Sunday, December 20, 2015

D.N. Aidit, Pemimpin Besar PKI (Bagian II)


Gondolayu, Yogyakarta
Aidit bebas tujuh bulan kemudian, Bulan Juni 1946, cuma sehari di Jakarta, dia lalu menyusul teman-temannya ke Yogyakarta (ibu kota sementara). Aidit bahkan sempat aktif di markas kelompok sayap kiri di bilangan Gondolayu, Yogyakarta, tempat para pemuda radikal memusatkan aktivitasnya.


Aidit Dan Awal Karir Di Partai Komunis Indonesia (PKI)
Setelah merdeka pada tahun 1945, Bung Hatta memperkenankan rakyat Indonesia untuk membuat partai-partai politik. Pada bulan November 1945, PKI muncul kembali. Pada akhir April 1946, mereka menggelar Kongres di Solo, Jawa Tengah dan mendeklarasikan PKI kembali sebagai partai legal. Masih di tahun yang sama, Ketua PKI Sardjono, eks tahanan Digul, memindahkan kantor pusat PKI di Solo, ke Jalan Bintaran, Yogyakarta. Aidit  lalu bergabung ke dalam partai tersebut.

Tidak lama setelah itu kader-kader komunis Indonesia yang dipenjarakan di luar negri, “pulang kampung” ke Indonesia. Mereka membawa buku-buku tentang teori Marxisme, yang membuat Aidit berkesempatan memperdalam pengetahuannya tentang Marxisme. Aidit menghabiskan sebagian besar waktunya pada periode 1946-1948 dengan berkutat dalam berbagai aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKI). Bersama beberapa yang tersisa, Aidit  mencoba  membangun kembali  partai.

Pada Bulan Maret 1947 di Malang, Aidit lalu masuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), cikal bakal badan legislatif di Indonesia, dan menjadi Ketua Fraksi PKI. Awal 1948, Aidit kemudian  masuk Komisi  Penterjemah  PKI, yang salah satu tugasnya menerjemahkan Manifes Partai Komunis karya Karl Marx dan Friedrich Engels.

Awal 1948 juga Aidit diserahi tugas untuk membidangi bidang Agitasi dan Propaganda (Agitprop), untuk menyebarkan  lagi  paham  revolusioner  dan  anti-imperialis. Di bawah bimbingan seniornya Alimin (Tokoh PKI), Aidit menerbitkan majalah  dwibulanan Bintang Merah, terbitan PKI yang punya arti strategis. Lalu pada  Agustus  1948, Aidit menjadi anggota  Comite  Central (CC) PKI, dan mengurus agraria.

Aidit Dan Keluarga
Awal tahun 1948, Aidit (25  tahun) menikahi Soetanti atau Tanti (24  tahun), secara Islam  tanpa pesta,  di  rumah KH  Raden  Dasuki, sesepuh PKI  Solo,  yang bertindak sebagai  penghulu. Ayah Tanti Moedigdo, Ibunya Siti Aminah, dan empat adik Soetanti datang. Hanya Murad dan Sobron, dua adik Aidit, yang mewakili keluarga Belitung.

Tanti adalah mahasiswi  tingkat  tiga  Perguruan  Tinggi  Kedokteran  di  Klaten Yogyakarta juga anggota Sarekat Mahasiswa Indonesia (SMI). Mereka bertemu sekitar tahun 1946 di kantor Bintang Merah. Sutanti adalah anak dari pasangan aktivis pergerakan yang cukup radikal. Ayahnya seorang ningrat keturunan bangsawan Tuban dan pegawai negeri di Kantor Pajak. Dia menjadi anggota Partai Sosialis pimpinan Amir Syarifuddin dan Terlibat dalam Madiun Affair , sehingga akhirnya ditembak mati. Ibunya Siti Aminah, ketika itu menjadi anggota KNIP mewakili Partai Sosialis dan wakil ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sampai kemudian ditahan dan diberhentikan tahun 1965.

Pernikahannya dengan Aidit kian meneguhkan darah aktivis yang ia warisi dari kedua orangtuanya. Ia tahu benar resiko menjadi aktivis politik sekaligus menjadi istri pemimpin tertinggi PKI. Dari pernikahannya itu, Aidit dikaruniai lima orang anak yaitu, Ibarruri Putri Alam, Ilya, Iwan, lalu Ilham dan Irfan (Kembar).

Aidit Dan Pemberontakan Madiun
Berawal ketika Muso (Tokoh Pendiri PKI sekaligus arsitek pemberontakan 1926), yang buron dan lari ke Rusia, kembali diam – diam ke Indonesia pada tahun 1948 dan masuk kembali kedalam PKI. Pemikiran Muso mengenai “Jalan Baru bagi Republik” sejalan dengan pandangan Aidit selama ini. Muso yang saat itu mencoba mendirikan “Soviet Republik Indonesia” didukung penuh olehnya dengan turut melakukan pemberontakan di berbagai daerah. Madiun, Magetan, Cepu, Blora, dan sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikuasai massa PKI. Baginya, kehadiran Muso menjanjikan aksi, bukan sekadar angan revolusi.

Setelah Muso menjadi ketua partai, Bulan Agustus 1948, Aidit (25 Tahun)ditugasi mengkoordinasi seksi perburuhan partai. Posisi strategis ini merupakan kepercayaan besar baginya.

Hanya  sebulan  setelah  Aidit  menerima  jabatan  koordinator  seksi  perburuhan  partai, tepatnya pada dini hari 18 September 1948, puluhan ribu buruh dan tani merangsek mengambil alih kekuasaan pemerintah di daerah-daerahdi Madiun, Jawa Timur. Peristiwa ini dikenal dengan “Pemberontakan Madiun”.

Sehari setelahnya, tanggal 19 September 1948, pemberontakan tersebut gagal dan berhasil ditumpas oleh Divisi Siliwangi pimpinan Kol. Gatot Subroto. Mayoritas pimpinan  partai  tertangkap, lalu dihukum mati seperti Muso dan Amir Syarifuddin. Pemerintah lalu menyatakan kasus Madiun selesai dan menjadi tonggak  perang antara PKI dan tentara.

Aidit berhasil lolos dari pembunuhan. Aidit sempat dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta tapi dibebaskan karena tak ada yang mengenalnya. Ibarruri Putri Alam,  putri sulung Aidit,  melukiskan, ayahnya  bisa  lolos  ke Jakarta  dengan  menyamar menjadi pedagang  Cina.  ”Rambutnya  digundul  habis,  Papa  ikut  iring-iringan  konvoi barang.”

Dari Yogyakarta, Aidit ”hijrah” ke Jakarta, dan dikabarkan kabur ke Beijing, Cina. Ada juga versi yang mengatakan kabur ke Vietnam Utara Namun. Ada  yang  menyebut  bahwa sebenarnya  ia hanya mondar-mandir Jakarta-Medan. menurut  buku  karangan  Murad Aidit,  sang  abang  bersembunyi  di  daerah  pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia memakai nama samaran Ganda. Sejak saat itu dia menghilang.

Aidit Dan Partai Komunis Indonesia (PKI) Pasca Pemberontakan Madiun
Setelah kegagalan pemberontakan Madiun, PKI dihancurkan tetapi tidak dilarang. padapertengahan 1950,  Aidit (27  tahun) ”muncul” lagi. Pada saat itu PKI sedang menata kembali roda organisasi yang nyaris mati akibat pembersihan pasca Madiun Affair. Bersama Lukman dan Njoto, ia lalu memindahkan kantor PKI dari Yogyakarta ke Jakarta. Bisa dibilang, dalam  kurun waktu inilah karier politik Aidit sesungguhnya dimulai.

Mereka diam-diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan membentuk Onder Seksi Comite  di  tingkat  kecamatan dan organisasi  dijalankan  lewat  sistem  komisariat  diComite Central. Situasinya sulit karena setiap kabinet alergi komunisme. Sampai-sampai itu  membuat  trio  Aidit-Lukman-Njoto  harus  bersembunyi  dengan menyamar. Aidit memilih  strategi  defensif sebab penyesuaian perlu dilakukan. Ia juga membawa pembaharuan yang  sangat  drastis.

Tak cuma berorganisasi,  untuk  meluaskan jaringan, mereka mendirikan sekolah, dari tingkat dasar sampai universitas. Aidit dan Lukman juga kembali menerbitkan Bintang Merah  pada  15  Agustus  1950.

Mengkudeta Tokoh Tua
Pada kongres PKI 7 Januari 1951, Aidit bersama golongan muda berhasil mengisiPolitbiro (eksekutif dalam partai) PKI. Golongan-golongan tua hanya diberi tempat sebagai anggota CC PKI yang tidak memiliki fungsi strategis apapun, itu pun tidak permanen. Kongres  PKI tahun 1954, pengurus PKI  beralih  ke  generasi  muda. Tokoh tua Politbiro seperti  Tan Ling Djie dan Alimin disingkirkan. Aidit menganggap mereka terlalu lembek, elitis, dan pragmatis. Aidit (31 Tahun) lalu terpilih menjadi anggota Central Comitee (CC) PKI dan menjadi Sekretaris Jenderal PKI. Aidit adalah Sekjen PKI yang termuda, sekaligus yang terakhir. Ia kian sibuk dengan bepergian  ke  luar negeri, mengunjungi dan menghadiri rapat-rapat internasional komunis  di  Vietnam,  Tiongkok,  dan  Rusia.

“Jalan Baru”
Langkah awal yang dilakukan Aidit adalah membangun partai melalui konsepsi “Jalan Baru”, dengan meluncurkan dokumen perjuangan partai  berjudul ”Jalan Baru Yang Harus Ditempuh Untuk Memenangkan Revolusi”. Tujuan dari konsep tersebut adalah adalah menunjukkan kepada rakyat bahwa PKI berjuang melalui garis pelembagaan negara (Perjuangan Parlemen) yang lebih menggunakan cara aman, damai, dan demokratis. Jadi pada permulaannya, Aidit menggunakan strategi kanan untuk membangun kembali kekuatan PKI.

Aidit berusaha untuk memuluskan jalannya dengan menjalin kerjasama dengan partai politik yang non-komunis dan anti penjajahan dan melawan kelas borjuis komprador dan kelas feodal. Aidit membuat suatu “front persatuan nasional” untuk memuluskan jalannya dan terbukti berhasil meningkatkan kekuatan PKI.

Aidit membangun  aliansi kekuatan dengan Partai  Nasional  Indonesia  (PNI)  untuk memperkuat PKI. PNI dipilih karena, selain sama-sama anti-Barat, juga ada figur Soekarno yang  bisa  dipakai  mengatasi  tekanan  lawan-lawan  politik  mereka. Aidit juga mendekati Nahdatul Ulama (NU), karena dia memandang NU adalah sebuah partai borjuis setelah memisahkan diri dari Masyumi. Strategi Aidit dalam mendari sekutu di antara aliran-aliran politik lainnya mengandung arti bahwa sebenarnya PKI menyesuaikan diri dengan struktur sosial yang di dalamnya kesetiaan budaya, agama, dan politik lebih bersifat vertikal atau komunal (apa yang disebut aliran) daripada horizontal seperti dalam suatu masyarakat yang sadar kelas.

Aidit, PKI dan Pemilu 1955
Puncaknya Pada Pemilu pertama di Bulan September  1955, PKI masuk ”empat besar” setelah PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Di masa ini PKI menjadi partai komunis terbesar di negara non-komunis dan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan Cina. Itu artinya, di tangan Aidit, PKI menjadi partai komunis terbesar di negara non-komunis. Di tangan Aidit, PKI menjelma menjadi sebuah partai yang disegani. Kerja keras Aidit membuahkan hasil.

Di tahun 1956  Presiden Sukarno meminta agar partai-partai dibubarkan dan mempunyai konsepsi baru yakni “demokrasi terpimpin”. Aidit yang sangat membutuhkan perlindungan Sukarno mendukung konsepsi barunya tetapi berharap agar partai-partai tidak dibubarkan, karena PKI telah begitu berhasil di dalam parlemen. Pada tahun 1957, Sukarno menyatakan bahwa partai-partai tidak wajib membubarkan diri, sehingga Aidit semakin mendukung kebijakan Sukarno tersebut.

Selain kebijakan untuk menambah anggotanya, Aidit juga mengadakan kursus-kursus umum pemberantasan buta huruf dan kursus-kursus pendidikan dasar sebelum partai ini dapat mengungkapkan gagasan-gagasan Marxis-Leninis kepada sebagian besar pengikutnya yang dengan cepat bertambah banyak itu. Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain.

Pada tahun 1957, dalam pemilihan daerah, jumlah suara untuk PKI meningkat hampir 40 persen, bahkan  di  beberapa  daerah  mereka  mayoritas.  Jumlah  anggotanya  yang semula  hanya 4.000 orang meningkat puluhan kali lipat. Aidit dengan bangga melaporkan bahwa jumlah  perempuan  anggota  partai  sudah mencapai 100 ribu. Pada usia 32  tahun Aidit  sudah  menjadi  pemimpin  salah  satu  kekuatan  politik  pasca-revolusi  yang  paling signifikan dan hidup.

Strategi politik yang Aidit lakukan selalu mendapat rintangan dari lawan-lawannya yang takut akan berkembangnya PKI. Beberapa kendala PKI adalah para politisi sipil yang non-komunis dan militer. Angkatan Darat yang telah “sakit hati” akibat peristiwa Madiun selalu mengawasi PKI dan menghalangi perkembangan PKI.

Bulan Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat dan pada BulanSeptember 1957, Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang. Pada tahun1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin pada komunis dalam sambutannya.

Pada tahun 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. Di bawah bendera Nasakom, kelompok Komunis secara de facto merupakan unsur terkuat dan dominan dibandingkan dengan dua unsur lainnya, baik kelompok Agama maupun kelompok Nasional.

Sukarno memasukan Aidit dan Nyoto menjadi anggota Front Nasional untuk memperjuangkan Irian Barat sehingga berhasil diselesaikan pada 15 Agustus 1962 danpada Maret 1962, Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat.

PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer. karena koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia.

Periode 1963 hingga September 1965, ditengah pro dan kontranya, menjadi masa paling ‘cemerlang’ bagi karir Aidit dan PKI. Pada masa itu, PKI menjadi partai paling ‘revolusioner’, ofensif, dan tercatat sebagai partai yang terdepan dalam berbagai inisiatif politik. PKI kemudian tumbuh pesat menjadi kekuatan politik berpengaruh. Tahun 1965, PKI menjadi partai politik terbesar di Indonesia, dan menjadi semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap kekuasaan.

Aidit Dan Gerakan 30 September PKI
Gerakan 30 September (Gestapu atau G 30 S) adalah suatu peristiwa penculikan dan pembunuhan  yang dilakukan suatu kelompok militer yang dipimpin Let. Kol. Untungterhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat yang diduga sebagai “Dewan Jendral” yang akan menggulingkan kekuasaan Soekarno. Dibalik berjuta kontroversinya, Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto, sebagai petinggi AD, mengumumkan bahwa  PKI sebagai  pihak  yang  harus  bertanggung  jawab atas peristiwa tersebut. Sebagai pimpinan partai, Aidit dituduh sebagai dalang peristiwa ini, walaupun kenyataannya tak  pernah ada  jawaban  tunggal atas siapa sebenarnya “dalang”prahara  tersebut.

Apapun itu, siapapun dalangnya, kenyataannya pada saat itu PKI tetap divonis sebagai “biang kerok” atas peristiwa tersebut, Walaupun keterlibatan langsung PKI belum pernah diungkap secara jelas. Tanggal 1 Oktober dilakukanlah GESTOK (Gerakan 1 Oktober), yang  langsung dipimpin langsung oleh Soeharto untuk memburu dan menangkap para pemimpin PKI dan simpatisannya, dan Aidit menjadi tokoh utamanya. Terjadilah pembantaian massal  1965 di  Jawa  Tengah,  Bali  yang menyebabkan setengahjuta orang dibunuh dan  dilakukan atas  prakarsa Soeharto (Pasca G 30 S).

Pelarian, Penangkapan dan Kematian Aidit
Dalam salah satu kesaksiannya dr Tanti Aidit (Istri Aidit), pada 30 September 1965 malam hari DN Aidit, suaminya, diculik tentara. Murad Aidit (Adik Aidit) yang juga sedang berada di rumah yang sama tidak memberikan gambaran kecuali "dibawa dengan mobil oleh orang yang tidak kukenal" bersama ajudannya Kusno. Memori seorang anak berumur 6 tahun, Ilham Aidit (Anak Aidit), agaknya lebih jernih, "Ibunya membentak dua orang berseragam militer warna biru di depan rumah" (Tempo, 7 Okt 2007). Salah seorang yang menjemputnya ialah Mayor Udara Suyono (dengan seragam AU warna biru) dan membawa DN Aidit ke lingkungan Pangkalan Angkatan Udara Halim. Di Halim ia kemudian ditemui oleh Ketua BC PKI Syam.

Persembunyian
Pada tanggal 1 atau 2 Oktober 1965 tengah malam, Aidit disuruh oleh Sam untuk segera naik pesawat yang sudah tersedia untuk terbang ke Yogya bersama pendampingnyaKusno. Keberadaan Aidit di Yogya akhirnya diketahui pihak lain, maka untuk menghilangkan jejak, kemudian perjalanan diteruskan ke Salatiga. Beberapa hari kemudian baru melanjutkan perjalanan ke Solo.

Penangkapan
Sesampainya Aidit di Solo, dia ditempatkan secara terus berpindah-pindah. Sampai akhirnya ia tinggal dirumah Sri Harto, Ketua SBIM (Sarekat Buruh Industri Metal) di pabrik panci Blima, dan salah satu simpatisan PKI. Tetapi dengan berbagai alasan dan versi, keberadaan Aidit di Solo tersebut akhirnya diketahui para senior Pemuda Pelajaryang memang mencarinya. Saat rumah dimana Aidit tersebut ditempatkan digerebeg oleh sepasukan polisi, Aidit sudah dipindahkan ke kampung Sambeng.

Berdasarkan informasi yang diberikan Brigif 4, malam 21 November 1965, ABRI dan pasukan-pasukan eks Tentara Pelajar di bawah komando operasi Kolonel Jazir Hadibroto, dikerahkan untuk mengepung Kampung Sambeng, Kelurahan Mangkubumen, Solo. Di sebuah rumah di ujung Gang Sidareja, di tepi  sebuah sungai dekat sebuah kuburan. Rumah itu milik seorang perempuan tua bernama Mbok Harjo, seorang pensiunan pegawai Bea & Cukai.

Akhirnya dengan berbagai versi cerita, Aidit tertangkap di rumah tersebut di sebuah kamar rahasia di balik sebuah lemari makan. Dengan paras lusuh dan pucat, ia kedapatan sedang duduk meringkuk memeluk lutut. Dipa Nusantara Aidit puntertangkap.

Misteri Kematian  Aidit
Banyak versi tentang kematian DN Aidit. Versi pertama, Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad ke Boyolali. Kemudian ia dibawa ke dekat sebuah sumur dan disuruh berdiri di situ. Kepadanya diberikan waktu setengah jam sebelum "diberesi". Waktu setengah jam itu digunakan Aidit untuk membuat pidato yang berapi-api. Hal ini membangkitkan kemarahan semua tentara yang mendengarnya, sehingga mereka tidak dapat mengendalikan emosi mereka. Akibatnya, mereka kemudian menembaknya hingga mati.

Versi kedua, mengatakan bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia ditahan. Betapapun juga, sampai sekarang tidak diketahui di mana jenazahnya dimakamkan.

Versi ketiga, mengatakan, sesaat setelah penangkapan, Jendral Soeharto (sebagai panglima Kostrad), memerintahkan agar Aidit dibawa ke Jakarta. Konon kemudian didapat kabar bahwa dalam perjalanan ke Jakarta tersebut ditengah jalan Aidit dihabisi dan tak tentu rimbanya.


Atau ada juga versi lainya, yang diterima Istrinya Dr. Sutanti di pengujung November 1965, bahwa sang suami telah dieksekusi di daerah Jawa Tengah. Mungkin di Boyolali atau Solo. Ada juga yang bilang di Tegal.  Pada sebuah subuh di bulan November 1965, Aidit dieksekusi. Tubuhnya diberondong senapan AK sampai habis satu magasin. Jasadnya lalu dikuburkan di sebuah liang (sumur) di dalam markas Kodim, Boyolali, Jawa Tengah. Tanpa tanda, tanpa nisan. Yang jelas, dari berbagai sumber tersebut, DN Aidit meninggal secara misterius di Jawa Tengah, 22/23 November 1965 pada umur 42 tahun.
D.N. Aidit, Pemimpin Besar PKI (Bagian II)
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.