Tuesday, December 1, 2015

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia

Sebelumnya, telah ada dugaan bahwa Belanda bakal melakukan Agresi Militer besar-besara lagi, karena perundingan antara Delegasi RI dengan Belanda, yang mencoba merealisasika Perjanjian Renville di bulan Juni 1948, menemukan jalan buntu. Sementara itu, PKI di bawah pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin melakukan pemberontakan di Madiun pada 18 September 1948. Kemudian usulan yang diajukan Merle Cochran, anak buah KTN dari Amerika, di bulan Oktober 1948 tidak bisa menembus kemacetan. Menghadapi situasi semacam ini,pimpinan Negara dan Angkatan Bersenjata mengadakan rapat untuk mengulas siasat yang bakal diambil. Dibicarakan pula kemungkinan Pemerintahan di pindahkan ke Sumatera. Ketika itu ada gagasan untuk membagi para petinggi negara menjadi tiga kelompok, untuk meneruskan perjuangan. Presiden bersama beberapa Menteri lain melakukan perjuangan diplomasi di Luar Negeri, Wakil Presiden/Perdana Menteri memimpin perjuangan di Sumatera. Sedangkan Menteri lain dan Para Pimpinan Angkatan Bersenjata memimpin Perang Gerilya di Jawa.

Dipilihnya Sumatera sebab wilayahnya yang luas dan hutannya yang masih lebat. Sejak dulu Sumatera, terutama Aceh, susah ditundukan. Tidak hanya itu letaknya yang di ujung barat wilayah RI bakal mempermudah hubungan dengan luar negeri, seperi India, Srilangka dan Birma. Pada pertengahan November 1948, atas permintaan Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera, Mohammad Hatta pergi ke Bukittingi untuk melerai pertikaian antara Mayor Bedjo dan Mayor Malau di Tapanuli. Hatta disertai Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Lukman Hakim, Rusli Rahim, Kolonel Hidayat, Letkol Akil Prawiradiredja dan lain-lain. Dalam bukunya, Memoir, terbitan Tintamas tahun 1982 Hatta menyebutkan bahwa Sjafruddin bakal menjadi Perdana Menteri sementara apabila terjadi Agresi Militer Belanda II.

Setelah perselisihan Mayor Bedjo dan Mayor Malau bisa diatasi, Hatta kembali ke Yogya untuk melakukan perundingan lagi dengan Belanda. Sjafruddin dan para pembantunya diminta untuk sementara tetap di Bukittinggi untuk mengatur kembali keuangan di Propinsi Sumatera. Sementara menantikan di Bukittingi, Sjafruddin, lalu membikin analisa mengenai perundingan yang bakal dihadapi Hatta. Kemungkinan pertama, tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai kemerdekaan dan kesaksian kedaulatan bangsa Indonesia. Kedua, perundingan menemui jalan buntu. Kalau kemungkinan kedua yang terjadi jadi diinginkan Hatta bakal kembali ke Sumatera untuk memimpin pemerintahan darurat, semacam yang sempat dibicarakan.

Ternyata perundingan pada tanggal 30 November 1948 itu mengalami kegagalan. Faktor ini dikarenakan sikap Dr. Sassen, Menteri seberang lautan Belanda, yang menyebutkan bahwa TNI dijadikan sebagai pengawal keamanan saja, bukan sebagai tentara nasional RIS yang bakal dibentuk. Padahal, sebelum itu telah dicapai kesepakatan antara Hatta dengan Dr. Stikker, Menlu Belanda, mengenai masalah inti yang dibicarakan: yaitu mengenai pembentukan Pemerintahan Federal dan status dan kedudukan TNI.
\
Gagalnya perundingan ini diikuti kemudian oleh Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 dengan ditawannya para pemimpin negara menyebabkan rencana semula tidak bisa dilaksanakan. Berbagai kalangan dipihak Republik Indonesia agak sedih menonton kenyataan ini. Presiden dan Wakil Presiden/PM sempat mengirimkan dua kawat sebelum ditawan.  Kawat pertama ditujukan terhadap Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang isinya:

Kami Presiden Republik Indonesia mengumumkan bahwa pada hari minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6.00 pagi, Belanda telah mulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Apabila dalam keadaan pemerintah tidak bisa menjalankan kewajibannya lagi, kita menguasakan terhadap Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk Pemerintah Republik Indonesia Darurat di Sumatera. 
Yogyakarta, 19 Desember 1948. 
Presiden Soekarno. Wakil Presiden Mohammad Hatta. 

Kawat kedua ditujukan terhadap Mr. A.A. Maramis yang berada di New Delhi dengan isi pesan sebagai berikut : 

Kami Presiden Republik Indonesia mengumumkan bahwa pada hari minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6.00 pagi, Belanda telah mulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Apabila Ikhtiar Mr. Sjafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera tidak berhasil, terhadap saudara dikuasakan untuk membentuk Exile Government Republik Indonesia di New Delhi. Harap dalam faktor ini berhubungan dengan Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera. Apabila hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya. 
Yogyakarta, 19 Desember 1948. 
Wakil Presiden Mohammad Hatta. 
Menteri Luar Negeri H. Agoes Salim.

Mandat di atas tidak sempat hingga ketangan Sjafruddin. Tetapi, seusai mengetahui bahwa Presiden dan Wakil Presiden tertawan melalui siaran Radio, akhirnya Sjafruddin berinisiatif membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Lalu diadakan rapat pembicaraan mengenai pembentukan PDRI dihadiri Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara, Komisaris Pemerintahan Pusat untuk Sumatera Teuku Mohammad Hasan, Residen Sumatera Tengah Sutan Mohammad Rasjid, Komisaris Negara Urusan Keuangan Lukman Hakim, Koordinator Perhubungan untuk Sumatera Indratjahja, Kepala Jawatan Pekerjaan Umum Sumatera Mananti Sitompul, Kolonel Laut M. Nazir, Kolonel Laut Adam, Direktur BNI Abdul Karim, Koordinator Kementerian Kemakmuran untuk Sumatera Abdul Latif, Kepala Jawatan Koperasi Pusat Rusli Rahim, Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kolonel Udara H. Sujono, Idris Batangtaris - Ajudan Ajafruddin, dan lain-lain.

Pertemuan diadakan di Halaban, 15Km sebelah selatan Payakumbuh. Seusai mendengar laporan Residen Sutan Muhammad Rasjid mengenai keadaan Bukittinggi, yang juga dibombardir Belanda, dan Sumatera umumnya pusat pembicaraan diarahkan pada pembentukan PDRI. Setelah kesepakatan didapat, maka, diumumkanlah berdirinya PDRI pada tanggal 22 Desember 1948, jam 04.30. Berdirinya PDRI segera disiarkan ke luar negeri dan dijelaskan bahwa Pemerintah Republik Indonesia tetap ada bersifat Mobile. Susunan Personalia PDRI ketika itu adalah:
Mr Sjafruddin Prawiranegara: Ketua merangkap Menteri Pertahanan/Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri a.i
Mr. Teuku Mohammad Hassan: Wakil Ketua merangkap Mendagri/Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan/Menteri Agama
Mr. Sutan Mohammad Rasjid: Menteri Keamanan merangkap Menteri Perburuhan, Pembangunan dan Pemuda
Ir. Mananti Sitompul: Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan
Mr. Lukman Hakim: Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman
Ir. Indratjahja: Menteri Perhubungan merangkap Menteri Kemakmuran
Marjono Danubroto: Sekretaris PDRI.

Kemudian Jenderal Sudirman dikukuhkan sebagai Panglima Besar Angkatan Perang; Kol. A.H. Nasution sebagai Panglima Tentara Teritorial Jawa; Kol. Hidayat sebagai Panglima Teritorial Sumatera; Kol. Laut M. Nazir sebagai Panglima Angkatan Laut; Kol. Udara H. Sujono sebagai Panglima Angkatan Udara dan Komisaris Besar Umar Said sebagai Kepala Kepolisian Negara. 

Untuk menghadapi Belanda di Sumatera, PDRI mengangkat Teungku Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer di Aceh; Dr. F.L. Tobing sebagai Gubernur Militer Sumatera Timur dan Tapanuli Mr. Sutan Mohammad Rasjid sebagai Gubernur Militer Sumatera Tengah; R.M. Oetojo sebagai Gubernur Militer Riau dan Dr. A.K. Gani sebagai Gubernur Militer Jambi dan Sumatera Selatan. Jabatan Wakil Gubernur Militer diserahkan terhadap pejabat militer setempat.

Pemerintahan di Sumatera dibekali pula dengan membawa Mr. S.M. Amin sebagai Komisaris daerah Sumatera Utara; Mr. Nasrun untuk Sumatera Tengah dan Drg. M. Isa untuk Sumatera Selatan. Di Jawa, dibentuk Komisaris Pemerintahan Pusat di Jawa (KPPD), pada 16 Mei 1949. KPD terdiri atas; Dr. Sukiman sebagai Menteri Dalam Negeri; Mr. Sutanto Tirtoprodjo menjadi Menteri Kehakiman; I.J Kasimo sebagai Menteri Pemecahan Makanan Rakyat; K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama dan R.P. Soeroso sebagai Komisaris untuk Urusan Dalam Negeri. 

Dengan dibentuknya KPPD ini berarti roda pemerintahan di seluruh wilayah RI bisa berlangsung sebagaimana seharusnya. KPPD ini bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Pimpinan PDRI. Setelah dirundingkan lebih lanjut dan adanya kontak dengan A.A. Maramis yang berada di New Delhi, India, susunan baru PDRI ditetapkan:
Mr. Sjafruddin Prawiranegara: Ketua merangkap Menteri Pertahanan
Mr. A.A. Maramis: Menteri Luar Negeri
Mr. Susanto Tirtoprodjo: Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman
Dr. Sukiman: Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan
I.J. Kasimo; Menteri Kemakmuran
Mr. Lukman Hakim: Menteri Keuangan
H. Masykur: Menteri Agama
Mr. T.M. Hasan: Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
Ir. Indratjahja: Menteri Perhubungan
Ir. Mananti Sitompul: Menteri Pekerjaan Umum
Mr. Sutan Mohammad Rasjid: Menteri Perburuhan dan Sosial

Kedudukan PDRI tersebut mempunyai landasan hukum yang kuat, yaitu berupa radiogram yang dikirim Presiden dan Wakil Presiden, mesikipun kawat tersebut tidak sempat hingga ketangan PDRI. Sehingga PDRI menggantikan kedudukan premerintahan Soekarno/Hatta dan legalitasnya mempunyai dasar yang kuat. Eksistensi PDRI disokong penuh oleh rakyat dan tentara yang bergerilya melawan Belanda. Dukungan ini terlihat jelas dari kawat yang dikirim para Menteri dan Pimpinan Militer di Jawa. Karena keadaan yang kian gawat, Pimpinan PDRI akhirnya memutuskan untuk segera meninggalkan Halaban. Bersama rombongan, Sjafruddin meninggalkan Halaban menuju ke arah timur. Lewat Payakumbuh semakin ke Bangkinang, Riau. Perjalanan diteruskan ke Taluk, lalu ke Sungai Dareh, Hulu Batanghari, Abai Sangir(Daerah Kerinci) dan akhirnya Bidar Alam.Makin lama kedudukan PDRI makin kuat. Demikian pula kedudukan militer di jawa. Sedangkan perjuangan diplomasi ditingkat Internasional mendatangkan simpati. 

Dua hari seusai Belanda menyerang Yogya, Srilangka menutup pelabuhan udaranya buat kapal terbang Belanda yang bakal pergi alias kembali dari Indonesia. India dan Pakistan kemudian mengikuti langkah Srilangka. Liga Arab di Kairo mengajukan imbauan pada Australia, Birma, Ethiopia, Filipina, India, Iran, Irak, Lebanon, Mesir, Pakistan, Saudi Arabia, Srilangka, Siria, Yaman sebagai peserta penuh; kemudian Cina, Nepal, Selandia Baru dan Siam sebagai Peninjau. Mereka mendesak supaya Belanda menarik kembali pasukannya dari daerah Keresidenan Yogyakarta. Desakan itu berpengaruh pada Resolusi DK-PBB. Sebelumnya Dewan Keamanan itu hanya menyerukan penarikan mundur tentara Belanda dari kota Yogyakarta saja

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.