Masa Pemerintahan/Penjajahan Hindia Belanda di Indonesia
Hindia Belanda Sejarah
Hindia
Belanda adalah sebutan bagi wilayah Indonesi pada masa lalu dijajah oleh
Belanda yang mendapat pengakuan secra de
jure dan de facto. Kepala negara
Hindia Belanda adalah Ratu atau Raja Belanda dengan seorang Gubernur Jendral
sebagai perwakilannya yang memiliki kekuasaan penuh untuk menjalankan
pemerintahan di tanah jajahanya. Hindia Belanda secara de jure dianggap merupakan
wilayah Belanda sesuai dalam Undang-undang Kerajaan Belanda tahun 1814 sebagai
wilayah berdaulat Kerajaan Belanda, yang kemudian diamandemen tahun 1848, 1872,
dan 1922 menurut perkembangan wilayah Hindia Belanda.
Wilayah
Hindia Belanda dahulu merupakan jajahan dari Vereenigde Oostindische Compagnie
(atau VOC) yang antara lain memiliki Jawa dan Maluku serta beberapa daerah lain
semenjak abad ke-17. Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799, semua properti VOC
menjadi milik pemerintah Belanda.
Pada
abad ke-19 hanya pulau Jawa yang secara keseluruhan milik Belanda. Lalu pada
tahun-tahun selanjutnya semua daerah lain di Nusantara ditaklukkan oleh Belanda.
Hindia Belanda merupakan salah satu koloni Eropa yang paling berharga karena turut
menyumbang kepada semakin kuatnya pengaruh ekonomi global Belanda, terutama
dalam perdagangan rempah dan komoditas perkebunan lainnya, dalam abad ke-19
hingga awal abad ke-20. Pada puncaknya pada tahun 1942, Hindia Belanda meliputi
semua daerah Indonesia saat ini. Selain itu, kota Melaka, Taiwan, Sri Lanka
pernah dimiliki VOC dan pemerintah Belanda.
Perbatasan
Hindia Belanda dengan negara tetangganya ditentukan dengan
perjanjian-perjanjian legal antara Kerajaan Belanda dengan Kerajaan Sarawak
(protektorat Inggris di bawah dinasti Brooke "the White Rajah"),
Borneo Utara Britania (Sabah), Kerajaan Portugis (Timor Portugis), Kekaisaran
Jerman (Papua Nugini Utara), Kerajaan Inggris (Papua Nugini Selatan).
Setelah
berakhirnya kekuasaan Inggris di Indonesia pada tahun 1816 Pemerintahan
kolonial Belanda di Indinesia dijalankan oleh pemerintahan yang disebut
Pemerintahan Hindia Belanda yang masa pemerintahanya nantinya berlangsung
hingga tahun 1942 setelah kedatangan kolonial Jepang yang menguasai Hindia Belanda kemudian
Pemerintahan
Komisaris Jendral
Pada awalnya,
pemerintahan ini dijalankan secar kolektif yang terdiri atas tiga orang, yaitu
Flout, Buyskess, dan van der Capellen. Mereka berpangkat komisaris jenderal.
Pemerintahan kolektif itu bertugas melakukan normalisasi keadaan d Indonesia
untuk menjaga peralihan kekuasan lama dari Inggris pada Belanda berjalan
lancar. Setelah masa peralihan selam tiga tahun (1816-1819) itu berakhir.
Kepala pemerintahan Hindia Belanda setelah itu mulai dipegang oleh seorang
Gubernur Jendral. Gubernur Jenderal pertama yang memerintah Hindia Belanda
antara tahun 1816-1814 adalah Van der Capellen.
Dalam
menjalankan pemerintahannya, komisaris jenderal melakukan langkah-langkah
sebagai berikut.
- Sistem residen tetap dipertahankan,
- Dalam bidang hukum, sistem juri
dihapuskan,
- Kedudukan para bupati sebagai penguasa
feudal/feodal tetap dipertahankan,
- Desa sebagai satu kesatuan unit tetap
dipertahankan dan para penguasanya dimanfaatkan untuk pelaksanaan
pemungutan pajak dan hasil bumi,
- Dalam bidang ekonomi memberikan
kesempatan kepada pengusaha-pengusaha asing untuk menanamkan modalnya di
Indonesia.
Pada
kurun waktu 1816-1830, pertentangan antara kaum liberal dan kaum konservatif
terus berlangsung. Persoalan pokoknya tentang sistem yang dapat memberikan
keuntungan sebesar-besarnya bagi negeri induk. Kaum liberal berkeyakinan bahwa
tanah jajahan akan memberi keuntungan besar bagi negeri induk apabila urusan
eksploitasi ekonomi diserahkan kepada orang-orang swasta Barat. Pemerintah
hanya mengawasi jalannya pemerintahan dan memungut pajak. Kaum konservatif
berpendapat sebaliknya, bahwa sistem pemungutan hasil bumi oleh pemerintah
secara langsung akan menguntungkan negeri induknya. Kaum konservatif meragukan
sistem liberal karena keadaan tanah jajahan belum memenuhi syarat.
Para
komisaris jenderal kemudian mengambil jalan tengah. Di satu pihak, pemerintah
tetap berusaha menangani penggalian kekayaan tanah jajahan bagi keuntungan
negeri induknya. Di lain pihak, mencari jalan melaksanakan dasar-dasar
kebebasan. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van der Capellen juga
dilaksanakan sistem politik yang dualistis. Pada satu pihak melindungi hak-hak
kaum pribumi, di lain pihak memberi kebebasan kepada pengusaha-pengusaha swasta
Barat untuk membuka usahanya di Indonesia selama tidak mengancam kehidupan
penduduk.
Berbagai
jalan tengah telah diupayakan, tetapi ternyata kurang memberikan keuntungan
bagi negeri induk. Sementara itu, kondisi di negeri Belanda dan di Indonesia
semakin memburuk. Oleh karena itu, usulan Van den Bosch untuk
melaksanakan cultuur stelsel (tanam paksa) diterima dengan
baik karena dianggap dapat memberikan keuntungan yang besar bagi negeri induk.
Sistem
Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) 1830-1870
Istilah cultuur
stelsel sebenarnya berarti sistem tanaman. Terjemahannya
dalam bahasa inggris adalah culture system atau cultivation
system. Pengertian dari cultuur stelsel sebenarnya adalah
kewajiban rakyat (Jawa) untuk menanam tanaman ekspor yang laku dijual di Eropa.
Rakyat pribumi menerjemahkancultuur stelsel dengan sebutan tanam
paksa. Hal itu disebabkan pelaksanaan proyek penanaman dilakukan dengan
cara-cara paksa. Pelanggarnya dapat dikenakan hukuman fisik yang amat berat.
Jenis-jenis tanaman yang wajib ditanam, yaitu tebu, nila, teh, tembakau, kayu
manis, kapas, merica (lada), dan kopi.
Menurut
van den Bosch, cultuur stelsel didasarkan atas hokum adat yang
menyatakan bahwa barang siapa berkuasa di suatu daerah, ia memiliki tanah dan
penduduknya. Karena raja-raja di Indonesia sudah takluk kepada Belanda,
pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja tersebut.
Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada
pemerintah Belanda.
Latar
Belakang Sistem Tanam Paksa
- Belanda menanggung beban keuangan besar
karena menghadapi Peang koalisi Eropa melawan Napoleon Bonaparte, selain
itu adanya sparatisme dari Belgia, serta terjadinya perlawan besar di
Pulau Jawa menghadapi Perang Diponegoro (1825-1830)
- Kas Negara Belanda kosong dan hutang
yang ditanggung Belanda cukup berat.
- Pemasukkan uang dari penanaman kopi
tidak banyak.
- Gagal mempraktikkan gagasan liberal
(1816-1830) berarti gagal juga mengeksploitasi tanah jajahan untuk
memberikan keuntungan yang besar pada Belanda.
Aturan-Aturan
Tanam Paksa
Ketentuan-ketentuan
pokok sistem tanam paksa terdapat dalam Staatsblad (lembaran
Negara) tahun 1834 No.22, beberapa tahun setelah tanam paksa dijalankan di
Pulau Jawa. Bunyi dari ketentuan tersebut adalah sebagai berikut
- Persetujuan-persetujuan agar penduduk
menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor yang
dapat dijual di Eropa
- Tanah pertanian yang disediakan penduduk
untuk tujuan tersebut tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian
yang dimiliki
- Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam
tanaman tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam padi
- Tanah yang disediakan penduduk tersebut
bebas dari pajak tanah.
- Hasil dari tanaman tersebut diserahkan
kepada Pemerintah Hindia Belanda. Jika harganya ditaksir melebihi pajak tanah
yang harus dibayar rakyat, kelebihan itu diberikan kepada penduduk.
- Kegagalan panen yang bukan karena
kesalahan petani akan menjadi tanggungan pemerintah.
- Bagi yang tidak memiliki tanhan akan
dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65
hari setiap tahun.
- Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pemimpin-pemimpin pribumi. Pegawai-pegawai Eropaa bertindak sebagai pengawas secara umum.
Ketentuan-ketentuan
tersebut dalam praktiknya banyak menyimpang sehingga rakyat banyak dirugikan.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain berikut ini.
- Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan
dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara-cara
yang sangat memaksa.
- Luas tanah yang disediakan penduduk
lebih dari seperlima tanah mereka. Sering kali juga semua tanah rakyat
digunakan untuk tanam paksa.
- Pengerjaan tanaman-tanaman ekspor sering
kali jauh melebihi pengerjaan padi.
- Kelebihan hasil panen sering kali tidak
dikembalikan kepada petani.
- Pajak tanah masih dikenakan pada tanah
yang digunakan untuk proyek tanam paksa.
- Kegagalan panen menjadi tanggung jawab
petani.
- Buruh yang seharusnya dibayar oleh
pemerintah malah dijadikan tenaga paksaan.
Dampak
Tanam Paksa bagi Rakyat Indonesia
Pelaksanaan
system tanam paksa memberikan dampak bagi rakyat Indonesia, baik positif maupun
negatif.
I)
Dampak Positif
- Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam
jenis-jenis tanaman baru.
- Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman
dagang yang berorientasi impor.
II)
Dampak Negatif
- Kemiskinan serta penderitaan fisik dan
mental yang berkepanjangan.
- Beban pajak yang berat.
- Pertanian, khususnya padi, banyak
mengalami kegagalan panen.
- Kelaparan dan kematian terjadi di banyak
tempat, seperti di Cirebon (1843) sebagai akibat dari pemungutan pajak tambahan
dalam bentuk beras, serta di Demak (1848) dan di Grobogan (1849-1850)
sebagai akibat kegagalan panen.
- Jumlah penduduk Indonesia menurun dengan
sangat drastis.
Sistem
Politik Ekonomi Liberal (1870)
Sebelum
tahun 1870, Indonesia dijajah dengan model imperialism kuno (ancient
imperialism), yaitu dengan cara mengeruk kekayaan alamnya saja namun
setelah tahun 1870, Pemeintah Belnada mulain menerapkan sistem imperialism
modern (modern imperialism) dengan kebijkan Politik Ekonomi Liberal atau
Pintu Terbuka (opendeur politiek), dengan memberikan kesempatan
pada para pemilik modal swasta asing untuk membuka usaha di Indonesia
Latar
Belakang Sistem Politik Ekonomi Liberal
- Pelaksanaan system tanam paksa telah
menimbulkan penderitaan rakyat pribumi, tetapi hanya memberikan keuntungan
kepada pihak Belanda secara besar-besaran.
- Berkembangnya paham liberalism sehingga
system tanam paksa dianggap tidak sesuai lagi untuk diteruskan.
- Kemenangan Partai Liberal dalam Parlemen
Belanda mendesak pemerintah Belanda menerapkan system ekonomi liberal di
Indonesia. Tujuannya agar para pengusaha Belanda sebagai pendukung Partai
Liberal dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
- Adanya traktar Sumatera (1871) yang memberikan kebebasan bagi Belanda untuk meluaskan wilayahnya ke Aceh. Sebagai imbalannya, Inggris meminta Belanda menerapkan system ekonomi liberal di Indonesia agar pengusaha Inggris dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
Pelaksanaan
Peraturan Sistem Politik Ekonomi Liberal
- Indische Comptabiliteit Wet (1867),
berisi tentang perbendaharaan negara Hindia Belanda yang menyebutkan bahwa
dalam menentukan anggaran belanja Hindia Belanda harus diterapkan dengan
undang-undang yang disetujui oleh Parlemen Belanda.
- Suiker Wet (Undang-Undang
Gula), yang menetapkan bahwa tanaman tebu adalah monopoli pemerintah yang
secara berangsur-angsur akan dialihkan kepada pihak swasta.
- Agrarische Wet (Undang-Undang
Agraria) 1870.
- Agrarische Besluit (1870).
Jika Agrarische Wet diterapkan dengan persetujuan
parlemen. Maka Agrarische Besluit diterapkan oleh
persetujuan Raja Belanda. Agrarische Wet hanya mengatur
hal-hal yang bersifat umum tentang agrarian, sedangkan Agraria
Besluit mengatur hal-hal yang lebih rinci, khususnya tentang hak
kepemilikan tanah dan jenis-jenis hak penyewaan tanah oleh pihak swasta.
Adapun
isi dari Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) 1870 adalah:
- Tanah di Indonesia dibedakan atas tanah
rakyat dan tanah pemerintah.
- Tanah rakyat dibedakan atas tanah milik
yang bersifat bebas dan tanah desa tidak bebas.
- Tanah tidak bebas adalah tanah yang
dapat disewakan kepada pengusaha swasta.
- Tanah rakyat tidak boleh dijual kepada
orang lain.
- Tanah pemerintah dapat disewakan kepada
pengusaha swasta hingga 75 tahun.
Pelaksanaan
Sistem Ekonomi Liberal
Pelaksanaan
system politik ekonomi liberal di Indonesia merupakan jalan bagi pemerintah
colonial Belanda menerapkan imperialism modernnya. Hal itu berarti Indonesia
dijadikan tempat untuk berbagai kepentingan, antara lain sebagai berikut.
- Mendapatkan bahan mentah atau bahan baku
industry di Eropa.
- Mendapatkan tenaga kerja yang murah.
- Menjadi tempat pemasaran barang-barang
produksi Eropa.
- Menjadi tempat penanaman modal
asing.
Seiring
dengan pelaksanaan sistem politik ekonomi liberal, Belanda mencoba
melaksanakan kebijakan Pax Netherlandica, sebagai upaya
penyatuan eluruh negara jajahan dengan pemerintah Belanda. Hal ini bertujuan
agar wilayah Indonesia tidak diduduki oleh bangsa Barat lainnya. Lebih-lebih
setelah dibukanya Terusan Suez (1868) yang mempersingkat jalur pelayaran antara
Eropa dan Asia
Akibat
Pelaksanaan Sistem Politik Ekonomi Liberal
a.)
Bagi Belanda
- Memberikan keuntungan yang sangat besar
kepada kaum swasta Belanda dan pemerintah colonial Belanda.
- Hasil-hasil produksi perkebunan dan
pertambangan mengalir ke negeri Belanda.
- Negeri Belanda menjadi pusat perdagangan
hasil dari tanah jajajahan.
b.)
Bagi Indonesia
- Kemerosotan tingkat kesejahteraan
penduduk.
- Adanya krisis perkebunan pada tahun 1885
karena jatuhnya harga kopi dan gula berakibat sangat buruk bagi penduduk.
- Menurunnya konsumsi bahan makanan,
terutama beras, sementara pertumbuhan penduduk Jawa meningkat sangat
pesat.
- Menurunnya usaha kerajinan rakyat karena
kalah bersaing dengan barang-barang impor dari Eropa.
- Pengangkutan dengan gerobak menjadi
merosot penghasilannya setelah adanya angkutan dengan kereta api.
- Rakyat menderita karena masih
diterapkannya kerja rodi dan adanya hukuman berat bagi yang melanggar
peraturan Poenale Sanctie.
Kekuasaan
Hindia Belanda di Indonesia ini berlangsung sejak tahun 1816 hingga tahun 1942
setelah Jepang yang mengobarkan Perang Asia Pasifik memaksa Gubernur Jendral
Belanda Van Starkenborgh Stachouw menandatangani Perjanjian Kalijati
pada 8 Maret 1942 yang berisi penyerahan tanpa syarat pihak Hindia Belannda
kepada Jepang.