Setelah
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno melakukan tindakan politik untuk
membentuk alat-alat negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Selain itu,
Presiden Soekarno mulai mencetuskan demokrasi terpimpin.
Implementasi Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
Pembentukan Kabinet Kerja
Dengan
berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945, mulai tanggal 10 Juli 1959 Kabinet
Djuanda (Kabinet Karya) dibubarkan. Kemudian dibentuk kabinet baru. Dalam
kabinet baru ini, Presiden Soekarno bertindak sebagai Perdana Menteri.
Sementara itu, Djuanda ditunjuk sebagai Menteri Pertama. Kabinet baru ini
diberi nama Kabinet Karya. Program Kabinet Kerja ada tiga, yaitu: keamanan
dalam negeri, pembebasan Irian Jaya, dan sandang dan pangan.
Pembentukan MPRS
Dalam
dekrit presiden 5 Juli 1959 ditegaskan bahwa pembentukan MPRS akan
diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Anggota MPRS terdiri
dari anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan daerah-daerah dan golongan.
Oleh karena itu, pembentukan majelis merupakan pemenuhan dekrit tersebut. MPRS
merupakan pengganti Dewan Konstituante yang telah bubar. Anggota-anggota MPRS
ditunjuk dan diangkat oleh Presiden. MPRS dibentuk berdasarkan Penetapan
Presiden No. 2 Tahun 1959.
Anggota
MPRS harus memenuhi syarat, antara lain: setuju kembali kepada UUD 1945, setia
kepada perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto Politik. Keanggotaan MPRS
menurut Penpres No. 2 Tahun 1959
terdiri atas: 261 orang anggota DPR; 94 orang utusan daerah; dan 200 orang
golongan karya. Sedangkan tugas MPRS adalah menetapkan Garis- garis Besar
Haluan Negara (GBHN).
Pembentukan DPAS
Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penpres No. 3 tahun 1959.
DPAS ini bertugas memberikan pertimbangan terhadap
berbagai kebijakan yanga akan dikeluarkan Presiden. DPAS
diketuai oleh Presiden sendiri dan beranggotakan 45 orang, terdiri atas: 12 orang wakil
golongan politik, 8 orang utusan atau wakil daerah, 24 orang wakil dari
golongan karya dan 1 orang wakil ketua.
DPR hasil pemilu 1955 tetap
DPR hasil
Pemilu I tahun 1955 yang dibentuk berdasarkan UU No. 7 tahun 1953 tetap
menjalankan tugasnya berdasarkan UUD 1945. DPR tersebut harus menyetujui
perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah sampai DPR yang baru
tersusun.
B. Menegakkan Demokrasi Terpimpin
Dalam upayannya menegakkan Demokrasi Terpimpin dengan segala kekuasaan berada dalam kendali Soekarno sehingga pembangunan Indonesia bisa diatur dan dikendalikan oleh Soekarno, maka Presiden melakukan upaya-upaya sebagai berikut ,
Penetapan Manipol sebagai GBHN
Pada
tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno berpidato. Pidatonya diberi judul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato tersebut merupakan penjelasan dan
pertanggungjawaban atas Dekrit 5 Juli 1959 dan merupakan kebijakan Presiden
Soekarno pada umumnya dalam mencanangkan sistem demokrasi terpimpin. Pidato ini
kemudian dikenal dengan sebutan “Manifesto Politik Republik Indonesia”
(Manipol). DPAS dalam sidangnya pada bulan September 1959 mengusulkan kepada
pemerintah agar pidato Presiden Soekarno yang berjudul “Penemuan Kembali
Revolusi Kita” dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara dan dinamakan
“Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol)”.
Presiden
Soekarno menerima baik usulan tersebut. Pada sidangnya tahun 1960, MPRS dengan
ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 menetapkan Manifesto Politik menjadi Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN). Ketetapan tersebut juga memutuskan bahwa pidato
Presiden Soekarno pada tanggal 7 Agustus 1960, yang berjudul “Jalannya Revolusi
Kita” dan pidato di depan sidang Umum PBB yang berjudul “Membangun Dunia
Kembali” (To Build the World a New) merupakan Pedoman-pedoman Pelaksanaan.
Manifesto
Politik. Dalam pidato pembukaan Kongres Pemuda di Bandung pada bulan Februari
1960, Presiden Soekarno menyatakan bahwa intisari Manipol ada lima. Lima
intisari itu adalah UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK).
Pembentukan DPR-GR
Pada
tanggal 5 Maret 1960 DPR hasil Pemilu I tahun 1955 dibubarkan oleh Presiden
Soekarno, karena menolak Rencana Anggaran Belanja Negara yang diajukan oleh
pemerintah. Tidak lama kemudian Presiden
berhasil menyusun daftar anggota DPR. DPR yang baru dibentuk tersebut dinamakan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Seluruh DPR-GR ditunjuk oleh
Presiden mewakili golongan masing-masing. Anggota DPR-GR dilantik pada tanggal
25 Juni 1960. Dalam upacara pelantikan tersebut, Presiden Soekarno menyatakan
bahwa tugas DPR-GR adalah melaksanakan Manipol, merealisasikan amanat
penderitaan rakyat, dan melaksanakan demokrasi terpimpin. Pada upacara
pelantikan wakil-wakil ketua DPR-GR tanggal 5 Januari 1961, Presiden Soekarno
menjelaskan kedudukan DPR-GR. DPR-GR adalah pembantu presiden/mandataris MPRS
dan member sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu
yang ditetapkan MPRS. Karena itu, pembentukan DPR-GR supaya ditangguhkan.
Alasannya adalah sebagai berikut.
Ø
Perubahan perimbangan perwakilan golongan- golongan
dalam DPR-GR memperkuat pengaruh dan kedudukan suatu golongan tertentu yang
mengakibatkan kegelisahan-kegelisahan dalam masyarakat dan memungkinkan
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Ø
DPR yang demikian, pada hakikatnya adalah DPR yang
hanya mengiyakan saja, sehingga tidak dapat menjadi soko guru negara hokum dan
demokrasi yang sehat.
Ø
Pembaruan dengan cara pengangkatan sebagaimana yang
dipersiapkan itu adalah bertentangan dengan asas-asas demokrasi yang dijamin
oleh undang-undang.
Pembentukan Front Nasional dan MPPRS
Dalam rangka menegakkan demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno juga membentuk lembagalembaga lain. Selain MPRS, DPR-GR, DPAS, dan Kabinet, Presiden membentuk Front Nasional, Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), dan Dewan Perancang Nasional (Depernas). Front Nasional dibentuk berdasarkan Penpres No. 13 Tahun 1959. Front Nasional adalah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional diketuai Presiden Soekarno. MPPR dibentuk berdasarkan Penpres No. 4 Tahun 1962 yang anggotanya bertugas membantu Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi dalam mengambil kebijaksanaan khusus dan darurat dalam menyelesaikan revolusi. Anggota MPPR adalah para menteri yang mewakili MPRS dan DPR-GR, departemen-departemen, angkatanangkatan, dan wakil dari organisasi Nasakom.
Reaksi terhadap pembubaran DPR hasil
Pemilu 1955
Tindakan
pembubaran DPR hasil Pemilu tersebut mendapat reaksi keras dari partai-partai.
Pada bulan Maret tahun 1960, beberapa partai mendirikan Liga Demokrasi. Liga
Demokrasi diketuai oleh Imron Rosyadi dari NU. Anggota Liga Demokrasi terdiri
dari beberapa tokoh partai politik seperti Masyumi, Parkindo, Partai Katolik,
Liga Muslimin, PSI, dan IPKI. Mereka menyatakan bahwa kebijaksanaan Presiden
membubarkan DPR hasil Pemilu I serta pembentukan DPR-GR merupakan tindakan yang
tidak tepat.
Tokoh-tokoh
lain yang tidak menjadi anggota Liga Demokrasi juga menyatakan keberatan
terhadap pembubaran DPR hasil Pemilu tahun 1955. Misalnya, Mr. Sartono dan Mr.
Iskaq Cokrohadisuryo (teman lama Presiden Soekarno dalam PNI). Di samping itu,
juga muncul reaksi keras dari Masyumi dan PRI. Sutomo (Bung Tomo) dari Partai
Rakyat Indonesia (PRI) lewat pengaduannya yang disampaikan pada tanggal 22 Juni
1960 dengan tegas menyatakan bahwa kabinet yang dipimpin Soekarno melakukan
pelanggaran terhadap UUD 1945. Pelanggaran yang dilakukan adalah membubarkan
Parlemen Republik Indonesia hasil pilihan rakyat. Menurut Sutomo, tindakan
pembubaran parlemen hasil pilihan rakyat merupakan tindakan yang
sewenang-wenang. Liga
Demokrasi mengusulkan agar dibentuk DPR yang demokratis dan
konstitusional. Presiden Soekarno akan
lemah terhadap PNI.
Tokoh-tokoh lain yang tidak menjadi anggota Liga Demokrasi juga menyatakan keberatan terhadap pembubaran DPR hasil Pemilu tahun 1955. Misalnya, Mr. Sartono dan Mr. Iskaq Cokrohadisuryo (teman lama Presiden Soekarno dalam PNI). Di samping itu, juga muncul reaksi keras dari Masyumi dan PRI. Sutomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat Indonesia (PRI) lewat pengaduannya yang disampaikan pada tanggal 22 Juni 1960 dengan tegas menyatakan bahwa kabinet yang dipimpin Soekarno melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945. Pelanggaran yang dilakukan adalah membubarkan Parlemen Republik Indonesia hasil pilihan rakyat. Menurut Sutomo, tindakan pembubaran parlemen hasil pilihan rakyat merupakan tindakan yang sewenang-wenang. Dikatakan sewenangwenang karena:
- ada paksaan untuk menerima Manipol tanpa diberi waktu terlebih dulu untuk mempelajarinya;
- ada paksaan untuk bekerja sama antara golongan nasionalis, agama, dan komunis.
Reaksi-reaksi yang dilancarkan beberapa partai tersebut ditanggapi Presiden Soekarno dengan rencana membubarkan partai-partai tersebut. Rencana pembubaran partai-partai ditentang oleh PNI dan PKI sehingga Presiden Soekarno tidak jadi membubarkannya. Partai PNI dan PKI merupakan partai yang dekat dengan Presiden, maka suaranya didengarkan. Sedangkan Partai Masyumi dan PSI yang banyak tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan PRRI/Permesta dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960 oleh Presiden Soekarno.
Kedudukan PKI semakin kuat
Di antara partai-partai yang ada, PKI merupakan partai yang menempati kedudukan istimewa. Di dalam sistem Demokrasi Terpimpin. Di bawah pimpinan D. N. Aidit, dengan tegas PKI mendukung konsepsi Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno yang berporoskan pada Nasakom. PKI berhasil
DPR-GR ternyata tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana tuntutan UUD 1945 karena anggotanya ditunjuk Presiden Soekarno. Mereka selalu tunduk terhadap keputusan Soekarno. DPR yang menurut UUD 1945 seharusnya sejajar dengan Presiden pada kenyataannya berada di bawah presiden. Bahkan, ketua DPR-GR berasal dari menteri yang menjadi bawahan Presiden.
Ikut sertanya PKI dalam kehidupan politik Indonesia berarti
menduakan Pancasila dengan suatu ideology yang bertentangan. Letak
pertentangannya adalah sebagai berikut.
Ø
Pancasila berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa,
sedangkan PKI cenderung ateis.
Ø
Pancasila berasaskan Persatuan Indonesia, sedangkan
PKI berdasarkan internasionalisme.
Ø
Pancasila berasaskan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, sedangkan komunisme
berlandaskan pertentangan antarkelas.
Dengan
cara mendekati Presiden Soekarno, kedudukan PKI semakin kuat. Manipol harus
dipegang teguh
sebagai satu-satunya ajaran Revolusi Indonesia sehingga kedudukan Pancasila
digeser oleh Manipol. Secara tegas, D.N. Aidit menyatakan bahwa Pancasila hanya
dibutuhkan sebagai alat pemersatu. Kalau rakyat Indonesia sudah bersatu,
Pancasila tidak diperlukan lagi. Keadaan semacam ini menggelisahkan berbagai
kalangan yang sepenuhnya meyakini Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan
hidup. Sekelompok wartawan yang mempunyai keyakinan kuat terhadap Pancasila
membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) dengan harapan agar Presiden
Soekarno berpaling dari PKI dan menempatkan diri di pihak pembela Pancasila.
Dukungan ini tidak diterima oleh Presiden Soekarno. Justru BPS dilarang
kehadirannya.
Di antara partai-partai yang masih berani meneror mental PKI
adalah Partai Murba. Akan tetapi, akhirnya PKI berhasil mempengaruhi Presiden
Soekarno untuk membubarkan Partai Murba. PKI juga berhasil menyusup ke dalam
tubuh partai-partai dan beberapa organisasi lain yang ada pada waktu itu. Penyusupan
PKI itu mengakibatkan pecahnya PNI menjadi dua. PNI pimpinan Ali Satroamijoyo
disusupi tokoh PKI Ir. Surachman sehingga haluannya menjadi sejajar dengan PKI.
Sedangkan, tokoh-tokoh marhaenis sejati malah dikeluarkan dengan dalih mereka
adalah marhaenis gadungan. Mereka ini kemudian membentuk kepengurusan sendiri
di bawah pimpinan Osa Maliki dan Usep Ranawijaya. Kemudian dikenal sebagai PNI
Osa-Usep.
Satu-satunya
kekuatan sosial politik terorganisasi yang mampu menghalangi PKI dalam usahanya
merobohkan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila adalah TNI. Oleh karena
itu, PKI memusatkan perhatiannya kepada TNI dari dalam. PKI membina kader-kader
dan simpatisan-simpatisan di kalangan anggota TNI dengan cara menjelekjelekkan
nama pimpinan TNI yang gigih membela Pancasila. Daerah-daerah, terutama yang
banyak kader PKI-nya melancarkan aksi sepihak. Barisan Tani Indonesia (BTI)
sebagai ormas PKI diperintahkan mengambil begitu saja tanah-tanah orang lain
untuk kemudian dibagi-bagikan kepada anggotanya. Tindakan PKI ini tampaknya
merupakan ujian bagi TNI yang berhadapan dengan massa. Di berbagai tempat
terjadi pengeroyokan terhadap anggota TNI oleh massa PKI, misalnya di Boyolali.
Tindakan PKI yang menelan banyak korban jiwa dan harta ini sementara masih
‘didiamkan’ oleh pemerintah. Karena merasa menang, PKI lebih meningkatkan
aksinya. PKI menyarankan kepada Presiden Soekarno untuk membentuk Angkatan
ke-5. Sebagian anggota angkatan ke-5 akan diambil dari PKI yang telah menjadi
sukarelawan Dwikora. Usaha pembentukan Angkatan ke-5 ini sampai akhir masa
demokrasi terpimpin dapat digagalkan oleh TNI, khususnya Angkatan Darat. Di
samping itu, PKI juga menuntut dibentuknya Kabinet Nasakom yang harus mempunyai
menteri-menteri dari PKI. Tuntutan ini sebagian dikabulkan oleh Presiden
Soekarno dengan mengangkat pimpinan utama PKI seperti D. N. Aidit, Lukman, dan
Nyoto menjadi menteri, walaupun tidak memegang departemen.
Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
4/
5
Oleh
Unknown