Setelah
Kabinet Amir Sjarifoeddin jatuh karena PNI – Masyumi menarik dukunganya karena
penandatanganan perjanjian Renville, kekuasaan kini berpusat pada Soekarno lagi. Kemudian pada 29 Januari 1948 Soekarno menunjuk wakilnya, Drs. Mohammad Hatta
untuk membentuk kabinet baru. Hatta sendiri sering menganggap kabinetnya
ini adalah kabinet kawin silang karena mengemban dua tanggung jawab, Pertama,
sebagai Perdana Menteri, Hatta bertanggung jawab kepada KNIP dan sebagai Wakil
Presiden dia bertanggung jawab kepada Presiden Soekarno.
Sesudah
pelantikan kabinet pada 3 Februari, Hatta menjelaskan pokok-pokok kebijakan
yang akan dijalankan dihadapan KNIP pada 16 Februari, antara lain berisi
- Menyelesaikan konflik Indonesia – Belanda dengan menyetujui kesepakatan Renville
- Usaha mempertahankan RI diubah menjadi membentuk Negara Indonesia Serikat (NIS).
- Rasionalisasi ke dalam karena perlunya penyaluran tenaga kerja produktif ke bidang masing-masing
- Rasionalisasi angkatan perang yang terbilang buncit jumlahnya
Suatu
keanehan ketika Masyumi dan PNI menyatakan untuk ikut dalam koalisi. Berarti,
kedua partai tersebut keluar dari koalisi Amir silam bukan dikarenakan hasil
mengecewakan perundingan Renville, tapi ketidaksukaannya pada Amir yang sudah
condong ke arah kiri, komunis. Perihal rasionalisasi ketentaraan, Hatta
mendapat dukungan dari Jenderal Soedirman karena saat ini persatuan benar-benar
harus dikedepankan melihat posisi Indonesia yang sudah sulit bernafas. Selain
itu juga dikarenakan pemusatan komando dan perbekalan memang harus dikerucutkan
kepada pihak tentara murni, bukan tentara bentukan Amir. Sementara itu
insiden penolakan perundingan Renville terjadi dimana-mana. Bahkan ketika
delegasi Belanda baru saja tiba di stasiun Tugu Yogyakarta, Abdulkadir dicaci
sejadi-jadinya. Hal ini menjadi suatu ketidakenakan sehingga pemerintah RI
secara resmi meminta maaf kepada Belanda.
Memasuki
bulan Mei 1948, golongan Amir dibawah organ bernama Front Demokrasi Rakyat
(FDR) yang dibentuk setelah cabutnya golongan Sjahrir dari PS, semakin
kuat dan diisi oleh barisan buruh dan tani serta orang-orang komunis.
Insiden-insiden yang terjadi terkait penolakan Renville diindikasikan didalangi
oleh FDR yang ingin mengguncang pemerintahan Hatta. Kemudian, pada bertepatan
dengan 40 tahun bangkitnya pergerakan nasional, FDR, PNI dan Masyumi membuat
kesepakatan untuk bekerja sama dalam mensukseskan program nasional. Berlanjut
pada akhir bulan Mei, Hatta menemui pimpinan-pimpinan partai dengan agenda
merubah kabinet presidensiil menjadi parlementer kembali. Setidaknya dengan
me-reshuffle kabinet. FDR mengusulkan jalan agar, kabinet dibubarkan, dan Amir
kembali memimpin atau menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Masyumi yang
sentimen terhadap golongan kiri terang-terangan menolak usulan tersebut.
Tanggal
31 Mei, pertemuan digelar antara Perdana Menteri dengan beberapa partai besar,
diantaranya Masyumi, PNI, PS, PSI, PKI, PBI, GPII, BKRI, Parkindo serta Partai
Katolik. Pertemuan tersebut membentuk suatu panitia kecil dibawah pimpinan Mr.
Tambunan dari Parkindo (Partai Kristen Indonesia) untuk menyusun program nasional
dan tiap partai harus bertanggung jawab untuk menyokong hasil rumusan tersebut.
Panitia tadi tadi diisi oleh Amir Syarifuddin (PS), D.N. Aidit (PKI), Setiajit
(PBI) Mr. Suyono Hadinoto (PNI), Maruto Nitimiharjo (Partai Rakyat), Saleh
Suaidy (Masyumi) disamping Mr. Tambunan. Pada tanggal 16 Juni, Panitia
Penyusunan Program Nasional mengumumkan mufakatnya
- Pemerintah seharusnya menerima pengakuan dari negara-negara lain atas kedaulatan RI tanpa memandang ideologinya,
- Menggalang prinsip pertahanan rakyat, yaitu tentara dan rakyat bersama-sama menyatukan kekuatan. Dalam rangka penyempurnaannya, rakyat diberikan pelatihan dan pengetahuan pertahanan (FDR mengusulkan untuk mempersenjatai rakyat, tapi digagalkan)
- Membersihkan perekonomian domestik dari kekuasaan asing demi menghindari keterlibatan Indonesia dalam perang dingin (FDR mengusulkan untuk memanfaatkan bantuan dari Amerika Serikat, kembali ditolak)
- Mengusahakan agar petani dapat mengambil kepemilikan tanah yang disewakan. Selain itu juga akan menghapusm mindring, ijon dan lain-lain.
Pada
5 – 14 Juli diadakan lagi pertemuan antara partai-partai yang lebih beragam dan
akhirnya Permai, Gerakan Revolusi Rakyat, Wanita Rakyat, Acoma, PKI, Partai
Buruh Merdeka, Partai Rakyat Jelata, PSII, BKPRI, Gerindo, Wanita Rakyat, PBI,
BPRI, dan PKRI ikut menyetujui Program Nasional Hatta, pada 26 Juli berbicara
di depan para wakil partai yang telah sepakat (20 partai) bahwa Program ada
yang langsung bisa direalisasikan dan ada juga yang baru bisa dilaksanakan di
kemudian hari. Meski secara teoretis persetujuan telah disepakati, namun
terdapat banyak interpretasi dari masing-masing pihak terkait pelaksanaan dari
program itu sendiri. Seperti misalkan, Masyumi ingin mempertahankan kabinet
yang ada di kala PNI mengidamkan suatu re-shuffle.
FDR,
yang bisa disebut sebagai oposisi pun memainkan strategi unik karena tidak
memperlihatkan sikap sebagai oposisi kental. Itu dapat dibuktikan ketika
pencetusan Program Nasional, FDR turut didalamnya dan berjanji membantu
pemerintah Hatta bersama partai-partai lain yang berkoalisi. Langkah lunak ini
bertujuan agar mereka mendapat posisi kembali di kabinet. Pemogokkan buruh
secara massal di Delanggu sejak 19 Mei (meminta pertanggungjawaban pemerintah
atas inflasi yang mengakibatkan berkurangnya upah mereka) sebenarnya adalah
salah satu scenario pihak FDR yang memiliki kepanjangan tangan di organ-organ
buruh dan tani. Berlanjut pada 26 Mei, 17.000 anggota Sarbupri (Sarekat Buruh
Perkebunan Republik Indonesia) mogok kerja. Menanggapi hal ini, Menteri Kemakmuran
(Masyumi) mengirim serikat tani afiliasinya, STII (Sarekat Tani Islam
Indonesia) untuk bekerja di ladang-ladang yang terbengkalai. Namun, suatu
bentrokan terjadi pada 10 July antara pemogok dengan STII. Kesatuan tentara
dari Divisi Siliwangi datang membantu STII dan
menduduki beberapa desa di Delanggu. Perdana Menteri pun mengabulkan
para pemogok pada 18 Juli karena takut krisis akan membesar.
Kebijakan
Hatta mengenai Rasionalisasi tentara terutama komando wilayah Jawa mulai
diterapkan pada 4 Mei 1948 dengan keluarnya Penetapan Presiden No. 14. Tujuan
Hatta merasionalisasikan jumlah tentara juga untuk mengalihkan tenaga-tenaga
produktif dari sector tentara ke sector produksi. Tiga cara yang dilakukan
adalah :
- Melepas mereka yang ingin kembali kepada pekerjaan semula sebelum bergabung dalam divisi tentara.
- Menyerahkan eks tentara kepada Kementerian Pembangunan dan Pemuda untuk dimanfaatkan lebih lanjut
- Mengembalikan seratus ribu orang ke dalam masyarakat desa.
Perlu
diingat kembali bahwasanya sejak 1946 Amir telah menempatkan barisan perwira
yang berpendidikan politik ke dalam satuan-satuan tentara. Hal itu
mengakibatkan bahwa pengaruh FDR kuat di beberapa kalangan kelompok tentara.
Hatta pun menyadari hal tersebut sehingga yang menjadi target rasionalisasi
pada awalnya adalah kesatuan tentara yang lemah pengaruh FDR-nya. Divisi IV
Panembahan Senopati (sekarang Diponegoro) berjumlah sekitar 5.000 personil dan
50%nya adalah anggota Pesindo, organ setia kepada Amir. Divisi ini menolak
kebijakan pemerintah untuk dirasionalisasi hingga merujuk pada terbunuhnya
Kolonel Sutarto Panglima Divisi IV Panembahan Senopati tersebut pada 2 July
19.30. Perlu juga ditelisik lebih jauh bahwa kedatangan tentara Divisi
Siliwangi pimpinan Nasution yang terkenal karena disiplin tinggi dan
pro-pemerintah, ke Yogyakarta, menerbitkan gesekan-gesekan dengan
tentara-tentara di Jawa Tengah yang beraliran kiri, yakni golongan setia Amir
Syarifuddin. Surakarta menjadi juga daerah rawan karena banyak perampokan oleh
oknum-oknum berseragam.
Matinya
Sutarto membuat tambah kacau suasana, ditambah penggantinya adalah seorang FDR
layaknya Sutarto, yaitu Letkol Suadi. Aksi culik-menculik antara Siliwangi dan
Panembahan Senopati adalah titik didih benturan-benturan yang sangat berbau
politis. Musso, sejak kedatangannya kembali di tanah air, langsung memainkan
peran. Tokoh komunis kawakan ini langsung merombak struktur organisasi PKI dan
menyatakan bahwa hanya boleh ada satu partai kaum proletar. Kemudian, FDR yang
terisi oleh beragam organ, menggabungkan diri dengan PKI, dipimpin oleh Musso.
Solo semakin mencekam hingga meledak pada 14 September 1948. Tentara pro
Amir yang sebagian besar anggota Panembahan Senopati semakin jelas posisinya
dipihak oposisi pemerintah.
15
September Divisi Siliwangi dapat merebut dan meredamkan situasi. Musso dan
kelompoknya menuju Madiun dan mengambil alih kekuasaan disana sejak 18
September dan lahirlah Pembrontakan PKI Madiun 1948 disana. Musso menuduh
Soekarno-Hatta akan menjual Indonesia kepada Belanda, Inggris, dan Amerika.
Akhirnya Musso mendeklarasikan berdirinya negara Soviet Indonesia Di kota
tersebut Musso mendeklarasikan berdirinya negara Soviet Indonesia. Gerakan
eksplosif golongan kiri ini sering disebut Peristiwa Madiun 1948.
Namun, kudeta yang masih premature ini dapat ditumpas oleh tentara yang setia
pada pemerintah Hatta. Musso mati pada 30 Oktober saat pertempuran. Amir
Sjyarifuddin dan orang-orang terdekatnya ditangkap di sekitar Gunung Wilis awal
Desember, kemudian di hukum mati. Ribuan massa PKI yang ikut-ikutan pun banyak
yang dibunuh oleh rakyat (terutama santri Masyumi). Sejak peristiwa
Madiun ini, PKI lumpuh dan baru bisa aktif lagi di arena politik mulai 1950
dengan pemimpin-pemimpin baru dan muda.
Baca Juga : Pembrontakan PKI Madiun 1948
Pemerintahan
republik Indonesia, setelah baru saja jeda perang melawan saudaranya sendiri
dikagetkan oleh serangan yang dilancarkan Belanda. Pada 19 Desember 1948
Desember Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda II dengan menguasai
Yogyakarta (Ibukota). Petinggi negara ditangkapi. Soekarno, Hatta, Agus Salim
dan tak terkecuali Sjahrir. Soekarno ditahan di sekitar Danau Toba, Sumatera
Utara bersama Sjahrir dan Agus Salim. Sedangkan Hatta dan menteri-menteri
lainnya ditempatkan di Pulau Bangka Jenderal Soedirman, selaku Panglima Besar
menyiapkan strategi gerilya untuk menyerang balik Belanda. Bersamaan dengan
itu, tentara Divisi Siliwangi long march kembali ke wilayah Jawa Barat untuk
persiapan menyerang balik. Belanda mengira posisinya sekarang telah
menumbangkan kedaulatan Republik. Padahal, Hatta telah memberikan mandat kepada
Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Bukittinggi.
Sepanjang Januari hingga Februari, pimpinan pemerintahan yang diasingkan sibuk
di penahanannya. Dengan bermodalkan radio, mereka terus mendengarkan
berita-berita mutakhir terkait kekalahan Belanda di ajang internasional. Dewan
Keamanan PBB mengecam aksi Belanda yang kembali melanggar perjanjian gencatan
senjata sejak perundingan Renville ditandatangani. Militer Belanda yang
gilang-gemilang menaklukkan wilayah Indonesia dengan cepat, bernilai nol ketika
karena kalah di meja PBB.
Sementara
itu, tentara yang masih bergerilya di hutan-hutan terus melakukan sabotase dan taktik hit
and run. Tanggal 1 Maret 1949, tentara Republik berhasil merebut kembali
kuasa atas Yogyakarta yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.
Atas
tindakan Belanda yang mengkhianati kesepakatan dengan PBB, karena dulu telah
disaranai untuk melangsungkan perundingan, akhirnya mengancam bahwa tidak akan
memberikan bantuan dana pembangunan apabila Republik Indonesia tidak dibebaskan
pada 1 Juli 1949. Belanda mengembalikan pimpinan Republik ke Yogyakarta 6 Juli
dan meminta syarat kepada mereka bahwa harus diberlakukan gencatan senjata
setibanya di ibukota. 7 Juli Soekarno mengindahkan tuntutan tersebut. Belanda
pun berjanji akan menggelar perundingan baru, yaitu Konferensi Meja Bundar. Kemudian
Ketua Presidium Pemeritah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Syafruddin
Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno- Hatta pada 13 July
1949 yang kemudian disahkan oleh KNI-P pada 25 Juli 1949.
Baca Juga : Pemeritah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Republik
Indonesia kembali membenahi situasi yang baru saja kacau diacak-acak Belanda.
Konferensi Inter Indonesia digelar dari tanggal 19 – 22 Juli 1949 tanpa
ada campur tangan pihak asing. Tujuannya adalah untuk menyiapkan diri
menghadapi perang selanjutnya yang telah menunggu, yaitu Konferensi Meja
Bundar. Kesimpulan dari Konferensi tersebut antara lain :
- Negara Indonesia serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berdasarkan demokrasi dan federalisme.
- RIS akan dipimpin oleh seorang presiden yang dibantu oleh menteri-menteri
- RIS akan menerima kedaulatan, baik dari Republik Indonesia maupun dari Kerajaan Belanda.
- Angkatan Perang RIS adalah angkatan perang nasional, Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS
- Pertahanan negara adalah semata-mata hak pemerintah RIS, negar-negra bagian tidak akan mempunyai angkatan perang sendiri.
Sidang kedua Konferensi Inter Indonesia di selenggarakan
di Jakarta pada tanggal 30 Juli dengan keputusan
- Bendera RIS adalah Sang Merah Putih
- Lagu kebangsaan Indonesia Raya
- Bahasa resmi RIS adalah Bahsa Indonesia
- Presiden RIS dipilih wakil RI dan BFO
- Pengisian anggota MPRS diserahkan kepada kebijakan negara-negara bagian yang jumlahnya enam belas negara.
Kedua delegasi juga setuju untuk membentuk panitia persiapan
nasional yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan
pelaksanaan Konferensi Meja Bundar.
Kesepakatan
perjanjian antara Republik Indonesia dengan negara federal buatan Belanda pasca
perundingan Renville adalah satu tonggak kembalinya persatuan secara utuh.
Mengenai persiapan menuju KMB, Sjahrir menolak untuk menjadi ketua
delegasi Indonesia yang berangkat ke Den Haag. Soekarno pun dinilai lemah di
meja perundingan, selain itu tidak terlalu mengenal delegasi-delegasi Belanda
yang dulunya berkawan dengan Sjahrir dan Hatta semasa mahasiswa. Kemudian pada
tanggal 4 Agustus 1949 Hatta menyerahkan mandatnya lagi pada Presiden Soekarno
Kabinet Mohammad Hatta I
4/
5
Oleh
Unknown