Undang-undang
(UU) Intelijen yang disahkan DPR, Selasa, (11/10) lalu, dinilai menyimpan
berbagai kekurangan. Dengan UU tersebut, negara berpotensi sangat kuat dapat
kembali otoriter seperti masa lalu dengan berbagai pelanggaran HAM yang pernah
dilakukan dan belum terungkap sampai sekarang. Substansi UU ini memudahkan intelijen menangkap dan menyadap orang
yang dicurigai, kelemahan UU ini adalah soal kewenangan badan intelijen.
Berbagai informasi publik yang penting juga dikategorikan rahasia dengan alat
ukur yang sangat subjektif, seperti informasi kekayaan alam dan ketahanan
ekonomi.
Salah satu ketentuan di dalam UU
Intelijen Negara yang memiliki potensi ancaman tinggi bagi perlindungan
kebebasan warga negara, khususnya terkait dengan perlindungan hak-hak
privasi, adalah munculnya pengaturan mengenai penyadapan-intersepsi komunikasi,pada
pasal 32 yang dinilai tidak cukup memberikan batasan.salah satu tindakan
yang membatasi hak asasi manusia seseorang, khususnya terkait dengan hak
privasi seseorang. tidak bisa diterima dalam kondisi negara tertib sipil atau
dalam kondisi negara aman dan damai.
Berdasarkan pertimbangan hukum, MK menyatakan
bahwa penyadapan merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain
dan oleh karenanya melanggar hak asasi manusia (HAM), akan tetapi untuk
kepentingan nasional yang lebih luas, seperti halnya penegakan hukum, hak
tersebut dapat disimpangi dengan pembatasan. Menurut MK, pengaturan dengan
menggunakan undang-undang akan memastikan adanya keterbukaan dan legalitas dari
penyadapan itu sendiri. Sedangkan sa’at ini sendiri di Indonesia, sedikitnya
terdapat sembilan undang-undang yang memberikan kewenangan penyadapan kepada
sejumlah lembaga negara, dengan mekanisme dan cara yang berbeda-beda. Selain
sembilan undang-undang tersebut, juga terdapat setidaknya dua Peraturan
Pemerintah, dan dua Peraturan Menteri.
Oleh karena itu, sejalan dengan
praktik-praktik internasional dan hukum HAM internasional, pengaturan mengenai
pemberian kewenangan khusus penyadapan sudah selayaknya penyadapan diatur
melalui UU tersendiri bukan seperti yang terjadi saat ini di negeri ini ,antara
peraturan yang satu dengan lainya yang mengatur tentang penyadapan saling
berbenturan sehinnga memunculkan multitafsir.
Kekhawatiran
lain akibat pengaturan penyadapan di dalam UU Intelijen Negara, adalah terkait
dengan banyaknya lembaga yang diberikan wewenang untuk menyadap, jika
lembaga tersebut adalah bagian dari unsur intelijen negara. Tidak hanya BIN,
Intelijen TNI dan Kepolisian,,serta intelijen kementerian juga diberikan wenang
untuk melakukan tindakan penyadapan. Hal ini tentu menjadi ancaman yang sangat
besar bagi perlindungan hak-hak sipil warganagara, yang tegas secara
konstitusional dijamin oleh konstitusi,.Selain itu pula, rahasia negara akan
kedaluarsa setelah 25 tahun namun dapat diperpanjang dengan persetujuan DPR
sehingga bisa menutupi akses public akan informasi tentang Negara di masa lalu.
UU ini juga berpotensi memberangus
kehidupan Pers ,dala Pasal 26 UU tersebut disebutkan; “Setiap orang atau badan hukum dilarang membuka atau membocorkan
rahasia intelijen”. Artinya, siapapun yang membuka dapat dikenai sanksi
pidana, yang sesuai pasal 44 dan 45 disebutkan ancamanya 10 dan 7 tahun penjara
atau denda ratusan juta rupiah. Makna dari pasal 26 juga cenderung subyektif,
terlalu luas, dan cenderung bertabrakan dengan makna lain. Misalnya definisi
“rahasia intelijen” bertabrakan dengan definisi “informasi negara” sebagaimana
disebutkan dalam pasal 25. Sebab itu, pasal tersebut dinilai rawan
disalahgunakan oleh aparatur negara, terutama untuk melindungi kekuasaanya.
”Pasal ini
bisa dikenakan kepada jurnalis atau pegiat pers yang melakukan jurnalisme
investigasi atau mempublikasikan dan menyebarkan laporanya kepada publik.,” padahal Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 telah mengatur tugas dan
fungsi pers, khususnya Pasal 4, berbunyi: (2) Terhadap pers nasional tidak
dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. (3) Untuk
menjamin kemerdekaan pers, pers nasional memiliki hak mencari , memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi. (4) Dalam mempertanggungjawabkan
pemberitaan di depan hukum, wartawan memiliki Hak Tolak.Selain dilindungi
Undang-Undang Nomor 40, tugas jurnalis juga dilindungi Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Nomor 14 Tahun 2008, kelemahan tampak dari
tidak adanya rincian tentang ketentuan rahasia
negara. Wewenang yang diatur pasal
31 UU tersebut dengan istilah “penggalian informasi” juga bermakna ganda karena
bisa digunakan intelejen untuk melakukan penyelidikan. Padahal, intelejen
sudah diberikan fungsi penyelidikan sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat 2 UU
tersebut.UU ini juga berpotensi memberangus prinsip kebebasan pers dan
memperoleh informasi. Itu terlihat dari adanya istilah “membahayakan
kemananan”, “membocorkan kekayaan negara dan ketahanan ekonomi”. Pasal itu
sangat multitafsir. Karena bisa saja wartawan yang menulis skandal Century atau
kasus Munir dipenjara,
UU Intelejen juga
bertentangan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Pasalnya, dalam UU
disebutkan kedudukan lembaga intelijen di bawah dan bertanggung jawab kepada
presiden. Itu
berarti, lembaga intelijen merupakan alat penguasa yang bekerja untuk
kepentingan kekuasaan dan bukan rakyat.
Problem lain dari UU Intelijen Negara,
adalah terkait dengan ketidakjelasan mekanisme komplain dan pemulihan. Meskipun
di dalam ketentuan Pasal 15 UU Intelijen Negara mengatur tentang
ketersediaan pemulihan bagi orang-orang yang korban dari suatu
praktik operasi intelijen, namun ketentuan tersebut tidak secara jelas
mengatur tentang mekanisme, bagaimana korban bisa mengakses pemulihan yang
disediakan.Artinya, selain mengancam kebebasan sipil dan perlindungan hak asasi
manusia, kelahiran UU Intelijen Negara, juga telah melahirkan rezim
kriminalisasi baru bagi warganegara.
Setelah memahami paparan mengenai
Kelemahan UU Inteljen yang kita baru miliki ini lalu muncul sebuah pertanya’an Layakkah undang-undang itu dipertahankan ?
Undang -Undang inteljen ancaman HAM di Indonesia ???
4/
5
Oleh
Unknown