintahnya agar tentara mengevakuasinya
(Amir) dan pemimpin-pemimpin pemberontak lainnya yang telah tertangkap andai
kata terjadi serangan Belanda.”
Kemudian
dalam pidato pembelaannya di Sidang Pengadilan Negeri Jakarta, 24 Februari
1955, yang berjudul “Menggugat Peristiwa Madiun”, DN Aidit melemparkan semua
kesalahan terkait eksekusi Amir dan kawan-kawan kepada pemeritahan
Hatta-Sukiman-Natsir. Pidato pembelaan itu cenderung menyelamatkan Soekarno
dari dosa peristiwa Madiun. Ada dua alasan yang menjadi pegangan Aidit.
Pertama, pidato Soekarno bulan November 1948 bahwa “putusan hukuman mati harus
oleh pemerintah pusat dan semua hukuman harus melalui proses pengadilan. Kedua,
berdasarkan Keputusan Badan Pekerja KNIP, kekuasaan penuh (plein pouvoir)
selama 3 bulan yang berikan kepada Presiden Soekarno hanya berlaku hingga
tanggal 15 Desember 1948. Dengan demikian, proses eksekusi mati terhadap Amir
dan pemimpin PKI lainnya sudah diluar kekuasaan Soekarno.
Orang
bisa saja menuding argumentasi Aidit di atas sebagai argumentasi politik, yakni
argumentasi yang disusun sedemikian rupa demi tujuan politik organisasinya saat
itu, yakni membangun front anti-imperialisme bersama dengan Soekarno. Namun,
satu hal yang tidak bisa disangkal, bahwa proses eksekusi mati terhadap Amir
dan 10 kawannya adalah diluar keinginan dan keputusan Soekarno. Gatot Subroto
dan Hatta-lah yang paling bertanggung-jawab atas peristiwa eksekusi tanpa
melalui proses peradilan tersebut.
.
Mr. Amir Sjarifoeddin, Tokoh Sosialis Indonesia
4/
5
Oleh
Unknown