Perjalanan
demokrasi di Indonesia masih dalam proses untuk mencapai suatu kematangan dalam berperilaku dan bersikap.
Wajar saja apabila dalam pelaksaannya masih terdapat ketimpangan untuk kepentingan
Politik, Ekonomi penguasa semata. Penguasa hanya mementingkan kekuasaan semata,
tanpa memikirkan kebebasan rakyat untuk menentukan sikap dan perannya.
Sejatinya demokrasi sudah muncul pada zaman pemerintahan presiden Soekarno yang
dinamakan model (Demokrasi Terpimpin), lalu berikutnya di rezim pemerintahan
Soeharto adalah model (Demokrasi Pancasila). Namun, alih-alih mempunyai suatu
pemerintahan yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan dari dua rezim
awal pemerintahan Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang
otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik rakyat.
Begitu
juga kebebasan pers di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan
masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan
pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh
bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto,
kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo,
ketimbang guna membangun keseimbangan antar fungsi eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan apabila
kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya)
pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk
menentukan corak dan arah isi pers tersebut.
Pasca
tahun 1999 lalu, atau tepatnya pasca kelahiran UU no 40 tahun 1999 tentang
pers, pers Indonesia menerima kado yang sangat didamba selama ini yaitu
kebebasan berpendapat. Kado ini jelas begitu istimewa bagi masyarkat khususnya
pelaku dunia pers seperti wartawan, karena siapa pun tahu selama 30 tahun
terakhir ini praktis kebebasan berpendapat dan berpolitik, apalagi untuk pers,
merupakan komoditi yang amat mahal di negeri ini. Pers Di Indonesia mengalami
perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan.[1] Fenomena itu
ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai
kemasan dan segmen-segmen. Keberanian pers dalam mengkritik dan memantau
penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia. Pers yang bebas aktif dan
independen merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat
yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang
baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi
sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan
sampai muncul ada tirani media terhadap publik.[2] Sampai pada konteks ini,
publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar
menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif
mungkin. Untuk melihat bagaimana isi dan esensi yang terkandung dari media itu
sendiri yaitu, ada tiga pendekatan untuk menjelaskan isi media:
1. Pendekatan
Politik Ekonomi (media lebih ditentukan oleh kekuatan2 ekonomi dan politik di
luar pengelolaan media).
2. Pendekatan
Organisasi ; Pendekatan ini bertolak belakang dengan pendekatan ekonomi
politik.(ini justru melihat pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam
proses pembentukan dan produksi berita).
3. Pendekatan
Kulturalis ; pendekatan ini merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi
politik dan pendekatan organisasi. (proses produksi berita disini dilihat
sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media (rutinitas
organisasi media) sekaligus juga faktor eksternal di luar diri media.
Pada
Era reformasi ini pada hakikatnya dapat dijadikan momentum para wartawan media
cetak atau pers untuk mengembangkan kebebasan pers yang sehat. Namun dalam
praktik jurnalistik media, masih ada wartawan yang tidak melihat peluang masa
reformasi sebagai kondisi yang kondusif. Jurnalisme, menurut Kovach dan
Rosenstiel (2006: 4) adalah menyediakan sesuatu yang unik untuk sebuah budaya –
informasi yang independent, dapat diandalkan, akurat, dan komprehensif, yang
dibutuhkan anggota masyarakat untuk bebas. Disini konsepnya, sebuah jurnalisme
yang diminta untuk menyediakan sesuatu yang berbeda dengan hal itu akan
meruntuhkan budaya demokrasi. Hal inilah yang terjadi ketika pemerintahan
mengontrol berita, sebagaimana halnya Nazi Jerman atau Uni Soviet. Kemudian
melihat lagi di tempat seperti Singapura, di mana berita dikontrol untuk
menumbuhkan kapitalisme namun mencegah partisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Sesuatu yang serupa dengan hal ini mungkin punya akar di Amerika Serikat dalam
bentuk komersial yang lebih murni, seperti saat media pemberitaan yang dimiliki
korporasi besar dipakai untuk mempromosikan produk-produk perusahaan
konglomerat yang menjadi induknya, untuk mendukung lobi yang tidak kentara
ataupun persaingan usaha, atau yang ditemalikan dengan iklan untuk mendongkrak
keuntungan. Masalahnya bukan hilangnya jurnalisme semata. Taruhannya, apakah
anggota masyarakat memiliki akses terhadap informasi independen yang
memungkinkan mengambil bagian dalam mengatur diri sendiri. Dari fakta itu,
dalam realitasnya wartawan mengkonstruksikan informasi menjadi berita memandang
dari sudut kepentingannya yang juga dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan di
luar wartawannya. Kebebasan pers dimaknai dengan berbagai kepentingan media.
Sementara
itu, kondisi kebebasan pers berperan penting dalam membangun proses transisi
menuju demokrasi di Indonesia. Sejak menikmati kebebasan pada 1998, komunitas
pers terus berupaya meningkatkan kinerja dan profesionalisme-nya (Dewan Pers,
2006: 1). Dengan praktik kebebasan pers, justru membuka peluang bagi kalangan
pebisnis mengeksploitasi pornografi, kekerasan dan mistik. Pebisnis melahirkan
media baru cenderung berorientasi pada keuntungan finansial dan mengabaikan
fungsi ideal pers sebagai sarana komunikasi yang sehat. Dalam kebutuhan ini,
peran wartawan yang memahami dan mempraktikkan kebebasan pers yang kreatif dan
dalam koridor hukum dan peraturan yang berlaku, akan dapat memberi warna yang
hakiki pada media pers. Praktik kebebasan pers pada Era Reformasi dalam
kenyataannya masih banyak menghadapi kendala. Euforia kebebasan berpendapat dan
kebebasan berorganisasi, ditanggapi dengan banyaknya diterbitkan suratkabar
atau media. Fenomena euphoria kebebasan berdampak pada kualitas pelaksanaan
kebebasan pers.
Keterbelengguan
ini seperti yang dinyatakan oleh Veven Wardhana (wartawan kompas) paling tidak
bermuara pada dua permasalahan pokok. Pertama, karena struktur politik yang
amat otoriter terhadap distribusi informasi. Kedua, terlalu besarnya pengaruh
pemilik modal besar dalam industri pers (barrier to entry) sehingga struktur
oligopoly secara tidak langsung terbentuk. Praktis, selama itu pula pers belum
mampu berkontribusi banyak dalam proses demokratisasi.Maka dari itu pula,
struktur otoriter yang merupakan warisan penjajah Belanda ini harus disingkirkan
karena tak lagi relevan di era demokrasi seperti ini.
Bagi
banyak pihak momentum ini merupakan secercah cahaya cerah bagi dunia pers
Indonesia, momentum yang diharapkan mampu mendorong pers lebih bebas dan
independen dalam menjalankan berbagai fungsinya. Tentunya sembari berharap pers
akan lebih mampu memposisikan dirinya sebagai salah satu pilar demokrasi,
melalui fungsi kontrol sosialnya.
Diskursus
mengenai bagaimana pers Indonesia berkembang pesat pasca 1999 tentu tidak akan
jauh dari realita lapangan akan ‘ledakan’ kuantitas perusahaan pers. Hal ini
tak dapat dipungkiri lagi merupakan imbas dari kebebasan berpolitik yang
diberikan oleh pemerintah. Dimana kebebasan berpolitik, termasuk pula kebebasan
pers, merupakan modal ideal dalam rangka tumbuh kembangnya budaya demokrasi di
negeri ini.
Namun,
menurut Heru Sutadi dengan melihat realita sosial di lapangan bahwa dari empat
fungsi pers yang ada, yaitu fungsi informasi, pendidikan, hiburan, kontrol
sosial dan ekonomi, hanya fungsi kontrol sosial yang berkembang secara
proporsional, sedangkan yang lainnya amat timpang atau bahkan tidak berkembang
sama sekali. Maka, istilah kebebasan pers yang kebablasan, menurut saya, dapat dipertanggungjawabkan
adanya.
Fenomena
kebablasan pers saat ini setidaknya dapat dipandang dari beberapa kasus seperti
pornografi dan pemberitaan yang provokatif yang dihadirkan media. Kasus
pornografi mungkin tak dapat kita lepaskan dari terbitnya Majalah Playboy medio
2006 lalu, penerbitan yang juga disambut dengan begitu banyaknya pro-kotra
intern masyarakat. Meski, Playboy akhirnya terbit jauh lebih soft ketimbang
versi induknya di Amerika. Tetap saja,image Playboy sebagai media ‘porno’ tidak
dapat ditutupi, itulah yang menjadi permasalahan. Selain itu, kasus pornografi
pun menjerat sendiri Presiden Gus Dur, yang notabene mempelopori kebebasan
pers. Lihat saja, pemberitaan foto rekayasa Gus Dur bersama Aryanti Sitepu,
yang mengaku sebagai pacar gelap orang nomor satu di Indonesia itu, di atas
ranjang disebarkan kepada khalayak. Kesemua hal tersebut sah-sah saja muncul di
depan publik, tentu dengan berdalih kebebasan pers. Sedang, pemberitaan
provokatif begitu mudahnya muncul seperti: Bush Babi Buta, Amerika Setan! atau
berbagai gaya bahasa sarkastis yang mengibaratkan anggota DPR bagaikan ikan
lele yang berebut kotoran, seringkali masih digunakan. Padahal sangat jelas,
pers tidak boleh menyiarkan informasi atau gambar yang dapat dinilai
menyinggung rasa kesopanan individu atau kelompok tertentu.
Kedua
kasus ini hanyalah segelintir kasus bagaimana pers Indonesia tak jarang telah
melanggar dan melangkahi UU No. 40 Tahun 1999. Seharusnya, pasca reformasi yang
ditandai pula lewat iklim kebebasan dan independensi pers, pers mampu menjadi
salah satu pilar demokrasi bagi masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan
menerapkan tiga elemen dasar pers, yakni integritas intelektual, etik, moral
dan religius. Karena ketiga aspek inilah yang diyakini mampu menjadi kontrol
internal bagi pers itu sendiri.
Apabila
fungsi internal masih belum cukup kuat untuk mengontrol pers menjadi institusi
yang melahirkan produk berkualitas. Maka, fungsi eksternal harus diperkuat,
salah satu caranya adalah dengan mendirikan ‘lembaga media watch’ yang
benar-benar independen. Lembaga yang diharapkan dapat menjadi lembaga yang
dapat mengontrol kebebasan pers, bukan untuk ‘mengebiri’, melainkan mengontrol
pertanggungjawaban pers kepada masyarakat. Diharapkan ‘lembaga media watch’ ini
dapat menyempurnakan pengawasan eksternal pers yang sebelumnya telah ada di tangan
dewan pers, KPI, masyarakat dan organisasi pers.
Setelah
halangan struktural kebebasan pers berhasil disingkirkan, maka kebebasan pers
itu semata-mata berhadapan dengan batas toleransi masyarakat. Opini publik lah
yang akan membatasi, sejauh mana pers boleh bebas. Tidak bisa dielakkan bakal
ada benturan kepentingan dan memunculkan ketidakpuasan satu pihak Ketika
kebebasan berpendapat seseorang merugikan pihak lain, maka satu-satunya
penyelesaian adalah melalui pengadilan—yang diharapkan bisa mengeluarkan
keputusan yang bijaksana—setelah melalui perdebatan yang luas. Sayangnya,
ditengah kegandrungan terhadap kebebasan yang menggebu saat ini, hukum belum
siap mengantisipasinya--baik hukum untuk menggebuk pelaku kekerasan maupun
menindak media yang kurang ajar. Akibatnya tirani masih bias, dan pers menjadi
sasaran empuk untuk melampiaskan kejengkelan akan kebebasan. Situasi itu
merupakan produk langsung dari hukum yang vakum. Bukan saja aparatnya sedang
kehilangan wibawa, melainkan perangkat aturannya juga belum tersedia secara
memadai. Oleh karena itu, pers Indonesia dituntut untuk bisa mengatur atau
mengontrol sendiri (self regulated), sesama sejawat pers saling mengingatkan.
Atau setidaknya mematuhi ketentuan yang diatur dalam kode etik pers, dan menempatkan
lembaga semacam Dewan Pers menjadi “polisi” yang diikuti teguran atau
peringatannya. Jika tidak, apa boleh buat, kontrol masyarakat, seperti
pendudukan kantor media, akibat tidak puas atas pemberitaan pers bakal akan
terus terjadi.
Kebebasan
pers adalah sesuatu hal yang didamba semua pihak. Namun, mau tak mau kebebasan
tersebut tetap harus berjalan pada koridor yang bertanggungjawab. Meski tak
bertanggungjawab kepada negara, pers memiliki tanggungjawab yang lebih besar
kepada publik. Publik harus dilayani sebaik mungkin secara seimbang dan
proporsional berdasarkan empat fungsi pers yang telah disebutkan di atas,
Daftar Pustaka
Abar,
Akhmad Zaini. 1966-1974 Kisah Pers
Indonesia. Yogyakarta: Lkis. 1995
Jurnal
Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia. Vol. V/ Oktober 2000.
Sutadi,
Heru. Kebebasan Pers = Kebablasan Pers.
Koran Sinar Harapan, 9 Februari 2002.
Wardhana,
Veven Sp. Poligami, Akbar Tandjung, dan
Kebebasan Media. Koran Tempo, 28 Januari 2008.
http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=158502.
http://www.antara.co.id/arc/2008/2/19/kekuasaan-dan-kebebasan-media-massa-harus-diawasi
Kebebasan Pers dalam Berpendapat di Era Reformasi
4/
5
Oleh
Unknown