Mr. Conrad Theodore van Deventer. Seorang politikus
dan ahli hukum Belanda. Beliau memulai karier sebagai ahli hukum ketika
bertolak ke Indonesia. Selama di Indonesia, beliau tergugah oleh nasib bangsa
Indonesia yang tanah airnya dijadikan daerah jajahan dan eksploitasi demi
kemakmuran negeri Belanda. Realitas kehidupan yang beliau saksikan di Indonesia
mendorongnya menulis sebuah artikel dalam majalah De Gids yang berjudul
Een Ereschuld (Hutang Budi/Hutang Kehormatan).
Dalam artikelnya beliau meminta kepada negaranya
(Belanda) untuk mengembalikan hak kaum bumiputera (di Hindia Belanda) yang
telah memberikan kemakmuran bagi negeri Belanda. Oleh karena itu, beliau
mengusulkan tiga hal pokok kepada pemerintah Belanda yang dikenal dengan
politik etis atau politik balas budi. Tulisannya itu mendesak parlemen Belanda
dan menggugah Ratu Belanda untuk mengeluarkan maklumat etis.
Menanggapi situasi yang berkembang pada awal abad
ke-20, Ratu Belanda dalam pidato tahun 1901 menyatakan bahwa Negeri
Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta
perkembangan social dan otonomi dari pendudukHindia. Oleh karena itu, Belanda
melakukan politik balas budi (politik etis) kepada rakyat Indonesia, yang dimulai
dengan memberikan bantuan sebesar 40 juta gulden.
POLITIK
ETIS PEMERINTAH KOLONIAL HINDIA-BELANDA
Latar
Belakang Politik Etis
Munculnya
politik etis dilatarbelakangi oleh hal-hal berikut ini.
- Pelaksanaan
system tanam paksa yang menguntungkan Belanda, tetapi menimbulkan
penderitaan rakyat Indonesia telah menggugah hati nurani sebagian orang
Belanda.
- Eksploitasi
terhadap tanah dan penduduk Indonesia dengan system ekonomi liberal tidak
mengubah nasib buruk rakyat pribumi. Sementara itu, kaum kapitalis dari
Belanda, Inggris, Amerika, Belgia, Cina, dan Jepang memperoleh keuntungan
yang sangat besar.
- Upaya
Belanda untuk memperkokoh pertahanan negeri jajahan dilakukan dengan cara
penekanan dan penindasan terhadap rakyat.Rakyat kehilangan hak miliknya
yang utama yaitu tanah. Bahkan, industry rakyat pun terdesak. Karena
penderitaan itu, timbullah golongan yang sama sekali tidak mempunyai
tanah. Mereka termasuk dalam golongan buruh yang bekerja pada perkebunan,
pabrik, dan tambang.
- Adanya kritik dari kaum intelektual
Belanda sendiri (Kaum Etis) terhadap praktik liberal colonial,
seperti van Kol, van Deventer, de Waal, Baron
van Hoevell, dan Van den Berg.
Van
Kol, sebagai juru bicara golongan sosialis, melancarkan kritik terhadap keadaan
yang serba merosot di Indonesia karena terus-terusan diterapkan politikdrainage (penghisapan)
kekayaan oleh pemerintah Belanda dan tidak dibelanjakan di Indonesia.
Van
Deventer, pada tahun 1899 dalam artikelnya pada majalah De Gidsberjudul Een
Eereschuld (hutang kehormatan) menuliskan bahwa jutaan gulden yang
diperoleh dari Indonesia sebagai Hutang Kehormatan. Pembayaran
hutang tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, yang dikenal dengan Trilogi
Van Deventer, yaitu.
a. Irigrasi
(pengairan),
b. Emigrasi
(perpindahan penduduk), dan
c. Edukasi
(pendidikan).
De
Waal memperhitungkan bahwa sejak VOC hingga zaman ekonomi liberal (1884),
rakyat Indonesia berhak mendapatkan 528 juta gulden dari Belanda. Bahkan
apabila dihitung dengan bunganya maka menjadi 1585 juta gulden.
Baron
van Hoevell, seorang pendeta Protestan yang secara berapi-api meminta perbaikan
nasib rakyat Indonesia dan siding parlemen.
Pelaksanaan
Politik Etis
Sejak
tahun 1901, pemerintah colonial mulai memerhatikan aspirasi rakyat Indonesia
yang menginginkan emansipasi dan kemerdekaan. Kemudian dicari bentuk
pemerintahan colonial yang merupakan perpaduan antara Barat dan Timur. Oleh
karena itu, politik etis juga disebut dengan politik asosiasi.
Perubahan
berhasil dicapai dengan politik etis, antara lain sebagai berikut.
- Desentralisasi
pemerintahan, yang diwujudkan dengan diumumkannya Undang-Undang
Desentralisasi (1903) tentang pembentukan dewan-dewan local sebagai
lembaga hukum. Dewan local mempunyai wewenang membuat peraturan mengenai
pajak dan pembangunan sarana-prasarana umum. Kemudian, pembentukan Dewan
Rakyat (Volksraad) pada tahun 1916 dan diresmikan pada tahun 1919.
- Pembangunan
irigasi untuk menunjang kebutuhan pertanian. Pada tahun 1914, pemerintah
colonial telah membangun irigasi seluas 93.000 bau.
- Emigrasi
(transmigrasi) perpindahan penduduk, terutama bagi penduduk di Pulau Jawa
yang semakin padat.
- Edukasi,
dengan didirikannya bermacam sekolah bagi semua golongan masyarakat,
seperti sekolah kelas I (untuk anak-anak pegawai negeri, orang
berkedudukan, dan orang berharta); sekolah kelas II (untuk anak-anak
pribumi pada umumnya); sekolah pamong praja (OSVIA); dan sekolah
dokter Jawa (STOVIA).
- Perbaikan
kesehatan dan penanggulangan penyakit. Pada tahun 1920, dilaporkan bahwa
sebagian besar wilayah Indonesia telah terbebas dari epidemic cacar dan
sesudah 1928 terbebas pula dari wabah kolera.
Kegagalan Politik Etis
Reaksi
terhadap pelaksanaan politik etis mulai muncul pada tahun 1914. Masyarakat
mulai bergolak dan banyak melancarkan kritik terhadap politik etis yang
dianggap telah gagal. Kegagalan tersebut Nampak dalam kenyataan-kenyataan
sebagai berikut.
- Sejak pelaksanaan system politik ekonomi
liberal Belanda mendapatkan keuntungan yang sangat besar sekali, sedangkan
tingkat kesejahteraan rakyat pribumi masih tetap rendah.
- Hanya sebagian kecil kaum pribumi yang
memperoleh keuntungan dan kedudukan yang baik dalam masyarakat colonial,
yaitu golongan pegawai negeri.
- Pegawai negeri dari golongan pribumi
hanya digunakan sebagai alat saja sehingga dominasi bangsa Belanda tetap
saja sangat besar.
Kebijakan Politik Etis Masa Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda
4/
5
Oleh
Unknown