Gondolayu,
Yogyakarta
Aidit bebas tujuh bulan kemudian, Bulan Juni
1946, cuma sehari di Jakarta, dia lalu menyusul teman-temannya ke Yogyakarta
(ibu kota sementara). Aidit bahkan sempat aktif di markas kelompok sayap kiri
di bilangan Gondolayu, Yogyakarta, tempat para pemuda radikal memusatkan
aktivitasnya.
Aidit Dan Awal Karir Di Partai Komunis
Indonesia (PKI)
Setelah
merdeka pada tahun 1945, Bung Hatta memperkenankan rakyat Indonesia untuk
membuat partai-partai politik. Pada bulan November 1945, PKI muncul kembali.
Pada akhir April 1946, mereka menggelar Kongres di Solo, Jawa Tengah dan
mendeklarasikan PKI kembali sebagai partai legal. Masih di tahun yang sama,
Ketua PKI Sardjono, eks tahanan Digul, memindahkan kantor pusat PKI di Solo, ke
Jalan Bintaran, Yogyakarta. Aidit lalu
bergabung ke dalam partai tersebut.
Tidak
lama setelah itu kader-kader komunis Indonesia yang dipenjarakan di luar negri,
“pulang kampung” ke Indonesia. Mereka membawa buku-buku tentang teori Marxisme,
yang membuat Aidit berkesempatan memperdalam pengetahuannya tentang Marxisme.
Aidit menghabiskan sebagian besar waktunya pada periode 1946-1948 dengan
berkutat dalam berbagai aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKI). Bersama
beberapa yang tersisa, Aidit
mencoba membangun kembali partai.
Pada
Bulan Maret 1947 di Malang, Aidit lalu masuk Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP), cikal bakal badan legislatif di Indonesia, dan menjadi Ketua Fraksi
PKI. Awal 1948, Aidit kemudian masuk
Komisi Penterjemah PKI, yang salah satu tugasnya menerjemahkan
Manifes Partai Komunis karya Karl Marx dan Friedrich Engels.
Awal
1948 juga Aidit diserahi tugas untuk membidangi bidang Agitasi dan Propaganda
(Agitprop), untuk menyebarkan lagi paham
revolusioner dan anti-imperialis. Di bawah bimbingan seniornya
Alimin (Tokoh PKI), Aidit menerbitkan majalah
dwibulanan Bintang Merah, terbitan PKI yang punya arti strategis. Lalu
pada Agustus 1948, Aidit menjadi anggota Comite
Central (CC) PKI, dan mengurus agraria.
Aidit Dan Keluarga
Awal
tahun 1948, Aidit (25 tahun) menikahi
Soetanti atau Tanti (24 tahun), secara
Islam tanpa pesta, di rumah
KH Raden
Dasuki, sesepuh PKI Solo, yang bertindak sebagai penghulu. Ayah Tanti Moedigdo, Ibunya Siti
Aminah, dan empat adik Soetanti datang. Hanya Murad dan Sobron, dua adik Aidit,
yang mewakili keluarga Belitung.
Tanti
adalah mahasiswi tingkat tiga
Perguruan Tinggi Kedokteran
di Klaten Yogyakarta juga anggota
Sarekat Mahasiswa Indonesia (SMI). Mereka bertemu sekitar tahun 1946 di kantor
Bintang Merah. Sutanti adalah anak dari pasangan aktivis pergerakan yang cukup
radikal. Ayahnya seorang ningrat keturunan bangsawan Tuban dan pegawai negeri
di Kantor Pajak. Dia menjadi anggota Partai Sosialis pimpinan Amir Syarifuddin
dan Terlibat dalam Madiun Affair , sehingga akhirnya ditembak mati. Ibunya Siti
Aminah, ketika itu menjadi anggota KNIP mewakili Partai Sosialis dan wakil
ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sampai kemudian ditahan dan
diberhentikan tahun 1965.
Pernikahannya
dengan Aidit kian meneguhkan darah aktivis yang ia warisi dari kedua
orangtuanya. Ia tahu benar resiko menjadi aktivis politik sekaligus menjadi
istri pemimpin tertinggi PKI. Dari pernikahannya itu, Aidit dikaruniai lima
orang anak yaitu, Ibarruri Putri Alam, Ilya, Iwan, lalu Ilham dan Irfan
(Kembar).
Aidit Dan Pemberontakan Madiun
Berawal
ketika Muso (Tokoh Pendiri PKI sekaligus arsitek pemberontakan 1926), yang
buron dan lari ke Rusia, kembali diam – diam ke Indonesia pada tahun 1948 dan
masuk kembali kedalam PKI. Pemikiran Muso mengenai “Jalan Baru bagi Republik”
sejalan dengan pandangan Aidit selama ini. Muso yang saat itu mencoba
mendirikan “Soviet Republik Indonesia” didukung penuh olehnya dengan turut
melakukan pemberontakan di berbagai daerah. Madiun, Magetan, Cepu, Blora, dan
sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikuasai massa PKI. Baginya, kehadiran
Muso menjanjikan aksi, bukan sekadar angan revolusi.
Setelah
Muso menjadi ketua partai, Bulan Agustus 1948, Aidit (25 Tahun)ditugasi
mengkoordinasi seksi perburuhan partai. Posisi strategis ini merupakan kepercayaan
besar baginya.
Hanya sebulan
setelah Aidit menerima
jabatan koordinator seksi
perburuhan partai, tepatnya pada
dini hari 18 September 1948, puluhan ribu buruh dan tani merangsek mengambil
alih kekuasaan pemerintah di daerah-daerahdi Madiun, Jawa Timur. Peristiwa ini
dikenal dengan “Pemberontakan Madiun”.
Sehari
setelahnya, tanggal 19 September 1948, pemberontakan tersebut gagal dan
berhasil ditumpas oleh Divisi Siliwangi pimpinan Kol. Gatot Subroto. Mayoritas
pimpinan partai tertangkap, lalu dihukum mati seperti Muso
dan Amir Syarifuddin. Pemerintah lalu menyatakan kasus Madiun selesai dan
menjadi tonggak perang antara PKI dan
tentara.
Aidit
berhasil lolos dari pembunuhan. Aidit sempat dijebloskan ke penjara Wirogunan,
Yogyakarta tapi dibebaskan karena tak ada yang mengenalnya. Ibarruri Putri
Alam, putri sulung Aidit, melukiskan, ayahnya bisa
lolos ke Jakarta dengan
menyamar menjadi pedagang
Cina. ”Rambutnya digundul
habis, Papa ikut iring-iringan
konvoi barang.”
Dari
Yogyakarta, Aidit ”hijrah” ke Jakarta, dan dikabarkan kabur ke Beijing, Cina.
Ada juga versi yang mengatakan kabur ke Vietnam Utara Namun. Ada yang
menyebut bahwa sebenarnya ia hanya mondar-mandir Jakarta-Medan.
menurut buku karangan
Murad Aidit, sang abang
bersembunyi di daerah
pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia memakai nama samaran Ganda.
Sejak saat itu dia menghilang.
Aidit Dan Partai Komunis Indonesia (PKI)
Pasca Pemberontakan Madiun
Setelah
kegagalan pemberontakan Madiun, PKI dihancurkan tetapi tidak dilarang.
padapertengahan 1950, Aidit (27 tahun) ”muncul” lagi. Pada saat itu PKI
sedang menata kembali roda organisasi yang nyaris mati akibat pembersihan pasca
Madiun Affair. Bersama Lukman dan Njoto, ia lalu memindahkan kantor PKI dari
Yogyakarta ke Jakarta. Bisa dibilang, dalam
kurun waktu inilah karier politik Aidit sesungguhnya dimulai.
Mereka
diam-diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan membentuk Onder Seksi
Comite di tingkat
kecamatan dan organisasi
dijalankan lewat sistem
komisariat diComite Central.
Situasinya sulit karena setiap kabinet alergi komunisme. Sampai-sampai itu membuat
trio Aidit-Lukman-Njoto harus
bersembunyi dengan menyamar.
Aidit memilih strategi defensif sebab penyesuaian perlu dilakukan. Ia
juga membawa pembaharuan yang
sangat drastis.
Tak
cuma berorganisasi, untuk meluaskan jaringan, mereka mendirikan
sekolah, dari tingkat dasar sampai universitas. Aidit dan Lukman juga kembali
menerbitkan Bintang Merah pada 15
Agustus 1950.
Mengkudeta Tokoh Tua
Pada
kongres PKI 7 Januari 1951, Aidit bersama golongan muda berhasil
mengisiPolitbiro (eksekutif dalam partai) PKI. Golongan-golongan tua hanya
diberi tempat sebagai anggota CC PKI yang tidak memiliki fungsi strategis apapun,
itu pun tidak permanen. Kongres PKI tahun 1954, pengurus PKI beralih
ke generasi muda. Tokoh tua Politbiro seperti Tan Ling Djie dan Alimin disingkirkan. Aidit
menganggap mereka terlalu lembek, elitis, dan pragmatis. Aidit (31 Tahun) lalu
terpilih menjadi anggota Central Comitee (CC) PKI dan menjadi Sekretaris
Jenderal PKI. Aidit adalah Sekjen PKI yang termuda, sekaligus yang terakhir. Ia
kian sibuk dengan bepergian ke luar negeri, mengunjungi dan menghadiri
rapat-rapat internasional komunis
di Vietnam, Tiongkok,
dan Rusia.
“Jalan Baru”
Langkah
awal yang dilakukan Aidit adalah membangun partai melalui konsepsi “Jalan
Baru”, dengan meluncurkan dokumen perjuangan partai berjudul ”Jalan Baru Yang Harus Ditempuh
Untuk Memenangkan Revolusi”. Tujuan dari konsep tersebut adalah adalah
menunjukkan kepada rakyat bahwa PKI berjuang melalui garis pelembagaan negara
(Perjuangan Parlemen) yang lebih menggunakan cara aman, damai, dan demokratis.
Jadi pada permulaannya, Aidit menggunakan strategi kanan untuk membangun
kembali kekuatan PKI.
Aidit
berusaha untuk memuluskan jalannya dengan menjalin kerjasama dengan partai
politik yang non-komunis dan anti penjajahan dan melawan kelas borjuis
komprador dan kelas feodal. Aidit membuat suatu “front persatuan nasional”
untuk memuluskan jalannya dan terbukti berhasil meningkatkan kekuatan PKI.
Aidit
membangun aliansi kekuatan dengan
Partai Nasional Indonesia
(PNI) untuk memperkuat PKI. PNI
dipilih karena, selain sama-sama anti-Barat, juga ada figur Soekarno yang bisa
dipakai mengatasi tekanan
lawan-lawan politik mereka. Aidit juga mendekati Nahdatul Ulama
(NU), karena dia memandang NU adalah sebuah partai borjuis setelah memisahkan
diri dari Masyumi. Strategi Aidit dalam mendari sekutu di antara aliran-aliran
politik lainnya mengandung arti bahwa sebenarnya PKI menyesuaikan diri dengan
struktur sosial yang di dalamnya kesetiaan budaya, agama, dan politik lebih
bersifat vertikal atau komunal (apa yang disebut aliran) daripada horizontal
seperti dalam suatu masyarakat yang sadar kelas.
Aidit,
PKI dan Pemilu 1955
Puncaknya Pada Pemilu pertama di Bulan
September 1955, PKI masuk ”empat besar”
setelah PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Di masa ini PKI menjadi partai
komunis terbesar di negara non-komunis dan partai komunis terbesar ketiga di
dunia setelah Rusia dan Cina. Itu artinya, di tangan Aidit, PKI menjadi partai
komunis terbesar di negara non-komunis. Di tangan Aidit, PKI menjelma menjadi
sebuah partai yang disegani. Kerja keras Aidit membuahkan hasil.
Di
tahun 1956 Presiden Sukarno meminta agar
partai-partai dibubarkan dan mempunyai konsepsi baru yakni “demokrasi
terpimpin”. Aidit yang sangat membutuhkan perlindungan Sukarno mendukung
konsepsi barunya tetapi berharap agar partai-partai tidak dibubarkan, karena
PKI telah begitu berhasil di dalam parlemen. Pada tahun 1957, Sukarno
menyatakan bahwa partai-partai tidak wajib membubarkan diri, sehingga Aidit
semakin mendukung kebijakan Sukarno tersebut.
Selain
kebijakan untuk menambah anggotanya, Aidit juga mengadakan kursus-kursus umum
pemberantasan buta huruf dan kursus-kursus pendidikan dasar sebelum partai ini
dapat mengungkapkan gagasan-gagasan Marxis-Leninis kepada sebagian besar
pengikutnya yang dengan cepat bertambah banyak itu. Ia mengembangkan sejumlah
program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani,
Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain.
Pada
tahun 1957, dalam pemilihan daerah, jumlah suara untuk PKI meningkat hampir 40
persen, bahkan di beberapa
daerah mereka mayoritas.
Jumlah anggotanya yang semula
hanya 4.000 orang meningkat puluhan kali lipat. Aidit dengan bangga
melaporkan bahwa jumlah perempuan anggota
partai sudah mencapai 100 ribu.
Pada usia 32 tahun Aidit sudah
menjadi pemimpin salah
satu kekuatan politik
pasca-revolusi yang paling signifikan dan hidup.
Strategi
politik yang Aidit lakukan selalu mendapat rintangan dari lawan-lawannya yang
takut akan berkembangnya PKI. Beberapa kendala PKI adalah para politisi sipil
yang non-komunis dan militer. Angkatan Darat yang telah “sakit hati” akibat
peristiwa Madiun selalu mengawasi PKI dan menghalangi perkembangan PKI.
Bulan
Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat dan pada BulanSeptember
1957, Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang. Pada tahun1959,
militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian,
kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri
memberi angin pada komunis dalam sambutannya.
Pada
tahun 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan
Komunisme). Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno
dilembagakan. Di bawah bendera Nasakom, kelompok Komunis secara de facto
merupakan unsur terkuat dan dominan dibandingkan dengan dua unsur lainnya, baik
kelompok Agama maupun kelompok Nasional.
Sukarno
memasukan Aidit dan Nyoto menjadi anggota Front Nasional untuk memperjuangkan
Irian Barat sehingga berhasil diselesaikan pada 15 Agustus 1962 danpada Maret
1962, Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat.
PKI
menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik
Islam dan militer. karena
koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden Sukarno, maka
PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia.
Periode
1963 hingga September 1965, ditengah pro dan kontranya, menjadi masa paling
‘cemerlang’ bagi karir Aidit dan PKI. Pada masa itu, PKI menjadi partai paling
‘revolusioner’, ofensif, dan tercatat sebagai partai yang terdepan dalam
berbagai inisiatif politik. PKI kemudian tumbuh pesat menjadi kekuatan politik
berpengaruh. Tahun 1965, PKI menjadi partai politik terbesar di Indonesia, dan
menjadi semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap
kekuasaan.
Aidit Dan Gerakan 30 September PKI
Gerakan
30 September (Gestapu atau G 30 S) adalah suatu peristiwa penculikan dan
pembunuhan yang dilakukan suatu kelompok
militer yang dipimpin Let. Kol. Untungterhadap enam perwira tinggi dan seorang
perwira pertama Angkatan Darat yang diduga sebagai “Dewan Jendral” yang akan menggulingkan
kekuasaan Soekarno. Dibalik
berjuta kontroversinya, Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto, sebagai petinggi AD,
mengumumkan bahwa PKI sebagai pihak
yang harus bertanggung
jawab atas peristiwa tersebut. Sebagai pimpinan partai, Aidit dituduh
sebagai dalang peristiwa ini, walaupun kenyataannya tak pernah ada
jawaban tunggal atas siapa sebenarnya
“dalang”prahara tersebut.
Apapun
itu, siapapun dalangnya, kenyataannya pada saat itu PKI tetap divonis sebagai
“biang kerok” atas peristiwa tersebut, Walaupun keterlibatan langsung PKI belum
pernah diungkap secara jelas. Tanggal
1 Oktober dilakukanlah GESTOK (Gerakan 1 Oktober), yang langsung dipimpin langsung oleh Soeharto
untuk memburu dan menangkap para pemimpin PKI dan simpatisannya, dan Aidit
menjadi tokoh utamanya. Terjadilah pembantaian massal 1965 di
Jawa Tengah, Bali
yang menyebabkan setengahjuta orang dibunuh dan dilakukan atas prakarsa Soeharto (Pasca G 30 S).
Pelarian, Penangkapan dan Kematian Aidit
Dalam
salah satu kesaksiannya dr Tanti Aidit (Istri Aidit), pada 30 September 1965
malam hari DN Aidit, suaminya, diculik tentara. Murad Aidit (Adik Aidit) yang
juga sedang berada di rumah yang sama tidak memberikan gambaran kecuali
"dibawa dengan mobil oleh orang yang tidak kukenal" bersama ajudannya
Kusno. Memori seorang anak berumur 6 tahun, Ilham Aidit (Anak Aidit), agaknya
lebih jernih, "Ibunya membentak dua orang berseragam militer warna biru di
depan rumah" (Tempo, 7 Okt 2007). Salah seorang yang menjemputnya ialah
Mayor Udara Suyono (dengan seragam AU warna biru) dan membawa DN Aidit ke
lingkungan Pangkalan Angkatan Udara Halim. Di Halim ia kemudian ditemui oleh
Ketua BC PKI Syam.
Persembunyian
Pada tanggal 1 atau 2 Oktober 1965 tengah
malam, Aidit disuruh oleh Sam untuk segera naik pesawat yang sudah tersedia
untuk terbang ke Yogya bersama pendampingnyaKusno. Keberadaan Aidit di Yogya
akhirnya diketahui pihak lain, maka untuk menghilangkan jejak, kemudian
perjalanan diteruskan ke Salatiga. Beberapa hari kemudian baru melanjutkan
perjalanan ke Solo.
Penangkapan
Sesampainya Aidit di Solo, dia ditempatkan
secara terus berpindah-pindah. Sampai akhirnya ia tinggal dirumah Sri Harto,
Ketua SBIM (Sarekat Buruh Industri Metal) di pabrik panci Blima, dan salah satu
simpatisan PKI. Tetapi dengan berbagai alasan dan versi, keberadaan Aidit di
Solo tersebut akhirnya diketahui para senior Pemuda Pelajaryang memang
mencarinya. Saat rumah dimana Aidit tersebut ditempatkan digerebeg oleh
sepasukan polisi, Aidit sudah dipindahkan ke kampung Sambeng.
Berdasarkan informasi yang diberikan Brigif
4, malam 21 November 1965, ABRI dan pasukan-pasukan eks Tentara Pelajar di
bawah komando operasi Kolonel Jazir Hadibroto, dikerahkan untuk mengepung
Kampung Sambeng, Kelurahan Mangkubumen, Solo. Di sebuah rumah di ujung Gang
Sidareja, di tepi sebuah sungai dekat
sebuah kuburan. Rumah itu milik seorang perempuan tua bernama Mbok Harjo,
seorang pensiunan pegawai Bea & Cukai.
Akhirnya
dengan berbagai versi cerita, Aidit tertangkap di rumah tersebut di sebuah
kamar rahasia di balik sebuah lemari makan. Dengan paras lusuh dan pucat, ia
kedapatan sedang duduk meringkuk memeluk lutut. Dipa Nusantara Aidit
puntertangkap.
Misteri
Kematian Aidit
Banyak versi tentang kematian DN Aidit. Versi
pertama, Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa oleh sebuah batalyon
Kostrad ke Boyolali. Kemudian ia dibawa ke dekat sebuah sumur dan disuruh
berdiri di situ. Kepadanya diberikan waktu setengah jam sebelum
"diberesi". Waktu setengah jam itu digunakan Aidit untuk membuat
pidato yang berapi-api. Hal ini membangkitkan kemarahan semua tentara yang
mendengarnya, sehingga mereka tidak dapat mengendalikan emosi mereka.
Akibatnya, mereka kemudian menembaknya hingga mati.
Versi
kedua, mengatakan bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan rumah
tempat ia ditahan. Betapapun juga, sampai sekarang tidak diketahui di mana
jenazahnya dimakamkan.
Versi
ketiga, mengatakan, sesaat setelah penangkapan, Jendral
Soeharto (sebagai panglima Kostrad), memerintahkan agar Aidit dibawa ke
Jakarta. Konon kemudian didapat kabar bahwa dalam perjalanan ke Jakarta
tersebut ditengah jalan Aidit dihabisi dan tak tentu rimbanya.
Atau
ada juga versi lainya, yang diterima Istrinya Dr.
Sutanti di pengujung November 1965, bahwa sang suami telah dieksekusi di daerah
Jawa Tengah. Mungkin di Boyolali atau Solo. Ada juga yang bilang di Tegal. Pada sebuah subuh di bulan November 1965,
Aidit dieksekusi. Tubuhnya diberondong senapan AK sampai habis satu magasin.
Jasadnya lalu dikuburkan di sebuah liang (sumur) di dalam markas Kodim,
Boyolali, Jawa Tengah. Tanpa tanda, tanpa nisan. Yang jelas, dari berbagai
sumber tersebut, DN Aidit meninggal secara misterius di Jawa Tengah, 22/23
November 1965 pada umur 42 tahun.
D.N. Aidit, Pemimpin Besar PKI (Bagian II)
4/
5
Oleh
Unknown