Sebelum
diadakannya program “reorganisasi dan rasionalisasi” (Re-ra) oleh Perdana Menteri
Hatta, banyak berdiri laskar-laskar perjuangan diluar tentara resmi. Diantara
laskar-laskar perjuangan yang ada, Pesindo merupakan laskar bersenjata yang
terkuat Jumlah pasukannya terbesar, disiplinnya yang paling baik dan
persenjataannya terlengkap. Kesatuannya tersebar di setiap kabupaten JaTim dan
JaTeng, beberapa kabupaten di JaBar dan malahan sampai ke SumUt. Kekuatan
laskar bersenjata Pesindo, kalau tidak dapat dikatakan melebihi, maka paling
sedikit sama dengan TRI, tentara Pemerintah.
Pada
tanggal 3 Juli 1946, Tan malaka beserta orang-orangnya melakukan kup terhadap
pemerintahan Sjalrrir. Kup ini dilancar kan oleh Divisi III/Sudarsono, yang
berteritorium Yogyakarta. Suharto (Presiden RI sekarang), yang waktu itu
komandan resimen Yogyakarta, diperintahkan oleh Presiden Sukarno, gagal. Malah
Sjahrir diculik oleh golongan kup. Karena Suharto gagal dalam menangkap Tan
Malaka, maka bergeraklah pasukan dari kesatuan- kesatuan Pesindo JaTim dan
berhasil membebaskan Sjahrir. Dengan berhasilnya kesataan Pesindo menggagalkan
kup Tan Malaka ini maka prestise Pesindo menjadi sangat tinggi di kalangan
laskar bersenjata.
Dari
kesatuan-kesatuan Pesindo yang ada maka kesatuan 'Divisi Surabaya' (JaTim)
adalah yang terkuat. Perbandingan antara senjata dan pasukanya adalah satu
banding empat (di dalam divisi Nasution/JaBar), pada waktu itu, hanya terdapat
seratus pucuk senjata). Dengan demikian kekuatan tempur riel (artinya; satu
orang dengan satil bedil) adalah kurang lebih satu resimen (=3 batal yon =
3x800 orang) denagan Overste (letKoI) Sidik Arselan sebagai komandan. Setelah
re-ra, kesatuan mi menjadi Be (Brigade) 29 dengan Overste Moliammad (Aldimad)
Dablan sebagai komandan, yang belakangan menjadi tulang punggung dalam Kudeta PKI Madiun 1948.
Situasi Jelang Kejatuhan Kabinet Amir
Setelah
jatuhnya Kabinet Sjahrir III, Presiden Soekarno menunjuk Amir Syarifuddin untuk
membentuk kabinet. Soe Hok Gie menyebutnya “Kabinet Kiri Jauh” karena disokong
oleh Partai Sosialis (PS), PKI, eks BTI dan golongan buruh seperti Setiadjit
sebagai Wakil Perdana Menteri (PBI-komunis di Belanda), Abdulmadjid (PS)
sebagai Menteri Muda Dalam Negeri, Tamzil (PS) sebagai Menteri Muda Luar
Negeri, Tjokronegoro (PS) sebagai Menteri Muda Perekonomian, Wikana dan Maruto
Darusman (PKI) sebgai Menteri Negara dan S.K. Trimurti (Buruh) sebagai Menteri
Perburuhan.
Pada
masa Kabinet Amir Syarifuddin inilah dilaksanakan perundingan dengan Belanda di
atas kapal perang milik Amerika Serikat, USS. Renville, saat lego jangkar di
Tanjung Priok, pada 8 Desember 1947. Meskipun dinilai banyak pihak merugikan
bangsa Indonesia dan dianggap kemenangan telak diplomasi Belanda, faktanya
Perjanjian Reville tetap ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948.
Amir Syarifuddin yang di awal kabinetnya mendapat dukungan dari mitra koalisi,
namun setelah penandatanganan Perjanjian Renville, mitra-mitra koalisi dari
Partai Masyumi dan PNI berbalik mengecamnya dan menarik menteri-mitra partai
politik koalisi dari kabinet. Amir Syarifuddin mundur dari jabatannya pada
tanggal 23 Januari 1948.
Gagasan Program Re-ra
Gagasan
Hatta-Nasution mengenai re-ra dan pembentukan "tentara yang efektif"
sebenarnya bertolak dari koalisi yang ada, yang dimulai sejak berdirinya
kabinet Hatta pada akhir Januari 1948, antara politisi yang pro Amerika yang
dipelopori oleh Hatta dan Masyumi di satu pihak dan para perwira
"profesional" yang dipelopori oleh Nasution dan Simatupang di fihak
lain. Tujuan bersama dari persekutuan antara Hatta- Nasution adalah mendemobiliser
(mengeliminasi) laskar- laskar yang sedikit banyak dipengaruhi oleh organisasi
Komunis"; menyingkirkan perwira-perwira yang "tidak dapat
dipercaya"; posisi pimpinan hanya diberikan kepada "perwira-perwira
profesional" dan tipe tentara di masa mendatang seperti model tentara
Divisi Siliwangi (yang notabene dipimpin oleh Nasution) dan Corps Polisi
Militer (yang dipimpin oleh Gatot Subroto).
Embrio
Program Re-Ra
Program
Re-Ra sebenarnya sudah dimulai sejak Kabinet Amir Syarifuddin berdasarkan mosi
yang diajukan golongan kiri di KNIP pada bulan Desember 1947. Pemerintah
kemudian mengeluarkan Penetapan Presiden No 1 tanggal 2 Januari 1948 yang
membubarkan Pucuk Pimpinan TNI dan Gabungan Kepala Staf Angkatan Perang, tapi
karena adanya reaksi yang keras dari KNIP, Penpres ini kemudian dibatalkan.
Munculnya program Re-Ra dinilai sebagai akibat dari “kesalahan” pemerintah yang
tidak segera membentuk angkatan perang setelah memproklamirkan berdirinya
negara Indonesia. Jadi, pada akhirnya angkatan perang resmi dibentuk, di
kalangan militer sendiri sudah terbentuk otonomi.
Jelang
akhir tahun 1947, usaha untuk memoderenisasi angkatan perang mulai disuarakan
di BP-KNIP, namun, karena masih sebatas wacana akhirnya dibuat mosi oleh Zainul
Baharuddin yang merupakan petisi parlemen berisi usulan kebijakan kepada
pemerintah untuk mereformasi angkatan perang. Usulan reformasi memuat dua hal
pokok yaitu, menempatkan Angkatan Bersenjata di bawah wewenang Menteri
Pertahanan dan merasionalisasi jumlah tentara. Mosi tersebut dimunculkan
kekecewaan mereka terhadap Angkatan Bersenjata yang tidak dapat menahan gerak
maju tentara Belanda pada saat itu.
Amir
menggunakan kesempatan program Re-Ra untuk memenuhi ambisi politiknya yaitu
menempatkan Angkatan Bersenjata di bawah kekuasaannya sekaligus menyingkirkan
tokoh-tokoh yang dianggap menghalangi ambisinya, yaitu Panglima Besar Jenderal
Sudirman dan Kasum TNI Jenderal Urip Sumoharjo. Tapi Re-Ra yang dirintis
Kabinet Amir Syarifuddin lewat Perjanjian Renville itu tidak berumur panjang
karena mendapat tantangan dari kalangan tentara selain juga hilangnya
kesempatan dengan dimulainya Agresi Militer Belanda 2 pada 19 Desember 1948
yang memaksa semua kekuatan bersenjata Indonesia bersatu kembali dan melakukan
perang gerilya di bawah pimpinan Jenderal Sudirman.
Kabinet
Hatta dan Program Re-Ra
Bung
Hatta kemudian ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk membentuk kabinet yang
diumumkan pada 29 Januari 1948 dengan Hatta sebagai Perdana Menteri merangkap
Menteri Pertahanan. Kabinet Hatta tidak mengikutsertakan wakil- wakil dari
partai kiri dan memiliki rencana kerja dalam negeri, antara lain, untuk
memperbaiki ekonomi. Salah satu cara yang ditempuh adalah melanjutkan program
Re-Ra yang sempat terbengkalai pada Kabinet Amir Syarifuddin. Namun berbeda
dengan Perdana Menteri sebelumnya, setelah ditunjuk sebagai Perdana Menteri
merangkap Menteri Pertahanan, Hatta menggunakan Re-Ra untuk menghilangkan
pengaruh kiri di dalam angkatan perang. Hatta juga berpandangan program Re-Ra
nya ini untuk mencegah orang-orang kiri yang ada dalam tubuh militer merongrong
kedudukan Panglima Besar Jenderal Sudirman atau memperlemah tentara dengan cara
apapun.
Tujuan
dasar kebijakan tersebut adalah untuk menciutkan jumlah personil angkatan
bersenjata, meningkatkan efesiensinya, dan menempatkannya kembali di bawah
pimpinan pemerintah. Tujuan yang disebut paling akhir itu sangat penting,
karena kesatuan-kesatuan tempur saat itu mulai menguasai daerah-daerah kantong
atau daerah-daerah front mereka secara mandiri dengan menempuh kebijaksanaan
mereka masing-masing.
Langkah
awal yang diambil Hatta dalam upaya mereorganisasi dan merasionalisasi TNI AD
adalah dengan mengurangi jumlah personelnya. Selain itu, fakta bahwa keadaan
perekonomian Negara sudah sangat kritis, Hatta dituntut untuk melakukan
penghematan seoptimal mungkin. Salah satu caranya dengan melaksanakan program
Re-Ra agar mencapai sedikit perimbangan antara pendapatan dengan belanja negara
dan alat-alat Negara.Usulan Kabinet Hatta ini disetujui Pemerintah yang
selanjutnya menandatangani sebuah Dekrit pada tanggal 2 Januari 1948 yang
memerintahkan agar semua kekuasaan di bidang pertahanan dipusatkan di tangan
Menteri Pertahanan. Setelah disetujui oleh BP-KNIP maka diterbitkanlah
Undang-Undang No 3 Tahun 1948 tertanggal 5 Maret 1948 mengenai Susunan
Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang.
Untuk
pelaksanaan rasionalisasi di kalangan angkatan ber senjata pada tanggal 8 Mei
1948 telah diadakan rapat Dewan Siasat Militer yang dihadirj oleh Hatta bersama
pimpinan Angkatan Bersenjata: Sudirman, Nasution, Latif, Subjakto dan
Surjadarma.
Dalam
rapat ini dibicarakan dua hal. Pertama, yang disetujui oleh semua yang hadir,
TNI-Masyarakat secepat mungkin dibubarkan. Mengenai soal ini Nasution
berpendapat, bahwa TNI- Masyarakat pada prinsipnya telah dibubarkan. Kedua,
Hatta bersedia memberikan basis militer kepada Amerika, yang ditukar dengan
senjata untuk memperoleh dukungan internasional guna mempercepat kemerdekaan
Indonesia sepenuhnya
Dampak
dari Program Re-Ra
Pada
pelaksanaanya, program Re-Ra yang dijalankan oleh Kabinet Hatta tidak mulus
karena banyak mendapatkan tentangan bahkan dari kalangan tentara sendiri. Bagi
mereka yang terkena rasionalisasi akan merasa kecewa karena praktis kehilangan
pekerjaan atau kedudukan yang dinilai prestise bagi pemuda pada masa itu.
Di
Angkatan Laut misalnya, sebagai tindak lanjut dari UU No 3 Tahun 1948,
dibuatlah Komisi Reorganisasi ALRI pada tanggal 17 Maret 1948 dengan Kolonel R.
Soebijakto sebagai Ketua Komisinya. Salah satu dampaknya adalah dileburnya
Divisi I dan Divisi II Tentara Laut Republik Indonesia dan digabungkan ke dalam
kesatuan Angkatan Darat.
Di
antara mereka yang kecewa adalah Laksamana Muda Atmadji yang sebelumnya juga
sudah merasa dikecewakan saat terjadi perubahan nama dari BKR Laut menjadi TKR
Laut pada tanggal 5 Oktober 1945 dengan Kepala Staf Umum Laksamana M. Pardi
yang bermarkas di Yogyakarta. Atmadji dkk yang sudah berjuang sebagai tentara
pelaut saat penjajahan Belanda dan Jepang, merasa kecewa karena tidak lolos
seleksi menjadi anggota TKR Laut, sehingga membentuk apa yang dinamakan Marine
Keamanan Rakyat (MKR) yang bermarkas di Surabaya dan dipimpin oleh Laksamana
Muda Atmadji. Dengan adanya Re-Ra, Atmadji dipindahtugaskan ke Kementrian
Pertahanan. Dalam perjalanannya Atmadji dan kelompoknya memilih ikut terlibat
dalam Pemberontakan PKI Madiun 1948.
Sementara
itu, sejumlah tokoh kiri yang menduduki posisi penting di Kementerian
Pertahanan diberhentikan dan tentara laskar yang dibentuk Amir Syarifuddin pada
tahun 1947 harus melebur ke dalam TNI dan karenanya harus tunduk pada aturan
dan komando TNI. Wajar jika golongan kiri merasa kecewa lalu mengecam Hatta dan
menghalangi pelaksanaan Re-Ra.
Dalam
bulan April 1948 terjadi demonstrasi terutama dari pelajar di Jawa Timur
menentang Re-Ra. Bulan Mei 1948 di Solo, tentara Divisi Panembahan Senopati
juga melakukan demonstrasi menentang Re-Ra.
Pada
bulan Mei 1948, berdasar peraturan rasionalisasi, Sutarto yang divisinya kompak
dan persenjataannya cukup baik, dinayatakan non-aktif dan pasukannya
diperintahkan melapor kepada Markas Besar di Yogya. Sutarto bersama komando
bawah annya menentang perintah Markas Besar ini. Sikap Sutarto beserta
perwiranya ini didukung oleh kekuatan Kiri di Solo beserta laskar- laskar yang
menentang re-ra. Untuk menyatakan dukungannya, pada tanggal 20 Mei, bertepatan
dengan Hari Kebangkitan Nasional, di Solo terjadi demonstrasi protes yang besar
menentang re-ra pemerintah Hatta. Demonstrasi ini juga diikuti oleh parade,
sekaligus protes, oleh beberapa batalyon bersenjata lengkap dan berat dari
Pesindo dan Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI). Dalam parade dan
demonstrasi tersebut diserukan dukungan terhadap kelanjutan Sutarto sebagai
komandan divisi dan tuntutan agar Pemerintah membatalkan re-ranya.
Pada
bulan Juli di dalam Divisi IV diadakan 'reorganisasi sendiri'. Divisi IV
berubah nama menjadi 'Divisi Pertempuran Panembahan Senopati' (DPPS). 'Reorganisasi
sendiri' yang diadakan oleh Panembahan Senopati ini jauh dari keinginan,
apalagi melegakan, Hatta dan Nasution di Yogya. Sebab: jumlah anak buah,
personalia dan kedudukan komandan dan pembagian senjata di dalam DPPS adalah
sama dengan di dalam Divisi Panembahan Senopati yang semula.
Setelah
Sutarto tertembak, komandan DPPS dipegang oleh LeKol Suadi. Mengenai
rasionalisasi di kalangan Angkatan Bersenjata, pada tanggal 2 September 1948,
Hatta di muka sidang BP-KNIP menyatakan antara lain bahwa: "Istimewa
terhadap angkatan perang kita rasionalisasi harus dilaksanakan dengan tegas dan
nyata...; "... berpedoman kepada cita-cita "satu tentara, satu
komando"; "... dalam bentuk dan susunan yang efektif'; "...
mengurangkan jumlah angkatan perang kita sampai kepada susunan yang
rasionil".
Dengan
terbentuknya Markas Besar Komando Djawa (MBKD) di bawah pimpinan Kolonel A.H.
Nasution selaku Panglima Tentara & Teritorial Djawa (PTTD) dan Markas Besar
Komando Sumatra (MBKS) di bawah Kolonel Hidayat selaku PTTS, sesuai dengan
Surat Keputusan Menteri Pertahanan tanggal 28 Oktober 1948, dapat dikatakan Re-Ra
di lingkungan TNI AD sudah selesai.
Program
Re-ra ini juga nantinya turut menyurut Kudeta PKI di Madiun 1948, karena
berbagai kesatuan yang menolak atau tidak setuju dengan program ini kemudian
bersatu serta bersekutu dengan PKI melancarkan kudeta pada 18 September 1948
Sumber:
Ø “Politik
Militer Indonesia 1945 – 1967, Menuju Dwifungsi ABRI”, Ulf Sundhaussen
Ø “Sejarah
Nasional Indonesia VI: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia”, Nugroho
Notosusanto, et.al.
Ø "Pemberontakan
PKI-Musso di Madiun 18 - 30 September 1948", Rachmat Susatyo
Ø “Reorganisasi
dan Rasionalisasi TNI AL 1948 – 1950: Dari Pembentukan Komisi Reorganisasi
(KRAL) Hingga Terbentuknya Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL)”, Rifky Azhri.
Program Re-Ra (Rekonstruksi & Rasionalisasi) TNI Kabinet Hatta
4/
5
Oleh
Unknown