Friday, January 8, 2016

Kabinet Mohammad Hatta I

Setelah Kabinet Amir Sjarifoeddin jatuh karena PNI – Masyumi menarik dukunganya karena penandatanganan perjanjian Renville, kekuasaan kini berpusat pada Soekarno lagi. Kemudian pada 29 Januari 1948 Soekarno menunjuk wakilnya, Drs. Mohammad Hatta untuk membentuk kabinet baru. Hatta sendiri sering menganggap kabinetnya ini adalah kabinet kawin silang karena mengemban dua tanggung jawab, Pertama, sebagai Perdana Menteri, Hatta bertanggung jawab kepada KNIP dan sebagai Wakil Presiden dia bertanggung jawab kepada Presiden Soekarno.

Sesudah pelantikan kabinet pada 3 Februari, Hatta menjelaskan pokok-pokok kebijakan yang akan dijalankan dihadapan KNIP pada 16 Februari, antara lain  berisi
  1.  Menyelesaikan konflik Indonesia – Belanda dengan menyetujui kesepakatan Renville
  2.  Usaha mempertahankan RI diubah menjadi membentuk Negara Indonesia Serikat (NIS).
  3. Rasionalisasi ke dalam karena perlunya penyaluran tenaga kerja produktif ke bidang masing-masing
  4. Rasionalisasi angkatan perang yang terbilang buncit jumlahnya

Suatu keanehan ketika Masyumi dan PNI menyatakan untuk ikut dalam koalisi. Berarti, kedua partai tersebut keluar dari koalisi Amir silam bukan dikarenakan hasil mengecewakan perundingan Renville, tapi ketidaksukaannya pada Amir yang sudah condong ke arah kiri, komunis. Perihal rasionalisasi ketentaraan, Hatta mendapat dukungan dari Jenderal Soedirman karena saat ini persatuan benar-benar harus dikedepankan melihat posisi Indonesia yang sudah sulit bernafas. Selain itu juga dikarenakan pemusatan komando dan perbekalan memang harus dikerucutkan kepada pihak tentara murni, bukan tentara bentukan Amir. Sementara itu insiden penolakan perundingan Renville terjadi dimana-mana. Bahkan ketika delegasi Belanda baru saja tiba di stasiun Tugu Yogyakarta, Abdulkadir dicaci sejadi-jadinya. Hal ini menjadi suatu ketidakenakan sehingga pemerintah RI secara resmi meminta maaf kepada Belanda.

Memasuki bulan Mei 1948, golongan Amir dibawah organ bernama Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dibentuk setelah cabutnya golongan Sjahrir dari PS, semakin kuat dan diisi oleh barisan buruh dan tani serta orang-orang komunis. Insiden-insiden yang terjadi terkait penolakan Renville diindikasikan didalangi oleh FDR yang ingin mengguncang pemerintahan Hatta. Kemudian, pada bertepatan dengan 40 tahun bangkitnya pergerakan nasional, FDR, PNI dan Masyumi membuat kesepakatan untuk bekerja sama dalam mensukseskan program nasional. Berlanjut pada akhir bulan Mei, Hatta menemui pimpinan-pimpinan partai dengan agenda merubah kabinet presidensiil menjadi parlementer kembali. Setidaknya dengan me-reshuffle kabinet. FDR mengusulkan jalan agar, kabinet dibubarkan, dan Amir kembali memimpin atau menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Masyumi yang sentimen terhadap golongan kiri terang-terangan menolak usulan tersebut.

Tanggal 31 Mei, pertemuan digelar antara Perdana Menteri dengan beberapa partai besar, diantaranya Masyumi, PNI, PS, PSI, PKI, PBI, GPII, BKRI, Parkindo serta Partai Katolik. Pertemuan tersebut membentuk suatu panitia kecil dibawah pimpinan Mr. Tambunan dari Parkindo (Partai Kristen Indonesia) untuk menyusun program nasional dan tiap partai harus bertanggung jawab untuk menyokong hasil rumusan tersebut. Panitia tadi tadi diisi oleh Amir Syarifuddin (PS), D.N. Aidit (PKI), Setiajit (PBI) Mr. Suyono Hadinoto (PNI), Maruto Nitimiharjo (Partai Rakyat), Saleh Suaidy (Masyumi) disamping Mr. Tambunan. Pada tanggal 16 Juni, Panitia Penyusunan Program Nasional mengumumkan mufakatnya
  1. Pemerintah seharusnya menerima pengakuan dari negara-negara lain atas kedaulatan RI tanpa memandang ideologinya,
  2. Menggalang prinsip pertahanan rakyat, yaitu tentara dan rakyat bersama-sama menyatukan kekuatan. Dalam rangka penyempurnaannya, rakyat diberikan pelatihan dan pengetahuan pertahanan (FDR mengusulkan untuk mempersenjatai rakyat, tapi digagalkan)
  3. Membersihkan perekonomian domestik dari kekuasaan asing demi menghindari keterlibatan Indonesia dalam perang dingin (FDR mengusulkan untuk memanfaatkan bantuan dari Amerika Serikat, kembali ditolak)
  4. Mengusahakan agar petani dapat mengambil kepemilikan tanah yang disewakan. Selain itu juga akan menghapusm mindring, ijon dan lain-lain.


Pada 5 – 14 Juli diadakan lagi pertemuan antara partai-partai yang lebih beragam dan akhirnya Permai, Gerakan Revolusi Rakyat, Wanita Rakyat, Acoma, PKI, Partai Buruh Merdeka, Partai Rakyat Jelata, PSII, BKPRI, Gerindo, Wanita Rakyat, PBI, BPRI, dan PKRI ikut menyetujui Program Nasional Hatta, pada 26 Juli berbicara di depan para wakil partai yang telah sepakat (20 partai) bahwa Program ada yang langsung bisa direalisasikan dan ada juga yang baru bisa dilaksanakan di kemudian hari. Meski secara teoretis persetujuan telah disepakati, namun terdapat banyak interpretasi dari masing-masing pihak terkait pelaksanaan dari program itu sendiri. Seperti misalkan, Masyumi ingin mempertahankan kabinet yang ada di kala PNI mengidamkan suatu re-shuffle.

FDR, yang bisa disebut sebagai oposisi pun memainkan strategi unik karena tidak memperlihatkan sikap sebagai oposisi kental. Itu dapat dibuktikan ketika pencetusan Program Nasional, FDR turut didalamnya dan berjanji membantu pemerintah Hatta bersama partai-partai lain yang berkoalisi. Langkah lunak ini bertujuan agar mereka mendapat posisi kembali di kabinet. Pemogokkan buruh secara massal di Delanggu sejak 19 Mei (meminta pertanggungjawaban pemerintah atas inflasi yang mengakibatkan berkurangnya upah mereka) sebenarnya adalah salah satu scenario pihak FDR yang memiliki kepanjangan tangan di organ-organ buruh dan tani. Berlanjut pada 26 Mei, 17.000 anggota Sarbupri (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) mogok kerja. Menanggapi hal ini, Menteri Kemakmuran (Masyumi) mengirim serikat tani afiliasinya, STII (Sarekat Tani Islam Indonesia) untuk bekerja di ladang-ladang yang terbengkalai. Namun, suatu bentrokan terjadi pada 10 July antara pemogok dengan STII. Kesatuan tentara dari Divisi Siliwangi datang membantu STII dan menduduki beberapa desa di Delanggu. Perdana Menteri pun mengabulkan para pemogok pada 18 Juli karena takut krisis akan membesar.

Kebijakan Hatta mengenai Rasionalisasi tentara terutama komando wilayah Jawa mulai diterapkan pada 4 Mei 1948 dengan keluarnya Penetapan Presiden No. 14. Tujuan Hatta merasionalisasikan jumlah tentara juga untuk mengalihkan tenaga-tenaga produktif dari sector tentara ke sector produksi. Tiga cara yang dilakukan adalah :
  1. Melepas mereka yang ingin kembali kepada pekerjaan semula sebelum bergabung dalam divisi tentara.
  2. Menyerahkan eks tentara kepada Kementerian Pembangunan dan Pemuda untuk dimanfaatkan lebih lanjut
  3.  Mengembalikan seratus ribu orang ke dalam masyarakat desa.


Perlu diingat kembali bahwasanya sejak 1946 Amir telah menempatkan barisan perwira yang berpendidikan politik ke dalam satuan-satuan tentara. Hal itu mengakibatkan bahwa pengaruh FDR kuat di beberapa kalangan kelompok tentara. Hatta pun menyadari hal tersebut sehingga yang menjadi target rasionalisasi pada awalnya adalah kesatuan tentara yang lemah pengaruh FDR-nya. Divisi IV Panembahan Senopati (sekarang Diponegoro) berjumlah sekitar 5.000 personil dan 50%nya adalah anggota Pesindo, organ setia kepada Amir. Divisi ini menolak kebijakan pemerintah untuk dirasionalisasi hingga merujuk pada terbunuhnya Kolonel Sutarto Panglima Divisi IV Panembahan Senopati tersebut pada 2 July 19.30. Perlu juga ditelisik lebih jauh bahwa kedatangan tentara Divisi Siliwangi pimpinan Nasution yang terkenal karena disiplin tinggi dan pro-pemerintah, ke Yogyakarta, menerbitkan gesekan-gesekan dengan tentara-tentara di Jawa Tengah yang beraliran kiri, yakni golongan setia Amir Syarifuddin. Surakarta menjadi juga daerah rawan karena banyak perampokan oleh oknum-oknum berseragam.

Matinya Sutarto membuat tambah kacau suasana, ditambah penggantinya adalah seorang FDR layaknya Sutarto, yaitu Letkol Suadi. Aksi culik-menculik antara Siliwangi dan Panembahan Senopati adalah titik didih benturan-benturan yang sangat berbau politis. Musso, sejak kedatangannya kembali di tanah air, langsung memainkan peran. Tokoh komunis kawakan ini langsung merombak struktur organisasi PKI dan menyatakan bahwa hanya boleh ada satu partai kaum proletar. Kemudian, FDR yang terisi oleh beragam organ, menggabungkan diri dengan PKI, dipimpin oleh Musso. Solo semakin mencekam hingga meledak pada 14 September 1948. Tentara pro Amir yang sebagian besar anggota Panembahan Senopati semakin jelas posisinya dipihak oposisi pemerintah.

15 September Divisi Siliwangi dapat merebut dan meredamkan situasi. Musso dan kelompoknya menuju Madiun dan mengambil alih kekuasaan disana sejak 18 September dan lahirlah Pembrontakan PKI Madiun 1948 disana. Musso menuduh Soekarno-Hatta akan menjual Indonesia kepada Belanda, Inggris, dan Amerika. Akhirnya Musso mendeklarasikan berdirinya negara Soviet Indonesia Di kota tersebut Musso mendeklarasikan berdirinya negara Soviet Indonesia. Gerakan eksplosif golongan kiri ini sering disebut Peristiwa Madiun 1948. Namun, kudeta yang masih premature ini dapat ditumpas oleh tentara yang setia pada pemerintah Hatta. Musso mati pada 30 Oktober saat pertempuran. Amir Sjyarifuddin dan orang-orang terdekatnya ditangkap di sekitar Gunung Wilis awal Desember, kemudian di hukum mati. Ribuan massa PKI yang ikut-ikutan pun banyak yang dibunuh oleh rakyat (terutama santri Masyumi). Sejak peristiwa Madiun ini, PKI lumpuh dan baru bisa aktif lagi di arena politik mulai 1950 dengan pemimpin-pemimpin baru dan muda.


Pemerintahan republik Indonesia, setelah baru saja jeda perang melawan saudaranya sendiri dikagetkan oleh serangan yang dilancarkan Belanda. Pada 19 Desember 1948 Desember Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda II dengan menguasai Yogyakarta (Ibukota). Petinggi negara ditangkapi. Soekarno, Hatta, Agus Salim dan tak terkecuali Sjahrir. Soekarno ditahan di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara bersama Sjahrir dan Agus Salim. Sedangkan Hatta dan menteri-menteri lainnya ditempatkan di Pulau Bangka Jenderal Soedirman, selaku Panglima Besar menyiapkan strategi gerilya untuk menyerang balik Belanda. Bersamaan dengan itu, tentara Divisi Siliwangi long march kembali ke wilayah Jawa Barat untuk persiapan menyerang balik. Belanda mengira posisinya sekarang telah menumbangkan kedaulatan Republik. Padahal, Hatta telah memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Bukittinggi. Sepanjang Januari hingga Februari, pimpinan pemerintahan yang diasingkan sibuk di penahanannya. Dengan bermodalkan radio, mereka terus mendengarkan berita-berita mutakhir terkait kekalahan Belanda di ajang internasional. Dewan Keamanan PBB mengecam aksi Belanda yang kembali melanggar perjanjian gencatan senjata sejak perundingan Renville ditandatangani. Militer Belanda yang gilang-gemilang menaklukkan wilayah Indonesia dengan cepat, bernilai nol ketika karena kalah di meja PBB.

Sementara itu, tentara yang masih bergerilya di hutan-hutan terus melakukan sabotase dan taktik hit and run. Tanggal 1 Maret 1949, tentara Republik berhasil merebut kembali kuasa atas Yogyakarta yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.

Atas tindakan Belanda yang mengkhianati kesepakatan dengan PBB, karena dulu telah disaranai untuk melangsungkan perundingan, akhirnya mengancam bahwa tidak akan memberikan bantuan dana pembangunan apabila Republik Indonesia tidak dibebaskan pada 1 Juli 1949. Belanda mengembalikan pimpinan Republik ke Yogyakarta 6 Juli dan meminta syarat kepada mereka bahwa harus diberlakukan gencatan senjata setibanya di ibukota. 7 Juli Soekarno mengindahkan tuntutan tersebut. Belanda pun berjanji akan menggelar perundingan baru, yaitu Konferensi Meja Bundar. Kemudian Ketua Presidium Pemeritah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno- Hatta pada 13 July 1949 yang kemudian disahkan oleh KNI-P pada 25 Juli 1949.


Republik Indonesia kembali membenahi situasi yang baru saja kacau diacak-acak Belanda. Konferensi Inter Indonesia digelar dari tanggal 19 – 22 Juli 1949 tanpa ada campur tangan pihak asing. Tujuannya adalah untuk menyiapkan diri menghadapi perang selanjutnya yang telah menunggu, yaitu Konferensi Meja Bundar. Kesimpulan dari Konferensi tersebut antara lain :
  1. Negara Indonesia serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berdasarkan demokrasi dan federalisme.
  2. RIS akan dipimpin oleh seorang presiden yang dibantu oleh menteri-menteri
  3. RIS akan menerima kedaulatan, baik dari Republik Indonesia maupun dari Kerajaan Belanda.
  4. Angkatan Perang RIS adalah angkatan perang nasional, Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS
  5. Pertahanan negara adalah semata-mata hak pemerintah RIS, negar-negra bagian tidak akan mempunyai angkatan perang sendiri.

Sidang kedua Konferensi Inter Indonesia di selenggarakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli dengan keputusan
  1. Bendera RIS adalah Sang Merah Putih
  2. Lagu kebangsaan Indonesia Raya
  3. Bahasa resmi RIS adalah Bahsa Indonesia
  4. Presiden RIS dipilih wakil RI dan BFO
  5. Pengisian anggota MPRS diserahkan kepada kebijakan negara-negara bagian yang jumlahnya enam belas negara. 
Kedua delegasi juga setuju untuk membentuk panitia persiapan nasional yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan Konferensi Meja Bundar.


Kesepakatan perjanjian antara Republik Indonesia dengan negara federal buatan Belanda pasca perundingan Renville adalah satu tonggak kembalinya persatuan secara utuh. Mengenai persiapan menuju KMB, Sjahrir menolak untuk menjadi  ketua delegasi Indonesia yang berangkat ke Den Haag. Soekarno pun dinilai lemah di meja perundingan, selain itu tidak terlalu mengenal delegasi-delegasi Belanda yang dulunya berkawan dengan Sjahrir dan Hatta semasa mahasiswa. Kemudian pada tanggal 4 Agustus 1949 Hatta menyerahkan mandatnya lagi pada Presiden Soekarno
Kabinet Mohammad Hatta I
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.