Monday, December 28, 2015

Kebijakan Politik Etis Masa Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda

Mr. Conrad Theodore van Deventer. Seorang politikus dan ahli hukum Belanda. Beliau memulai karier sebagai ahli hukum ketika bertolak ke Indonesia. Selama di Indonesia, beliau tergugah oleh nasib bangsa Indonesia yang tanah airnya dijadikan daerah jajahan dan eksploitasi demi kemakmuran negeri Belanda. Realitas kehidupan yang beliau saksikan di Indonesia mendorongnya menulis sebuah artikel dalam majalah De Gids yang berjudul Een Ereschuld (Hutang Budi/Hutang Kehormatan).
Dalam artikelnya beliau meminta kepada negaranya (Belanda) untuk mengembalikan hak kaum bumiputera (di Hindia Belanda) yang telah memberikan kemakmuran bagi negeri Belanda. Oleh karena itu, beliau mengusulkan tiga hal pokok kepada pemerintah Belanda yang dikenal dengan politik etis atau politik balas budi. Tulisannya itu mendesak parlemen Belanda dan menggugah Ratu Belanda untuk mengeluarkan maklumat etis.

Menanggapi situasi yang berkembang pada awal abad ke-20, Ratu Belanda dalam pidato tahun 1901 menyatakan bahwa Negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan social dan otonomi dari pendudukHindia. Oleh karena itu, Belanda melakukan politik balas budi (politik etis) kepada rakyat Indonesia, yang dimulai dengan memberikan bantuan sebesar 40 juta gulden.


POLITIK ETIS PEMERINTAH KOLONIAL HINDIA-BELANDA
Latar Belakang Politik Etis
Munculnya politik etis dilatarbelakangi oleh hal-hal berikut ini.
  1. Pelaksanaan system tanam paksa yang menguntungkan Belanda, tetapi menimbulkan penderitaan rakyat Indonesia telah menggugah hati nurani sebagian orang Belanda.
  2. Eksploitasi terhadap tanah dan penduduk Indonesia dengan system ekonomi liberal tidak mengubah nasib buruk rakyat pribumi. Sementara itu, kaum kapitalis dari Belanda, Inggris, Amerika, Belgia, Cina, dan Jepang memperoleh keuntungan yang sangat besar.
  3. Upaya Belanda untuk memperkokoh pertahanan negeri jajahan dilakukan dengan cara penekanan dan penindasan terhadap rakyat.Rakyat kehilangan hak miliknya yang utama yaitu tanah. Bahkan, industry rakyat pun terdesak. Karena penderitaan itu, timbullah golongan yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Mereka termasuk dalam golongan buruh yang bekerja pada perkebunan, pabrik, dan tambang.
  4. Adanya kritik dari kaum intelektual Belanda sendiri (Kaum Etis) terhadap praktik liberal colonial, seperti van Kolvan Deventerde WaalBaron van Hoevell, dan Van den Berg.
Van Kol, sebagai juru bicara golongan sosialis, melancarkan kritik terhadap keadaan yang serba merosot di Indonesia karena terus-terusan diterapkan politikdrainage (penghisapan) kekayaan oleh pemerintah Belanda dan tidak dibelanjakan di Indonesia.
Van Deventer, pada tahun 1899 dalam artikelnya pada majalah De Gidsberjudul Een Eereschuld (hutang kehormatan) menuliskan bahwa jutaan gulden yang diperoleh dari Indonesia sebagai Hutang Kehormatan. Pembayaran hutang tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, yang dikenal dengan Trilogi Van Deventer, yaitu.
a. Irigrasi (pengairan),
b. Emigrasi (perpindahan penduduk), dan
c. Edukasi (pendidikan).
De Waal memperhitungkan bahwa sejak VOC hingga zaman ekonomi liberal (1884), rakyat Indonesia berhak mendapatkan 528 juta gulden dari Belanda. Bahkan apabila dihitung dengan bunganya maka menjadi 1585 juta gulden.
Baron van Hoevell, seorang pendeta Protestan yang secara berapi-api meminta perbaikan nasib rakyat Indonesia dan siding parlemen.

Pelaksanaan Politik Etis
Sejak tahun 1901, pemerintah colonial mulai memerhatikan aspirasi rakyat Indonesia yang menginginkan emansipasi dan kemerdekaan. Kemudian dicari bentuk pemerintahan colonial yang merupakan perpaduan antara Barat dan Timur. Oleh karena itu, politik etis juga disebut dengan politik asosiasi.
Perubahan berhasil dicapai dengan politik etis, antara lain sebagai berikut.
  1. Desentralisasi pemerintahan, yang diwujudkan dengan diumumkannya Undang-Undang Desentralisasi (1903) tentang pembentukan dewan-dewan local sebagai lembaga hukum. Dewan local mempunyai wewenang membuat peraturan mengenai pajak dan pembangunan sarana-prasarana umum. Kemudian, pembentukan Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1916 dan diresmikan pada tahun 1919.
  2. Pembangunan irigasi untuk menunjang kebutuhan pertanian. Pada tahun 1914, pemerintah colonial telah membangun irigasi seluas 93.000 bau.
  3. Emigrasi (transmigrasi) perpindahan penduduk, terutama bagi penduduk di Pulau Jawa yang semakin padat.
  4. Edukasi, dengan didirikannya bermacam sekolah bagi semua golongan masyarakat, seperti sekolah kelas I (untuk anak-anak pegawai negeri, orang berkedudukan, dan orang berharta); sekolah kelas II (untuk anak-anak pribumi pada umumnya); sekolah pamong praja (OSVIA); dan sekolah dokter Jawa (STOVIA).
  5. Perbaikan kesehatan dan penanggulangan penyakit. Pada tahun 1920, dilaporkan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia telah terbebas dari epidemic cacar dan sesudah 1928 terbebas pula dari wabah kolera.

Kegagalan Politik Etis
Reaksi terhadap pelaksanaan politik etis mulai muncul pada tahun 1914. Masyarakat mulai bergolak dan banyak melancarkan kritik terhadap politik etis yang dianggap telah gagal. Kegagalan tersebut Nampak dalam kenyataan-kenyataan sebagai berikut.

  1. Sejak pelaksanaan system politik ekonomi liberal Belanda mendapatkan keuntungan yang sangat besar sekali, sedangkan tingkat kesejahteraan rakyat pribumi masih tetap rendah.
  2. Hanya sebagian kecil kaum pribumi yang memperoleh keuntungan dan kedudukan yang baik dalam masyarakat colonial, yaitu golongan pegawai negeri.
  3. Pegawai negeri dari golongan pribumi hanya digunakan sebagai alat saja sehingga dominasi bangsa Belanda tetap saja sangat besar.


Kebijakan Politik Etis Masa Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.