Setelah masalah penculikan dalam Peristiwa 3 Juli
selesai, pada pertengahan bulan Agustus 1946, KNIP yang bersidang di Yogyakarta
membuat usulan tentang perubahan kabinet Syahrir yang kedua menjadi kabinet
koalisi, yang bertanggungjawab pada KNIP. Berhubung keadaan sudah mulai normal
kembali, Presiden Soekarno pada 14 Agustus 1946, Soekarno meminta Sjahrir untuk
kembali kemudian pada tanggal 2 Oktober melalui Maklumat Presiden No.1 1946
dengan harapan kabnet dan badan resmi lainnya dapat bekerja kembali. Untuk
menanggapi usul KNIP presiden menunjuk Syahrir untuk ketiga kalinya sebagai
formatur kabinet koalisi. Pada tanggal 2 Oktober diumumkan kabinet koalisi baru
dibawah perdana mentri Syahrir.
Sjahrir kemudian melanjutkan kembali perundingan
dengan pihak Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 diadakan perundingan atas
dasar program politik pemerintah yang menekankan pada perundingan atas dasar
pengakuan merdeka 100%, dan persiapan rakyat serta negara dalam bidang politik,
militer, ekonomi, dan sosial untuk mempertahankan RI. Perundingan ini
menghasilkan usul-usul dari pihak Belanda yang tidak dapat diterima oleh
Sjahrir. Belanda menginginkan agar Indonesia menjadi negara bagian dari
Kerajaan Belanda.
Susunan
kabinet Jilid III ini merupakan suatu penyempurnaan dari yang sebelumnya.
Penguatan dilakukan dengan menempatkan wakil dari beberapa partai yang tidak
itu-itu saja. Soekarno menunjuk kembali Sjahrir agar diplomasi dengan Belanda
dapat berjalan dengan lancar. Perjuangan melalui meja perundingan tetap harus
dilakukan disamping angkat senjata. Kelanjutan dari kesepakatan di Hoge Veluwe
adalah perundingan di Linggarjati, dekat Cirebon pada 12 November. Delegasi
Indonesia diwakili oleh Sjahrir, Mr. Moh. Roem, Dr. Susanto Tirtoprojo dan Dr.
A.K. Gani. Sedangkan Belanda diantaranya Dr. Schermerhorn, De Boer, dan van
Pool. Pertemuan dua pihak yang sedang berselisih tersebut menyepakati :
1. Belanda
mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan meliputi
Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda sudah harus meninggalkan daerah de facto
paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949.
2. Republik
Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk negara Serikat dengan
nama RIS. Negara Indonesia Serikat akan terdiri dari RI, Kalimantan dan Timur
Besar. Pembentukan RIS akan diadakan sebelum tanggal 1 Januari 1949.
3. RIS
dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia- Belanda dengan Ratu Belanda sebagai
ketua.
Hasil
kesepakatan tersebut ditandatangani di Istana Rijswijk (sekarang Istana Negara)
pada 25 Maret 1947. Bisa disimpulkan dengan mudah bahwasanya Belanda telah
diuntungkan. Namun, intelijen Belanda menganggap bahwa sebenarnya daerah
Indonesia yang telah disepakati pun dapat direbut hanya dalam dua minggu
operasi militer. Masa-masa sesudah Linggarjati, Belanda disibukkan dengan
membenahi wilayah Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulai lain yang secara de
facto sudah berada ditangannya. Disamping itu juga memobilisasi angkatan perang
untuk persiapan menyerbu kota-kota penting di Jawa dan Sumatera, wilayah Indonesia.
Belanda beranggapan meski 80 % wilayah Indonesia dapat direbut melalui
perjanjian, tidak aka nada artinya di mata dunia apabila pemerintahan Indonesia
masih eksis dan menduduki Jawa. Itu akan terbukti ketika Belanda melancarkan
aksi polisionilnya.
Hasil
perundingan Linggarjati pun menerbitkan kekecewaan dari pihak oposisi yang
dengan programnya menuntut pengakuan kemerdekaan seratus persen dari Belanda.
PNI, Masyumi, Barisan Banteng dan Badan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI)
serta Tan Malaka dan kelompoknya yang telah menghirup udara segar pasca
penahanan. Mereka menyatukan diri dibawah organ bernama Benteng Republik
Indonesia.
Setelah
kesepakatan berlangsung di Istana Negara 24 Maret sebelumnya, Belanda masih
menunjukkan sikap ketidakpuasannya. Kemudian pada 27 Mei Belanda memberikan
tuntutan yang harus dipenuhi oleh Republik Indonesia, yaitu :
1. Kedaulatan
de jure Belanda sampai 1 Januari 1949
2. Selama
masa peralihan, Indonesia diperintah oleh pemerintah sementara (interim) dan
wakil Belanda yang berhak memutuskan segala persoalan
3. Pemerintah
sementara mengendalikan soal-soal ekspor-impor dan hubungan luar. Selain itu
juga dibentuk ketentaraan bersama untuk menjaga keamanan
Garis
penting dari tuntutan tersebut adalah bahwa setiap persoalan harus diputuskan
oleh wakil Belanda, maka Indonesia dihadapkan pada dua pilihan, menerima
ultimatum tersebut atau perang. Sjahrir semakin dipojokkan pada sudut yang
sulit karena jika dilihat dari perjuangannya sejak kemerdekaan, dia benci
dengan benturan-benturan yang bersifat fisik. Namun, apabila mengindahkan
kemauan Belanda berarti Indonesia tidak lagi berdaulat secara penuh. Tanggal 8
Juni Sjahrir menyetujui adanya pemerintah sementara yang dimakudkan Belanda dan
dua belas hari kemudian menerima staf khusus wakil Belanda. Keputusan Sjahrir
ini dilakukan setelah berunding dengan A.K. Gani (PNI), Natsir (Masyumi) dan
Abdulmadjid (PS) yang merupakan anggota kabinet.
Abdulmajid
lalu dikirim ke Yogyakarta untuk menjelaskan konsesi Sjahrir. Apa yang
dilakukan Abdulmajid ternyata tidak sesuai yang diprediksi. Amir yang juga
datang ke Yogyakarta, bersama Abdulmajid menemui sejumlah tokoh Sayap Kiri yang
anti terhadap konsesi Sjahrir, dua diantaranya adalah Tan Ling Djie dan Wikana.
Abdulmajid dan Amir malah menusuk Sjahrir dari belakang. Sjahrir yang gusar
memutuskan untuk menjelaskan sendiri keputusannya terkait penerimaan permintaan
Belanda pada 26 Juni di Yogyakarta.
Disana, sang perdana menteri diserang oleh Amir, Tan Ling Djie dan Abdulmajid.
Para oknum ini merumuskan poin-poin penolakan,
1. Tidak
menyetujui kompromi dengan Belanda karena dinilai tidak menjamin persatuan
antara pemerintah dan rakyat yang bersangkutan
2. Mempertahankan
nota balasan pemerintah Indonesia yang mengandung cukup bahan untuk
menyelesaikan soal Indonesia dengan damai
3. Mengajak
seluruh rakyat untuk membulatkan tekad dan bersiap menghadapi segala
kemungkinan
4. Menyesuaikan
dan mempertahankan pemerintahan agar persatuan pemerintah dan rakyat tetap
terjaga
5. Mengajak
rakyat dunia umumnya dan rakyat Belanda khususnya untuk menyelesaikan masalah
Indonesia dengan cara damai
Melihat
tangan-tangan kanannya sudah bergerak tidak sesuai kemauan, Sjahrir memutuskan
untuk menaruh jabatannya pada 27 Juni 1947. Kabinet yang digalang Sjahrir
kembali rubuh.
Kabinet Sjahrir III
4/
5
Oleh
Unknown