Monday, December 21, 2015

Hari Ibu, 22 Desember, Mari Kita Reefleksikan Kembali Maknanya

Pada Kesempatan ini Referensiana akan mencoba mengajak para pembacanya memahami lebih dalam tentang makana peringatan Hari Ibu yang kelihatanya telah “terdegaradasi” maknanya dari semangat tujuan awal diadakanya peringatan hari Ibu sendiri. Untuk itu agar lebih jelas lagi silahkan Sobat Referensiana membaca artikel dibawah ini.

Setiap tanggal 22 Desember, jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter dan lain-lain akan dipenuhi pesan-pesan yang menyanjung peran seorang ibu: melahirkan, memelihara anak, membuat masakan enak, dan lain-lain. Hampir semua puja-puji itu tujuanya adalah membangga-banggakan peran seorang ibu.

Disinilah terjadi salah kaprah mengenai pemaknaan yang dipaham oleh bangsa ini terhadap Peringatan Hari Ibu sebenarnya karena makna peringatan hari ibu adalah tentang perjuangan persamaan hak dalam berbagai bidang antara perempuan dengan laki-laki dengan tidak meninggalkan kodratnya .Untuk lebih memahami makna peringatan hari Ibu alangkah baiknya, kita melakukan kilas balik terhadap sejarah lahirnya hari ibu Nasional.

Sejarah Lahirnya Hari Ibu Nasional
Pada tanggal 22 - 25 Desember 1928 silam, bertempat di Yogyakarta, para pejuang wanita Indonesia dari Jawa dan Sumatera pada saat itu berkumpul untuk mengadakan kongres perempuan Indonesia untuk pertama kalinya. Gedung Mandalabhakti Wanitatama di jalan Adisucipto, Yogyakarta menjadi saksi sejarah berkumpulnya 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera yang kemudian melahirkan terbentuknya kongres perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

Penetapan Hari Ibu Nasional jatuh pada tanggal 22 Desember baru diputuskan dalam kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Selanjutnya pada peringatan 25 tahun Hari Ibu pada tahun 1953, perayaan hari Ibu dirayakan dari Meulaboh hingga Ternate, karena saat itu Papua masih dijajah oleh Belanda

Lalu Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 menetapkan tanggal 22 Desember ini sebagai Hari Ibu Nasional.

Merefleksikan Makna Hari Ibu Kembali
Kongres Wanita Indonesia I yang berlangsung pada 22-25 Desember silam sebenarnya membahas tentang dua masalah besar yang dihadapi kaum wanita tempo itu, yakni pendidikan dan perkawinan. Meski demikian, semangat kongres tersebut tak bisa dilepaskan dari menguatnya semangat anti-penjajah saat itu, karena kongres ini sendiri berlangsung hanya selisih dua bulan pasca kongres Pemuda II.

Semenjak orde baru berkuasa hingga sekarang, makna “Hari Ibu” telah terdegradasi menjadi sekedar puja-puji peran semata terhadap kaum ibu. Padahal, semangat kongres perempuan pada tanggal 22 Desember 1928 lalu itu adalah kesetaraan manusia (laki-laki dan perempuan), pemenuhan hak-hak perempuan sebagai manusia dan semangat anti penjajahan.

Mencoba merefleksikan makana hari ibu, marilah kita membaca bagaimana kondisi perempuan Indonesia saat dalam berbagai bidang melalui berbagai data. Kemendikud RI merilis bahwa, hingga 2010 jumlah perempuan Indonesia yang belum melek huruf mencapai 5 juta lebih. Data lain menyebutkan, semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin sedikit pula partisipasi perempuan: SMA (18,59 persen), Diploma (2,74 persen), dan Universitas (3,02 persen).

Data ini menggambarkan bahwa partisipasi perempuan Indonesia dalam mengakses pendidikan masih rendah. Keadaan ini sangat dipengaruhi budaya masyarakat kita yang masih patriarkhi serta kondisi sosial –ekonomi masyarakat kita yang masih rendah serta diperparah lagi masuknya “virus” neoliberalisme dalam sistem pendidikan kita yang membuat negara seperti “menghilangkan” tanggung jawabnya pada pemenuhan hak dasar tiap warganya akan akses pendidikan

Dalam dunia ketenaga kerjaan, kaum perempuan juga belum bisa mencapai seperti yang dicita-citakanya dalam Kongres Wanita I lalu, hal ini bisa terbaca melalui data Departemen Ketenaga Kerjaan 2011, bahwa terdapat 12,44 persen pekerja perempuan yang berpenghasilan hanya Rp 200,000 ke bawah per bulan. Sedangkan jumlah pekerja laki-laki yang berpendapatan serupa hanya berkisar 4,39 persen. 

Sistem neo-liberalisme yang sedang melanada negara ini juga berkontribusi lebih dalam mengeksploitasi pekerja migran Indonesia. Pada tahun 1996, jumlah pekerja migran laki-laki mencapai 44% sedangakn pekerja  perempuan mencapai 56%. Hanya dalam satu salam satu dekade kemudian data itu berubah drastis, pada tahun 2007, jumlah pekerja migran perempuan meningkat menjadi 78%, sedangkan laki-laki berkurang menjadi 22%.

Dan catatan Komnas Perempuan pada tahun 2011 juga mengungkapkan, buruh Indonesia yang mayoritas perempuan sangat rentan mengalami tindak kekerasan , pelecehan seksual, pemerkosaan, penyiksaan, pemberlakuan jam kerja yang panjang, gaji tidak dibayar, larangan cuti haid dan melahirkan, dan PHK sepihak.

Sementara itu dalam pemenuhan penghormatan akan martabat dan kehormatan perempuan, Perempuan Indonesia juga rentan terhadap kasus pelecehan seksual. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam tiga tahun terakhir mengalami tren peningkatan: tahun 2009 (143.586 kasus), tahun 2010 (105.103 kasus), dan tahun 20011 (119.107).

Dengan berbagai data dan contoh kasus di atas, memperlihatkan bahwa perjuangan Perempuan –perempuan Indonesia masih jauh dari tujuanya untuk mencapai tujuan utama mereka akan kesetraan hak antara wanita dan laki-laki dalam batasan kodrat mereka sebagai perempuan. Hal ini tak bisa lepas dari masih kuatnya budaya masyarakat kita yang masih patriiarkhi, serta kondisi masyarakat kita yang sebagian masih masuk kondisi ekonomi menengah kebawah dan  masuknya virus neo-liberalisme yang makin memperparah keadaan dengan membuat negara seperti menghilangkan tanggung jawabnya pada pemenuhan hak-hak dasar kaum perempuan dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan lalin-lain

Karena itu, momentum peringatan Kongres Perempuan Indonesia atau Hari ibu Nasional yang jatuh tiap 22 Desember hendaknya menjadi semangat bagi kaum perempuan untuk mendorong kembali gerakan perempuan untuk meraih cita-cita mereka akan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki tanpa meninggalkan kodrat mereka sebagai seorang perempuan. Selamat Hari Ibu!untuk para perempuan dan Ibu-Ibu di Indonesia .


Hari Ibu, 22 Desember, Mari Kita Reefleksikan Kembali Maknanya
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.