Saturday, January 2, 2016

Mr. Amir Sjarifoeddin, Tokoh Sosialis Indonesia

Meski Amir Sjarifoeddin dihukum mati atas hukumanya karena terlibat dalam pergerakan di partai komunisme serta peristiwa Madiun, tetap saja beliau merupakan salah seorang pahlawan yang berjasa karena turut berjuang pada masa awal Kemerdekaan Republik Indonesia.

Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (ejaan baru: Amir Syarifuddin Harahap) atau yang lebih dikenal dengan nama Amir Sjarifoedin, lahir di Medan, Sumatera Utara, pada tanggal 27 April 1907. Dia adalah seorang salah satu politisi sosialis terkemuka dan juga menjadi salah satu pemimpin perjuangan pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia.


Amir lahir dari pasangan suami-istri bernama Soripada Harahap dengan Basunu Siregar, yang keduanya berbeda agama. Soripada sendiri adalah anak dari Ephraim Harahap, seorang pemeluk kristen pada masa-masa awal misi zending di Parausorat, Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Sedangkan ibunya, Basunu Siregar, besar di Medan dan telah membaur dengan masyarakat Melayu-Deli dan memeluk agama islam. Karena perkawinan ini pula Soripada memeluk agama islam.

Beragam kesulitan dialami oleh keluarga ini dalam kehidupan sehari-harinya, baik karena sikap temperamen Soripada maupun kesulitan ekonomi. Soripada yang berprofesi sebagai hoofjaksa (Jaksa) namun tidak berhasil mencapai karier yang cerah dalam pekerjaannya karena dijatuhi hukuman tidak boleh menjadi pegawai negeri setelah memukul seorang tahanan. Basunu sendiri mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri pada tahun 1931.

Pendidikan
Berasal dari keluarga yang memiliki latar belakang keluarga aristokrat serta terpandang dengan dukungan kemampuan intelektual yang luar biasa membuat Amir tak kesulitan masuk ke sekolah-sekolah paling. elit Amir mengawali pendidikanya dengan masuk di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Kemudian atas bantuan sepupunya, Gunung Mulia Harahap yang merupakan anggota Volksraad, Amir bisa melanjutkan pendidikannya di Kota Leiden, Belanda, sejak tahun 1921 hingga tingkat dua di Gymnasium di Haarlem pada tahun 1927. Pada tahun tersebut, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga. Namun atas saran dan desakan teman-temannya, Amir kemudian melanjutkan pendidikannya di Batavia mengambil jurusan hukum.

Ia kemudian kembali dibantu oleh sepupunya Mulia yang telah kembali ke Batavia dan menjabat direktur pendidikan guru di Jatinegara. Hubungannya dengan aktivis pejuang kemerdekaan semakin intens, yang telah dimulai sejak dari negeri Belanda, ketika ia pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, menumpang pada Muhammad Yamin. Dalam Kongres Pemuda Kedua, yang dianggap sebagai batu penjuru bagi perjuangan menuju negara Indonesia merdeka dengan dirumuskannya Sumpah Pemuda, Amir turut sebagai peserta mewakili Jong Batak dimana ia duduk sebagai bendahara.

kedatangannya di Belanda dalam kurun waktu 1926-1927 membuat dia masuk menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang. Karena kedekatan dan pendalamanya terhadap Kristen akhirnya Amir lalu pindah agama dari Islam ke Kristen pada tahun 1931.

Dalam pandangan Amir, elemen-elemen yang penting dalam perjuangan adalah komunikasi dan pendidikan politik, bahasa, pers dan kantor berita, sekolah serta pendidikan rakyat. Ketertarikan ini pula yang mendorong ia giat hingga duduk sebagai pemimpin redaksi Indonesia Raja yang didirikan oleh Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI).  Ketika ia aktif di Partindo (Partai Indonesia), dimana ia menjadi salah satu pengurusnya, ia duduk di bagian propaganda dan penerbitan. Bidang komunikasi ini pula yang mengenalkannya dengan penjara karena ia sebagai pemimpin redaksi majalah Banteng menerbitkan karangan anonim berjudul “Massa Actie” yang sebenarnya adalah karangan Muhammad Yamin. Karangan ini dianggap pemerintahan kolonial berbahaya karena berisi petunjuk untuk melakukan perjuangan secara rasional dan terstruktur untuk menumbangkan kekuasaan kolonial.

Amir adalah seorang pengurus Partindo yang lebih condong pada pandangan-pandangan kiri tapi sekaligus juga aktif dalam diskusi-diskusi kristen sejak tahun 1931 di Christelijte Studenten Vreeninging op Java (CSV op Java) yang mendekatkan dirinya dengan tokoh-tokoh pergerakan yang beragama kristen seperti J. Leimena, W. P. Tambunan, dan lain-lain

Perjuangan
Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936.

Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, Belanda waktu itu untuk menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik pada awal tahun 1940-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar.

Keteguhan hati dan tak kenal takut Amir yang melegenda tak hanya sekali memukau Belanda, Dalam dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), jawatan rahasia Kolonial Belanda, tertanggal 9 Juni 1947, dituliskan bagaimana ia tertawa ketika para penyidik Jepang tahun 1943 menyiksanya saat interogasi terkait keterlibatannya dalam gerakan bawah tanah menentang pendudukan Jepang. Ia tertawa bahkan ketika ia digantung dengan kaki diatas.

Pada bulan Januari 1943 Amir ditangkap oleh fasis Jepang, karena merupakan bagian gerakan bawah tanah anti-fasis. Lalu dia dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan karena terbukti terliba. Namun karena pengaruh campur tangan Soekarno, akhirnya hukuman mati atas Amir dibatalkan.

Kabinet Sjahrir
Setelah Proklamasi kemerdekaan Amir melanjutkan perjuanganya dengan masuk dalam pemerintahan dengan menjabat sebagai wakil ketua KNI-P. Amir beserta koleganya sesama tokoh sosialis lain, Sutan Sjahrir kurang menyukai sistem pemerintahan presidensiil yang diterapakan oleh PPKI serta peran KNI-P yang hanya pembantu dan penasehat presiden sehingga mengesankan pemerintahan bisa-bisa bersifat Diktator. Untuk itu dia bersama tokoh-tokoh sosialis lain menggalang kekuatan di KNI-P untuk membentuk Badan Pekerja KNI-P untuk merubah sistem pemerintahan yang ada. Akhirnya setelah bekerja kurang lebih 3 bulan Badan ini berhasil mendesak pemerintah merubah sistem pemerintahan menjadi Parlementer

Setelah berhasil merubah sistem pemerintahan menjadi Parlementer Sutan Sjahrir ditunjuk menjadi Perdana Menteri pertama Indonesia dan Amir yang merupakan orang dekat Sjahrir ditunjuk menjadi salah satu Menterinya. Amir Sjarifoeddin berhasil duduk di kursi Menteri selama 3 jilid kabinet Sjahrir . Sebelum kabinet ini jatuh pada tahun 1947 seusai menandatangani perjanjian Linggarjati  

Perjanjian Renville
Seusai Kabinet Sjahrir jatuh Soekarno menunjuk Amir Sjarifoeddin sebagai Perdana Menteri pada 3 Juli 1947. Awal perjalanan Kabinet ini pun menghadapi pukulan berat dengan menghadapi Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, yang membuat wilayah Indonesia kian sempit, untuk meredam agresi tersebut Amir pun terpaksa menandatangani Perjanjian Renville. Perjanjian Renville ini membuat Parlemen yang berasal baik dari golongan Nasionalis dan Islam pimpinan PNI dan Masyumi marah besar sehingga mengeluarkan mosi tidak percaya yang membuat Kabinet Amir jatuh pada 29 Januari 1948

Menjadi Oposisi
Seusai lepas dari pemerintahan, Amir menjadi oposisi dengan menggalang kekuata-kekuatan politik sayap kiri dalam koalisi yang bernama Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948. Kelompok ini sering melancarkan kritikan tajam terhadap pemerintahan Kabinet pimpinan Hatta serta menolak mengakui perjanjian Renville dan melakukan sabotase-sabotase dengan melakukan pemogokan buruh. Gerakan oposisi sayap kiri ini semakin kuat dengan kedatangan Muso, tokoh kawakan komunis yang merupakan “alumnus” kudeta PKI 1926/1927 pada 11 Agustus 1948. Kemudian Muso mengambil alih pimpinan Koalisi sayap kiri ini dengan merumuskan kebijakan “Jalan Baru Republik Indonesia ” untuk meleburkan seluruh kekuatan sayap kiri kedalam PKI.

Peristiwa Madiun
Kemudian karena merasa sudah kuat PKI melancarkan kudeta di Madiun dengan memproklamirkan berdirinya “Republik Soviet Indonesia” pada 18 September 1948. Hal yang menarik dari kudeta ini adalah ketika Sovyet Republik Indonesia diproklamirkan Amir Syarifuddin dan Muso yang selanjutnya di usung sebagai presiden dan wakil presiden malah berada di luar Madiun. Amir Sjarifuddin, sebagai salah seorang tokoh PKI, yang pada saat peristiwa Madiun meletus sedang berada di Yogyakarta dalam rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api (SBKA). Pemerintah kemudian merespon kudeta ini dengan melancarkan perang terhadap PKI. Akhirnya hanya dalam kurun waktu 12 hari kudeta ini dapat dipatahkan. Sementara itu para pimpinan kudeta ini berhamburan pergi keluar Madiun untuk menyelamatkan diri

Kematian Amir
Setelah Kudeta PKI di Madiun dapat ditumpas oleh pemerintah Indonesia dengan menguasai Madiun lagi. Para pemimpin kudeta tersebut berhamburan melarikan diri keberbagai daerah. Akhirnya pada tanggal 29 November 1948, Amir Sjarifuddin yang merupakan tokoh utama kudeta PKI Madiun beserta lima kawannya ditangkap.

Mereka kemudian dibawa ke Kudus dan Solo. Tiba di Solo, Amir dan kawan-kawan diserahkan kepada Kolonel Gatot Subroto. Konon, Gatot Subroto sempat menyuguhi mereka kopi, lalu dibawa ke penjara. Nasution juga sempat bertemu dengan mereka. Saat itu Amir dan kawan-kawan tinggal berpakaian celana dalam dan duduk di lantai.

Tanggal 5 Desember, Amir dan kawan-kawan tiba di Jogjakarta dengan menggunakan kereta api. Mereka ditunggu oleh beribu-ribu orang. Wartawan diperbolehkan mewancarai mereka. Namun, Amir hanya terdiam dan membaca Shakespeare. Mereka kemudian dibawa ke benteng Fort Vredeburg. Selama di penjara pun Amir Sjarifuddin menghabiskan hari-harinya dengan membaca.

Pada tanggal 18 Desember 1948, atau sehari sebelum Agresi Militer Belanda II dan sekaligus proses eksekusi Amir dan kawan-kawan, Kabinet Hatta menggelar sidang yang berlangsung sangat panas. Salah satu agenda sidang itu membahas nasib para pemimpin PKI, termasuk Amir. Dari 12 Menteri yang hadir, 4 orang setuju eksekusi, 4 orang menolak, dan 4 orang abstain. Soekarno, yang mengetahui suasana rapat itu, datang dan kemudian menggunakan hak veto-nya, bahwa Amir Sjarifuddin tidak boleh dihukum mati. Namun sayangnya,  pada malam 18 Desember, Amir dan 10 kawannya telah dipindahkan dengan truk militer. Dan proses pemindahan ini tidak diketahui Soekarno. Tak lama kemudian, Amir dieksekusi oleh tentara.

Akhirnya pada tanggal 19 Desember 1948, bersamaan dengan serbuan militer ke wilayah Republik, Amir dan kawan-kawannya dieksekusi di desa Ngalihan dengan tembakan pistol dikepalanya dari seorang letnan Polisi Militer . Sebelum dieksekusi, Amir dan 10 kawannya menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale. Usai menyanyi, Amir berseru: bersatulah kaum Buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu. Tak lama kemudian, mereka dieksekusi atas perintah Kolonel Gatot Subroto. Eksekusi atas Amir Sjarifoediin menimbulkan kemarahan dari Soekarno dan Hatta karena dilakukan sepihak oleh Kolonel Gatot Soebroto (Gubernur Militer Surakarta) tanpa melalui proses pengadilan sehingga menimbulkan berbagai kontroversi yang menyelimuti terkait alasan dan penyebab peristiwa tersebut.

Kontroversi Eksekusi Amir
Harry A Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak mengatakan, Hatta berencana agar Amir dan semua pimpinan PKI dibawa kepengadilan. Dan dengan begitu, ada landasan untuk melarang Partai Komunis. Sedangkan George McTurnan Kahin (1995:9) mengungkapkan, bahwa Hatta mengatakan kepadanya bahwa “ia sangat marah karena Amir Sjarifuddin telah ditembak mati tanpa proses pengadilan, dan bertentangan dengan apa yang dikatakannya, yaitu perintahnya agar tentara mengevakuasinya (Amir) dan pemimpin-pemimpin pemberontak lainnya yang telah tertangkap andai kata terjadi serangan Belanda.”

Kemudian dalam pidato pembelaannya di Sidang Pengadilan Negeri Jakarta, 24 Februari 1955, yang berjudul “Menggugat Peristiwa Madiun”, DN Aidit melemparkan semua kesalahan terkait eksekusi Amir dan kawan-kawan kepada pemeritahan Hatta-Sukiman-Natsir. Pidato pembelaan itu cenderung menyelamatkan Soekarno dari dosa peristiwa Madiun. Ada dua alasan yang menjadi pegangan Aidit. Pertama, pidato Soekarno bulan November 1948 bahwa “putusan hukuman mati harus oleh pemerintah pusat dan semua hukuman harus melalui proses pengadilan. Kedua, berdasarkan Keputusan Badan Pekerja KNIP, kekuasaan penuh (plein pouvoir) selama 3 bulan yang berikan kepada Presiden Soekarno hanya berlaku hingga tanggal 15 Desember 1948. Dengan demikian, proses eksekusi mati terhadap Amir dan pemimpin PKI lainnya sudah diluar kekuasaan Soekarno.
Orang bisa saja menuding argumentasi Aidit di atas sebagai argumentasi politik, yakni argumentasi yang disusun sedemikian rupa demi tujuan politik organisasinya saat itu, yakni membangun front anti-imperialisme bersama dengan Soekarno. Namun, satu hal yang tidak bisa disangkal, bahwa proses eksekusi mati terhadap Amir dan 10 kawannya adalah diluar keinginan dan keputusan Soekarno. Gatot Subroto dan Hatta-lah yang paling bertanggung-jawab atas peristiwa eksekusi tanpa melalui proses peradilan tersebut.
.









Mr. Amir Sjarifoeddin, Tokoh Sosialis Indonesia
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.