Thursday, January 7, 2016

Program Re-Ra (Rekonstruksi & Rasionalisasi) TNI Kabinet Hatta

Sebelum diadakannya program “reorganisasi dan rasionalisasi” (Re-ra) oleh Perdana Menteri Hatta, banyak berdiri laskar-laskar perjuangan diluar tentara resmi. Diantara laskar-laskar perjuangan yang ada, Pesindo merupakan laskar bersenjata yang terkuat Jumlah pasukannya terbesar, disiplinnya yang paling baik dan persenjataannya terlengkap. Kesatuannya tersebar di setiap kabupaten JaTim dan JaTeng, beberapa kabupaten di JaBar dan malahan sampai ke SumUt. Kekuatan laskar bersenjata Pesindo, kalau tidak dapat dikatakan melebihi, maka paling sedikit sama dengan TRI, tentara Pemerintah.

Pada tanggal 3 Juli 1946, Tan malaka beserta orang-orangnya melakukan kup terhadap pemerintahan Sjalrrir. Kup ini dilancar kan oleh Divisi III/Sudarsono, yang berteritorium Yogyakarta. Suharto (Presiden RI sekarang), yang waktu itu komandan resimen Yogyakarta, diperintahkan oleh Presiden Sukarno, gagal. Malah Sjahrir diculik oleh golongan kup. Karena Suharto gagal dalam menangkap Tan Malaka, maka bergeraklah pasukan dari kesatuan- kesatuan Pesindo JaTim dan berhasil membebaskan Sjahrir. Dengan berhasilnya kesataan Pesindo menggagalkan kup Tan Malaka ini maka prestise Pesindo menjadi sangat tinggi di kalangan laskar bersenjata.

Dari kesatuan-kesatuan Pesindo yang ada maka kesatuan 'Divisi Surabaya' (JaTim) adalah yang terkuat. Perbandingan antara senjata dan pasukanya adalah satu banding empat (di dalam divisi Nasution/JaBar), pada waktu itu, hanya terdapat seratus pucuk senjata). Dengan demikian kekuatan tempur riel (artinya; satu orang dengan satil bedil) adalah kurang lebih satu resimen (=3 batal yon = 3x800 orang) denagan Overste (letKoI) Sidik Arselan sebagai komandan. Setelah re-ra, kesatuan mi menjadi Be (Brigade) 29 dengan Overste Moliammad (Aldimad) Dablan sebagai komandan, yang belakangan menjadi tulang punggung dalam Kudeta PKI Madiun 1948.



Situasi Jelang Kejatuhan Kabinet Amir
Setelah jatuhnya Kabinet Sjahrir III, Presiden Soekarno menunjuk Amir Syarifuddin untuk membentuk kabinet. Soe Hok Gie menyebutnya “Kabinet Kiri Jauh” karena disokong oleh Partai Sosialis (PS), PKI, eks BTI dan golongan buruh seperti Setiadjit sebagai Wakil Perdana Menteri (PBI-komunis di Belanda), Abdulmadjid (PS) sebagai Menteri Muda Dalam Negeri, Tamzil (PS) sebagai Menteri Muda Luar Negeri, Tjokronegoro (PS) sebagai Menteri Muda Perekonomian, Wikana dan Maruto Darusman (PKI) sebgai Menteri Negara dan S.K. Trimurti (Buruh) sebagai Menteri Perburuhan.


Pada masa Kabinet Amir Syarifuddin inilah dilaksanakan perundingan dengan Belanda di atas kapal perang milik Amerika Serikat, USS. Renville, saat lego jangkar di Tanjung Priok, pada 8 Desember 1947. Meskipun dinilai banyak pihak merugikan bangsa Indonesia dan dianggap kemenangan telak diplomasi Belanda, faktanya Perjanjian Reville tetap ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948.


Amir Syarifuddin yang di awal kabinetnya mendapat dukungan dari mitra koalisi, namun setelah penandatanganan Perjanjian Renville, mitra-mitra koalisi dari Partai Masyumi dan PNI berbalik mengecamnya dan menarik menteri-mitra partai politik koalisi dari kabinet. Amir Syarifuddin mundur dari jabatannya pada tanggal 23 Januari 1948.


Gagasan Program Re-ra
Gagasan Hatta-Nasution mengenai re-ra dan pembentukan "tentara yang efektif" sebenarnya bertolak dari koalisi yang ada, yang dimulai sejak berdirinya kabinet Hatta pada akhir Januari 1948, antara politisi yang pro Amerika yang dipelopori oleh Hatta dan Masyumi di satu pihak dan para perwira "profesional" yang dipelopori oleh Nasution dan Simatupang di fihak lain. Tujuan bersama dari persekutuan antara Hatta- Nasution adalah mendemobiliser (mengeliminasi) laskar- laskar yang sedikit banyak dipengaruhi oleh organisasi Komunis"; menyingkirkan perwira-perwira yang "tidak dapat dipercaya"; posisi pimpinan hanya diberikan kepada "perwira-perwira profesional" dan tipe tentara di masa mendatang seperti model tentara Divisi Siliwangi (yang notabene dipimpin oleh Nasution) dan Corps Polisi Militer (yang dipimpin oleh Gatot Subroto).

Embrio Program Re-Ra
Program Re-Ra sebenarnya sudah dimulai sejak Kabinet Amir Syarifuddin berdasarkan mosi yang diajukan golongan kiri di KNIP pada bulan Desember 1947. Pemerintah kemudian mengeluarkan Penetapan Presiden No 1 tanggal 2 Januari 1948 yang membubarkan Pucuk Pimpinan TNI dan Gabungan Kepala Staf Angkatan Perang, tapi karena adanya reaksi yang keras dari KNIP, Penpres ini kemudian dibatalkan. Munculnya program Re-Ra dinilai sebagai akibat dari “kesalahan” pemerintah yang tidak segera membentuk angkatan perang setelah memproklamirkan berdirinya negara Indonesia. Jadi, pada akhirnya angkatan perang resmi dibentuk, di kalangan militer sendiri sudah terbentuk otonomi.

Jelang akhir tahun 1947, usaha untuk memoderenisasi angkatan perang mulai disuarakan di BP-KNIP, namun, karena masih sebatas wacana akhirnya dibuat mosi oleh Zainul Baharuddin yang merupakan petisi parlemen berisi usulan kebijakan kepada pemerintah untuk mereformasi angkatan perang. Usulan reformasi memuat dua hal pokok yaitu, menempatkan Angkatan Bersenjata di bawah wewenang Menteri Pertahanan dan merasionalisasi jumlah tentara. Mosi tersebut dimunculkan kekecewaan mereka terhadap Angkatan Bersenjata yang tidak dapat menahan gerak maju tentara Belanda pada saat itu.

Amir menggunakan kesempatan program Re-Ra untuk memenuhi ambisi politiknya yaitu menempatkan Angkatan Bersenjata di bawah kekuasaannya sekaligus menyingkirkan tokoh-tokoh yang dianggap menghalangi ambisinya, yaitu Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Kasum TNI Jenderal Urip Sumoharjo. Tapi Re-Ra yang dirintis Kabinet Amir Syarifuddin lewat Perjanjian Renville itu tidak berumur panjang karena mendapat tantangan dari kalangan tentara selain juga hilangnya kesempatan dengan dimulainya Agresi Militer Belanda 2 pada 19 Desember 1948 yang memaksa semua kekuatan bersenjata Indonesia bersatu kembali dan melakukan perang gerilya di bawah pimpinan Jenderal Sudirman.

Kabinet Hatta dan Program Re-Ra
Bung Hatta kemudian ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk membentuk kabinet yang diumumkan pada 29 Januari 1948 dengan Hatta sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan. Kabinet Hatta tidak mengikutsertakan wakil- wakil dari partai kiri dan memiliki rencana kerja dalam negeri, antara lain, untuk memperbaiki ekonomi. Salah satu cara yang ditempuh adalah melanjutkan program Re-Ra yang sempat terbengkalai pada Kabinet Amir Syarifuddin. Namun berbeda dengan Perdana Menteri sebelumnya, setelah ditunjuk sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan, Hatta menggunakan Re-Ra untuk menghilangkan pengaruh kiri di dalam angkatan perang. Hatta juga berpandangan program Re-Ra nya ini untuk mencegah orang-orang kiri yang ada dalam tubuh militer merongrong kedudukan Panglima Besar Jenderal Sudirman atau memperlemah tentara dengan cara apapun.

Tujuan dasar kebijakan tersebut adalah untuk menciutkan jumlah personil angkatan bersenjata, meningkatkan efesiensinya, dan menempatkannya kembali di bawah pimpinan pemerintah. Tujuan yang disebut paling akhir itu sangat penting, karena kesatuan-kesatuan tempur saat itu mulai menguasai daerah-daerah kantong atau daerah-daerah front mereka secara mandiri dengan menempuh kebijaksanaan mereka masing-masing.

Langkah awal yang diambil Hatta dalam upaya mereorganisasi dan merasionalisasi TNI AD adalah dengan mengurangi jumlah personelnya. Selain itu, fakta bahwa keadaan perekonomian Negara sudah sangat kritis, Hatta dituntut untuk melakukan penghematan seoptimal mungkin. Salah satu caranya dengan melaksanakan program Re-Ra agar mencapai sedikit perimbangan antara pendapatan dengan belanja negara dan alat-alat Negara.Usulan Kabinet Hatta ini disetujui Pemerintah yang selanjutnya menandatangani sebuah Dekrit pada tanggal 2 Januari 1948 yang memerintahkan agar semua kekuasaan di bidang pertahanan dipusatkan di tangan Menteri Pertahanan. Setelah disetujui oleh BP-KNIP maka diterbitkanlah Undang-Undang No 3 Tahun 1948 tertanggal 5 Maret 1948 mengenai Susunan Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang.
Untuk pelaksanaan rasionalisasi di kalangan angkatan ber senjata pada tanggal 8 Mei 1948 telah diadakan rapat Dewan Siasat Militer yang dihadirj oleh Hatta bersama pimpinan Angkatan Bersenjata: Sudirman, Nasution, Latif, Subjakto dan Surjadarma.

Dalam rapat ini dibicarakan dua hal. Pertama, yang disetujui oleh semua yang hadir, TNI-Masyarakat secepat mungkin dibubarkan. Mengenai soal ini Nasution berpendapat, bahwa TNI- Masyarakat pada prinsipnya telah dibubarkan. Kedua, Hatta bersedia memberikan basis militer kepada Amerika, yang ditukar dengan senjata untuk memperoleh dukungan internasional guna mempercepat kemerdekaan Indonesia sepenuhnya

Dampak dari Program Re-Ra
Pada pelaksanaanya, program Re-Ra yang dijalankan oleh Kabinet Hatta tidak mulus karena banyak mendapatkan tentangan bahkan dari kalangan tentara sendiri. Bagi mereka yang terkena rasionalisasi akan merasa kecewa karena praktis kehilangan pekerjaan atau kedudukan yang dinilai prestise bagi pemuda pada masa itu.

Di Angkatan Laut misalnya, sebagai tindak lanjut dari UU No 3 Tahun 1948, dibuatlah Komisi Reorganisasi ALRI pada tanggal 17 Maret 1948 dengan Kolonel R. Soebijakto sebagai Ketua Komisinya. Salah satu dampaknya adalah dileburnya Divisi I dan Divisi II Tentara Laut Republik Indonesia dan digabungkan ke dalam kesatuan Angkatan Darat.
Di antara mereka yang kecewa adalah Laksamana Muda Atmadji yang sebelumnya juga sudah merasa dikecewakan saat terjadi perubahan nama dari BKR Laut menjadi TKR Laut pada tanggal 5 Oktober 1945 dengan Kepala Staf Umum Laksamana M. Pardi yang bermarkas di Yogyakarta. Atmadji dkk yang sudah berjuang sebagai tentara pelaut saat penjajahan Belanda dan Jepang, merasa kecewa karena tidak lolos seleksi menjadi anggota TKR Laut, sehingga membentuk apa yang dinamakan Marine Keamanan Rakyat (MKR) yang bermarkas di Surabaya dan dipimpin oleh Laksamana Muda Atmadji. Dengan adanya Re-Ra, Atmadji dipindahtugaskan ke Kementrian Pertahanan. Dalam perjalanannya Atmadji dan kelompoknya memilih ikut terlibat dalam Pemberontakan PKI Madiun 1948.

Sementara itu, sejumlah tokoh kiri yang menduduki posisi penting di Kementerian Pertahanan diberhentikan dan tentara laskar yang dibentuk Amir Syarifuddin pada tahun 1947 harus melebur ke dalam TNI dan karenanya harus tunduk pada aturan dan komando TNI. Wajar jika golongan kiri merasa kecewa lalu mengecam Hatta dan menghalangi pelaksanaan Re-Ra.

Dalam bulan April 1948 terjadi demonstrasi terutama dari pelajar di Jawa Timur menentang Re-Ra. Bulan Mei 1948 di Solo, tentara Divisi Panembahan Senopati juga melakukan demonstrasi menentang Re-Ra.

Pada bulan Mei 1948, berdasar peraturan rasionalisasi, Sutarto yang divisinya kompak dan persenjataannya cukup baik, dinayatakan non-aktif dan pasukannya diperintahkan melapor kepada Markas Besar di Yogya. Sutarto bersama komando bawah annya menentang perintah Markas Besar ini. Sikap Sutarto beserta perwiranya ini didukung oleh kekuatan Kiri di Solo beserta laskar- laskar yang menentang re-ra. Untuk menyatakan dukungannya, pada tanggal 20 Mei, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, di Solo terjadi demonstrasi protes yang besar menentang re-ra pemerintah Hatta. Demonstrasi ini juga diikuti oleh parade, sekaligus protes, oleh beberapa batalyon bersenjata lengkap dan berat dari Pesindo dan Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI). Dalam parade dan demonstrasi tersebut diserukan dukungan terhadap kelanjutan Sutarto sebagai komandan divisi dan tuntutan agar Pemerintah membatalkan re-ranya.

Pada bulan Juli di dalam Divisi IV diadakan 'reorganisasi sendiri'. Divisi IV berubah nama menjadi 'Divisi Pertempuran Panembahan Senopati' (DPPS). 'Reorganisasi sendiri' yang diadakan oleh Panembahan Senopati ini jauh dari keinginan, apalagi melegakan, Hatta dan Nasution di Yogya. Sebab: jumlah anak buah, personalia dan kedudukan komandan dan pembagian senjata di dalam DPPS adalah sama dengan di dalam Divisi Panembahan Senopati yang semula.

Setelah Sutarto tertembak, komandan DPPS dipegang oleh LeKol Suadi. Mengenai rasionalisasi di kalangan Angkatan Bersenjata, pada tanggal 2 September 1948, Hatta di muka sidang BP-KNIP menyatakan antara lain bahwa: "Istimewa terhadap angkatan perang kita rasionalisasi harus dilaksanakan dengan tegas dan nyata...; "... berpedoman kepada cita-cita "satu tentara, satu komando"; "... dalam bentuk dan susunan yang efektif'; "... mengurangkan jumlah angkatan perang kita sampai kepada susunan yang rasionil".

Dengan terbentuknya Markas Besar Komando Djawa (MBKD) di bawah pimpinan Kolonel A.H. Nasution selaku Panglima Tentara & Teritorial Djawa (PTTD) dan Markas Besar Komando Sumatra (MBKS) di bawah Kolonel Hidayat selaku PTTS, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertahanan tanggal 28 Oktober 1948, dapat dikatakan Re-Ra di lingkungan TNI AD sudah selesai.

Program Re-ra ini juga nantinya turut menyurut Kudeta PKI di Madiun 1948, karena berbagai kesatuan yang menolak atau tidak setuju dengan program ini kemudian bersatu serta bersekutu dengan PKI melancarkan kudeta pada 18 September 1948




Sumber:

Ø  “Politik Militer Indonesia 1945 – 1967, Menuju Dwifungsi ABRI”, Ulf Sundhaussen
Ø  “Sejarah Nasional Indonesia VI: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia”, Nugroho Notosusanto, et.al.
Ø  "Pemberontakan PKI-Musso di Madiun 18 - 30 September 1948", Rachmat Susatyo
Ø  “Reorganisasi dan Rasionalisasi TNI AL 1948 – 1950: Dari Pembentukan Komisi Reorganisasi (KRAL) Hingga Terbentuknya Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL)”, Rifky Azhri.


Program Re-Ra (Rekonstruksi & Rasionalisasi) TNI Kabinet Hatta
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.