Wednesday, December 23, 2015

Kabinet Sjahrir III

Setelah masalah penculikan dalam Peristiwa 3 Juli selesai, pada pertengahan bulan Agustus 1946, KNIP yang bersidang di Yogyakarta membuat usulan tentang perubahan kabinet Syahrir yang kedua menjadi kabinet koalisi, yang bertanggungjawab pada KNIP. Berhubung keadaan sudah mulai normal kembali, Presiden Soekarno pada 14 Agustus 1946, Soekarno meminta Sjahrir untuk kembali kemudian pada tanggal 2 Oktober melalui Maklumat Presiden No.1 1946 dengan harapan kabnet dan badan resmi lainnya dapat bekerja kembali. Untuk menanggapi usul KNIP presiden menunjuk Syahrir untuk ketiga kalinya sebagai formatur kabinet koalisi. Pada tanggal 2 Oktober diumumkan kabinet koalisi baru dibawah perdana mentri Syahrir.  

Sjahrir kemudian melanjutkan kembali perundingan dengan pihak Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 diadakan perundingan atas dasar program politik pemerintah yang menekankan pada perundingan atas dasar pengakuan merdeka 100%, dan persiapan rakyat serta negara dalam bidang politik, militer, ekonomi, dan sosial untuk mempertahankan RI. Perundingan ini menghasilkan usul-usul dari pihak Belanda yang tidak dapat diterima oleh Sjahrir. Belanda menginginkan agar Indonesia menjadi negara bagian dari Kerajaan Belanda.
Susunan kabinet Jilid III ini merupakan suatu penyempurnaan dari yang sebelumnya. Penguatan dilakukan dengan menempatkan wakil dari beberapa partai yang tidak itu-itu saja. Soekarno menunjuk kembali Sjahrir agar diplomasi dengan Belanda dapat berjalan dengan lancar. Perjuangan melalui meja perundingan tetap harus dilakukan disamping angkat senjata. Kelanjutan dari kesepakatan di Hoge Veluwe adalah perundingan di Linggarjati, dekat Cirebon pada 12 November. Delegasi Indonesia diwakili oleh Sjahrir, Mr. Moh. Roem, Dr. Susanto Tirtoprojo dan Dr. A.K. Gani. Sedangkan Belanda diantaranya Dr. Schermerhorn, De Boer, dan van Pool. Pertemuan dua pihak yang sedang berselisih tersebut menyepakati :
1.    Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda sudah harus meninggalkan daerah de facto paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949.
2.    Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk negara Serikat dengan nama RIS. Negara Indonesia Serikat akan terdiri dari RI, Kalimantan dan Timur Besar. Pembentukan RIS akan diadakan sebelum tanggal 1 Januari 1949.
3.    RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia- Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua.
Hasil kesepakatan tersebut ditandatangani di Istana Rijswijk (sekarang Istana Negara) pada 25 Maret 1947. Bisa disimpulkan dengan mudah bahwasanya Belanda telah diuntungkan. Namun, intelijen Belanda menganggap bahwa sebenarnya daerah Indonesia yang telah disepakati pun dapat direbut hanya dalam dua minggu operasi militer. Masa-masa sesudah Linggarjati, Belanda disibukkan dengan membenahi wilayah Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulai lain yang secara de facto sudah berada ditangannya. Disamping itu juga memobilisasi angkatan perang untuk persiapan menyerbu kota-kota penting di Jawa dan Sumatera, wilayah Indonesia. Belanda beranggapan meski 80 % wilayah Indonesia dapat direbut melalui perjanjian, tidak aka nada artinya di mata dunia apabila pemerintahan Indonesia masih eksis dan menduduki Jawa. Itu akan terbukti ketika Belanda melancarkan aksi polisionilnya.
Hasil perundingan Linggarjati pun menerbitkan kekecewaan dari pihak oposisi yang dengan programnya menuntut pengakuan kemerdekaan seratus persen dari Belanda. PNI, Masyumi, Barisan Banteng dan Badan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) serta Tan Malaka dan kelompoknya yang telah menghirup udara segar pasca penahanan. Mereka menyatukan diri dibawah organ bernama Benteng Republik Indonesia.
Setelah kesepakatan berlangsung di Istana Negara 24 Maret sebelumnya, Belanda masih menunjukkan sikap ketidakpuasannya. Kemudian pada 27 Mei Belanda memberikan tuntutan yang harus dipenuhi oleh Republik Indonesia, yaitu :
1.    Kedaulatan de jure Belanda sampai 1 Januari 1949
2.    Selama masa peralihan, Indonesia diperintah oleh pemerintah sementara (interim) dan wakil Belanda yang berhak memutuskan segala persoalan
3.    Pemerintah sementara mengendalikan soal-soal ekspor-impor dan hubungan luar. Selain itu juga dibentuk ketentaraan bersama untuk menjaga keamanan
Garis penting dari tuntutan tersebut adalah bahwa setiap persoalan harus diputuskan oleh wakil Belanda, maka Indonesia dihadapkan pada dua pilihan, menerima ultimatum tersebut atau perang. Sjahrir semakin dipojokkan pada sudut yang sulit karena jika dilihat dari perjuangannya sejak kemerdekaan, dia benci dengan benturan-benturan yang bersifat fisik. Namun, apabila mengindahkan kemauan Belanda berarti Indonesia tidak lagi berdaulat secara penuh. Tanggal 8 Juni Sjahrir menyetujui adanya pemerintah sementara yang dimakudkan Belanda dan dua belas hari kemudian menerima staf khusus wakil Belanda. Keputusan Sjahrir ini dilakukan setelah berunding dengan A.K. Gani (PNI), Natsir (Masyumi) dan Abdulmadjid (PS) yang merupakan anggota kabinet.
Abdulmajid lalu dikirim ke Yogyakarta untuk menjelaskan konsesi Sjahrir. Apa yang dilakukan Abdulmajid ternyata tidak sesuai yang diprediksi. Amir yang juga datang ke Yogyakarta, bersama Abdulmajid menemui sejumlah tokoh Sayap Kiri yang anti terhadap konsesi Sjahrir, dua diantaranya adalah Tan Ling Djie dan Wikana. Abdulmajid dan Amir malah menusuk Sjahrir dari belakang. Sjahrir yang gusar memutuskan untuk menjelaskan sendiri keputusannya terkait penerimaan permintaan Belanda pada 26 Juni di Yogyakarta.  Disana, sang perdana menteri diserang oleh Amir, Tan Ling Djie dan Abdulmajid. Para oknum ini merumuskan poin-poin penolakan,
1.    Tidak menyetujui kompromi dengan Belanda karena dinilai tidak menjamin persatuan antara pemerintah dan rakyat yang bersangkutan
2.    Mempertahankan nota balasan pemerintah Indonesia yang mengandung cukup bahan untuk menyelesaikan soal Indonesia dengan damai
3.    Mengajak seluruh rakyat untuk membulatkan tekad dan bersiap menghadapi segala kemungkinan
4.    Menyesuaikan dan mempertahankan pemerintahan agar persatuan pemerintah dan rakyat tetap terjaga
5.    Mengajak rakyat dunia umumnya dan rakyat Belanda khususnya untuk menyelesaikan masalah Indonesia dengan cara damai
Melihat tangan-tangan kanannya sudah bergerak tidak sesuai kemauan, Sjahrir memutuskan untuk menaruh jabatannya pada 27 Juni 1947. Kabinet yang digalang Sjahrir kembali rubuh.







Kabinet Sjahrir III
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.