Thursday, December 10, 2015

Kebebasan Pers dalam Berpendapat di Era Reformasi

Perjalanan demokrasi di Indonesia masih dalam proses untuk mencapai suatu kematangan dalam berperilaku dan bersikap. Wajar saja apabila dalam pelaksaannya masih terdapat ketimpangan untuk kepentingan Politik, Ekonomi penguasa semata. Penguasa hanya mementingkan kekuasaan semata, tanpa memikirkan kebebasan rakyat untuk menentukan sikap dan perannya. Sejatinya demokrasi sudah muncul pada zaman pemerintahan presiden Soekarno yang dinamakan model (Demokrasi Terpimpin), lalu berikutnya di rezim pemerintahan Soeharto adalah model (Demokrasi Pancasila). Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan dari dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik rakyat.

Begitu juga kebebasan pers di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antar fungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan apabila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers tersebut.

Pasca tahun 1999 lalu, atau tepatnya pasca kelahiran UU no 40 tahun 1999 tentang pers, pers Indonesia menerima kado yang sangat didamba selama ini yaitu kebebasan berpendapat. Kado ini jelas begitu istimewa bagi masyarkat khususnya pelaku dunia pers seperti wartawan, karena siapa pun tahu selama 30 tahun terakhir ini praktis kebebasan berpendapat dan berpolitik, apalagi untuk pers, merupakan komoditi yang amat mahal di negeri ini. Pers Di Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan.[1] Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen-segmen. Keberanian pers dalam mengkritik dan memantau penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia. Pers yang bebas aktif dan independen merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik.[2] Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin. Untuk melihat bagaimana isi dan esensi yang terkandung dari media itu sendiri yaitu, ada tiga pendekatan untuk menjelaskan isi media:

1.    Pendekatan Politik Ekonomi (media lebih ditentukan oleh kekuatan2 ekonomi dan politik di luar pengelolaan media).
2.    Pendekatan Organisasi ; Pendekatan ini bertolak belakang dengan pendekatan ekonomi politik.(ini justru melihat pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita).
3.    Pendekatan Kulturalis ; pendekatan ini merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi politik dan pendekatan organisasi. (proses produksi berita disini dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media (rutinitas organisasi media) sekaligus juga faktor eksternal di luar diri media.

Pada Era reformasi ini pada hakikatnya dapat dijadikan momentum para wartawan media cetak atau pers untuk mengembangkan kebebasan pers yang sehat. Namun dalam praktik jurnalistik media, masih ada wartawan yang tidak melihat peluang masa reformasi sebagai kondisi yang kondusif. Jurnalisme, menurut Kovach dan Rosenstiel (2006: 4) adalah menyediakan sesuatu yang unik untuk sebuah budaya – informasi yang independent, dapat diandalkan, akurat, dan komprehensif, yang dibutuhkan anggota masyarakat untuk bebas. Disini konsepnya, sebuah jurnalisme yang diminta untuk menyediakan sesuatu yang berbeda dengan hal itu akan meruntuhkan budaya demokrasi. Hal inilah yang terjadi ketika pemerintahan mengontrol berita, sebagaimana halnya Nazi Jerman atau Uni Soviet. Kemudian melihat lagi di tempat seperti Singapura, di mana berita dikontrol untuk menumbuhkan kapitalisme namun mencegah partisipasi dalam kehidupan masyarakat. Sesuatu yang serupa dengan hal ini mungkin punya akar di Amerika Serikat dalam bentuk komersial yang lebih murni, seperti saat media pemberitaan yang dimiliki korporasi besar dipakai untuk mempromosikan produk-produk perusahaan konglomerat yang menjadi induknya, untuk mendukung lobi yang tidak kentara ataupun persaingan usaha, atau yang ditemalikan dengan iklan untuk mendongkrak keuntungan. Masalahnya bukan hilangnya jurnalisme semata. Taruhannya, apakah anggota masyarakat memiliki akses terhadap informasi independen yang memungkinkan mengambil bagian dalam mengatur diri sendiri. Dari fakta itu, dalam realitasnya wartawan mengkonstruksikan informasi menjadi berita memandang dari sudut kepentingannya yang juga dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan di luar wartawannya. Kebebasan pers dimaknai dengan berbagai kepentingan media.

Sementara itu, kondisi kebebasan pers berperan penting dalam membangun proses transisi menuju demokrasi di Indonesia. Sejak menikmati kebebasan pada 1998, komunitas pers terus berupaya meningkatkan kinerja dan profesionalisme-nya (Dewan Pers, 2006: 1). Dengan praktik kebebasan pers, justru membuka peluang bagi kalangan pebisnis mengeksploitasi pornografi, kekerasan dan mistik. Pebisnis melahirkan media baru cenderung berorientasi pada keuntungan finansial dan mengabaikan fungsi ideal pers sebagai sarana komunikasi yang sehat. Dalam kebutuhan ini, peran wartawan yang memahami dan mempraktikkan kebebasan pers yang kreatif dan dalam koridor hukum dan peraturan yang berlaku, akan dapat memberi warna yang hakiki pada media pers. Praktik kebebasan pers pada Era Reformasi dalam kenyataannya masih banyak menghadapi kendala. Euforia kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi, ditanggapi dengan banyaknya diterbitkan suratkabar atau media. Fenomena euphoria kebebasan berdampak pada kualitas pelaksanaan kebebasan pers.
Keterbelengguan ini seperti yang dinyatakan oleh Veven Wardhana (wartawan kompas) paling tidak bermuara pada dua permasalahan pokok. Pertama, karena struktur politik yang amat otoriter terhadap distribusi informasi. Kedua, terlalu besarnya pengaruh pemilik modal besar dalam industri pers (barrier to entry) sehingga struktur oligopoly secara tidak langsung terbentuk. Praktis, selama itu pula pers belum mampu berkontribusi banyak dalam proses demokratisasi.Maka dari itu pula, struktur otoriter yang merupakan warisan penjajah Belanda ini harus disingkirkan karena tak lagi relevan di era demokrasi seperti ini.

Bagi banyak pihak momentum ini merupakan secercah cahaya cerah bagi dunia pers Indonesia, momentum yang diharapkan mampu mendorong pers lebih bebas dan independen dalam menjalankan berbagai fungsinya. Tentunya sembari berharap pers akan lebih mampu memposisikan dirinya sebagai salah satu pilar demokrasi, melalui fungsi kontrol sosialnya.

Diskursus mengenai bagaimana pers Indonesia berkembang pesat pasca 1999 tentu tidak akan jauh dari realita lapangan akan ‘ledakan’ kuantitas perusahaan pers. Hal ini tak dapat dipungkiri lagi merupakan imbas dari kebebasan berpolitik yang diberikan oleh pemerintah. Dimana kebebasan berpolitik, termasuk pula kebebasan pers, merupakan modal ideal dalam rangka tumbuh kembangnya budaya demokrasi di negeri ini.

Namun, menurut Heru Sutadi dengan melihat realita sosial di lapangan bahwa dari empat fungsi pers yang ada, yaitu fungsi informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial dan ekonomi, hanya fungsi kontrol sosial yang berkembang secara proporsional, sedangkan yang lainnya amat timpang atau bahkan tidak berkembang sama sekali. Maka, istilah kebebasan pers yang kebablasan, menurut saya, dapat dipertanggungjawabkan adanya.

Fenomena kebablasan pers saat ini setidaknya dapat dipandang dari beberapa kasus seperti pornografi dan pemberitaan yang provokatif yang dihadirkan media. Kasus pornografi mungkin tak dapat kita lepaskan dari terbitnya Majalah Playboy medio 2006 lalu, penerbitan yang juga disambut dengan begitu banyaknya pro-kotra intern masyarakat. Meski, Playboy akhirnya terbit jauh lebih soft ketimbang versi induknya di Amerika. Tetap saja,image Playboy sebagai media ‘porno’ tidak dapat ditutupi, itulah yang menjadi permasalahan. Selain itu, kasus pornografi pun menjerat sendiri Presiden Gus Dur, yang notabene mempelopori kebebasan pers. Lihat saja, pemberitaan foto rekayasa Gus Dur bersama Aryanti Sitepu, yang mengaku sebagai pacar gelap orang nomor satu di Indonesia itu, di atas ranjang disebarkan kepada khalayak. Kesemua hal tersebut sah-sah saja muncul di depan publik, tentu dengan berdalih kebebasan pers. Sedang, pemberitaan provokatif begitu mudahnya muncul seperti: Bush Babi Buta, Amerika Setan! atau berbagai gaya bahasa sarkastis yang mengibaratkan anggota DPR bagaikan ikan lele yang berebut kotoran, seringkali masih digunakan. Padahal sangat jelas, pers tidak boleh menyiarkan informasi atau gambar yang dapat dinilai menyinggung rasa kesopanan individu atau kelompok tertentu.

Kedua kasus ini hanyalah segelintir kasus bagaimana pers Indonesia tak jarang telah melanggar dan melangkahi UU No. 40 Tahun 1999. Seharusnya, pasca reformasi yang ditandai pula lewat iklim kebebasan dan independensi pers, pers mampu menjadi salah satu pilar demokrasi bagi masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan tiga elemen dasar pers, yakni integritas intelektual, etik, moral dan religius. Karena ketiga aspek inilah yang diyakini mampu menjadi kontrol internal bagi pers itu sendiri.


Apabila fungsi internal masih belum cukup kuat untuk mengontrol pers menjadi institusi yang melahirkan produk berkualitas. Maka, fungsi eksternal harus diperkuat, salah satu caranya adalah dengan mendirikan ‘lembaga media watch’ yang benar-benar independen. Lembaga yang diharapkan dapat menjadi lembaga yang dapat mengontrol kebebasan pers, bukan untuk ‘mengebiri’, melainkan mengontrol pertanggungjawaban pers kepada masyarakat. Diharapkan ‘lembaga media watch’ ini dapat menyempurnakan pengawasan eksternal pers yang sebelumnya telah ada di tangan dewan pers, KPI, masyarakat dan organisasi pers.

Setelah halangan struktural kebebasan pers berhasil disingkirkan, maka kebebasan pers itu semata-mata berhadapan dengan batas toleransi masyarakat. Opini publik lah yang akan membatasi, sejauh mana pers boleh bebas. Tidak bisa dielakkan bakal ada benturan kepentingan dan memunculkan ketidakpuasan satu pihak Ketika kebebasan berpendapat seseorang merugikan pihak lain, maka satu-satunya penyelesaian adalah melalui pengadilan—yang diharapkan bisa mengeluarkan keputusan yang bijaksana—setelah melalui perdebatan yang luas. Sayangnya, ditengah kegandrungan terhadap kebebasan yang menggebu saat ini, hukum belum siap mengantisipasinya--baik hukum untuk menggebuk pelaku kekerasan maupun menindak media yang kurang ajar. Akibatnya tirani masih bias, dan pers menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan kejengkelan akan kebebasan. Situasi itu merupakan produk langsung dari hukum yang vakum. Bukan saja aparatnya sedang kehilangan wibawa, melainkan perangkat aturannya juga belum tersedia secara memadai. Oleh karena itu, pers Indonesia dituntut untuk bisa mengatur atau mengontrol sendiri (self regulated), sesama sejawat pers saling mengingatkan. Atau setidaknya mematuhi ketentuan yang diatur dalam kode etik pers, dan menempatkan lembaga semacam Dewan Pers menjadi “polisi” yang diikuti teguran atau peringatannya. Jika tidak, apa boleh buat, kontrol masyarakat, seperti pendudukan kantor media, akibat tidak puas atas pemberitaan pers bakal akan terus terjadi.

Kebebasan pers adalah sesuatu hal yang didamba semua pihak. Namun, mau tak mau kebebasan tersebut tetap harus berjalan pada koridor yang bertanggungjawab. Meski tak bertanggungjawab kepada negara, pers memiliki tanggungjawab yang lebih besar kepada publik. Publik harus dilayani sebaik mungkin secara seimbang dan proporsional berdasarkan empat fungsi pers yang telah disebutkan di atas,






Daftar Pustaka
Abar, Akhmad Zaini. 1966-1974 Kisah Pers Indonesia. Yogyakarta: Lkis. 1995
Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia. Vol. V/ Oktober 2000.
Sutadi, Heru. Kebebasan Pers = Kebablasan Pers. Koran Sinar Harapan, 9 Februari 2002.
Wardhana, Veven Sp. Poligami, Akbar Tandjung, dan Kebebasan Media. Koran Tempo, 28 Januari 2008.
http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=158502.

http://www.antara.co.id/arc/2008/2/19/kekuasaan-dan-kebebasan-media-massa-harus-diawasi
Kebebasan Pers dalam Berpendapat di Era Reformasi
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.