Etnis
Uighur merupakan etnis mayoritas yang mendiami wilayah otonomi Xinjiang yang
dahulunya merupakan sebuah negara merdeka bernama Turkistan Timur yang menjadikan
Islam sebagai agama negaranya karena sebagian besar etnis ini adalah pemeluk
Islam. Islam pula telah menjadi bagian integral dari kehidupan dan identitas
masyarakat Uighur namun sejaka Abad 18 China menganeksasi kawasan ini kemudian
pada tahun 1930-an wilayah ini berusaha merdeka, namun kemerdekaan merdeka
berhasil dipatahkan sehingga wilayah ini dianeksasi oleh China. Kehidupan
Uighur dalam kekuasaan China sangat memprihatinkan, apalagi setelah China
menjadi negara komunis sejak Oktober 1949 yang membuat kehidupan mereka makin
sengsara karena berbagai kebijakan represif dan diskriminatif terhadap Uigur
yang menyulut berbagai konflik di China hingga saat ini
Mengenal Wilayah Turkistan Timur
Dalam
buku Jihad Asia Tengah, Perang Akhir Zaman, karya Syekh Abu Mus’ah As Suri,
yang diterbitkan oleh Ar Rahmah Media, Dalam buku tersebut dibahas tentang
keadaan wilayah Turkistan yang merupakan wilayah strategis dan berpotensi untuk
menjadi ladang jihad. Berikut analisis beliau
Wilayah
Turkistan berada di Asia Tengah, dimana bagian timur berbatasan dengan Cina dan
Mongolia. Bagian Barat dengan Kaspia dan sungai Ural. Bagian selatan berbatasan
dengan Tibet, Kashmir, Pakistan, Afghanistan, Iran, Mongolia Utara dan Siberia.
Ada dua penjajah yang bergabung untuk menguasai wilayah ini, yakni Uni Soviet
(di masa lalu) dan Republik Rakyat Cina (sampai saat ini) di bawah
perjanjian Nerchinsk pada bulan Agustus 1689. perjanjian ini berakhir dengan
adanya perjanjian St. Petersburg pada bulan Februari 1981.
Wilayah
bagian Barat yang (dahulu) dijajah oleh Uni Soviet dikenal dengan nama
Turkistan Barat. Sementara itu, bagian Timur dijajah oleh Republik Rakyat Cina
dan dikenal dengan nama Turkistan Timur. Turkistan Timur inilah yang saat ini
berada di bawah tekanan dan penindasan rezim Sosialis Komunis Cina.
Luas
Turkistan Timur adalah 1.750.734 km2 dan ini sekitar dua kali wilayah Mesir dan
juga dua kali wilayah Pakistan. Turkistan Timur adalah sebuah wilayah dimana
jarak dengan laut terdekat berjarak sekitar 1900 km. Wilayahnya sebagian besar
terdiri dari semi-padang pasir dan berbatasan dengan garis-garis batas yang
berupa tiga pegunungan dan lembah sungai.
Rezim
Sosialis Komunis Cina menyebut Turkistan Timur dengan nama Xinjiang. Daerah ini
juga mencakup sebagian besar wilayah Aksai Chin, yang diklaim oleh India
sebagai bagian dari negara bagian Jammu dan Kashmir. Xinjiang yang secara
harfiah bermakna ‘Perbatasan Baru’ atau ‘Daerah Baru’ menjadi semakin
diperebutkan mengingat sumber daya alam dan ekonominya yang sangat luar biasa.
Kaum Muslimin lebih suka menyebutnya Turkistan Timur atau
Uighuristan.
Turkistan
Timur disebut merupakan salah satu negara terkaya di antara negara-negara di
wilayah itu karena berlimpahnya mineral yang terkandung di tanah ini, yang
menyokong tulang punggung perekonomian Cina. Negara ini juga mengandung minyak
dan bahan tambang penting lain. Turkistan Timur diperkirakan menjadi penyedia
minyak bumi terbesar kedua di dunia setelah Timur Tengah. Produksi rata-rata
tahunannya 5 juta ton. Besi juga merupakan hasil tambang dengan jumlah produksi
tahunan sekitar 250 juta ton. Terdapat lebih dari 56 tambang emas. Sedang untuk
stok uranium, masih sekitar 12 triliun ton. Produksi batu garam rata-rata
tahunan adalah 450.000 ton, sedang persediaan (cadangan) batu garam cukup untuk
seluruh dunia selama 1000 tahun. Kekayaan alam Turkistan Timur inilah yang
membuat rezim komunis China enggan melepaskan wilayah tersebut begitu saja.
Sejarah
Islam di Turkistan Timur
Islam
pertama kali masuk ke Turkistan pada pada masa khalifah Bani Umayyah, yakni
Al-Walid bin Abdul Malik pada tahun 96 H (715 M) melalui tangan komandan
mujahid, Qutaybah bin Muslim rahimahullah (semoga Allah merahmatinya) yang
berhasil memasuki kota Kashgeer. Ketika berakhirnya Khilafah Bani Umayyah dan
dimulainya Khilafah Bani Abbasiah pada abad ketiga hijriyah, Sultan Khakan,
“Satok Bograkhan” (dikenal juga dengan nama Abdul Karim) menjadikan agama Islam
sebagai Agama negara. Turkistan menjadi negara Islam merdeka selama sembilan
abad dan sejak saat itu penduduk negara itu telah menjadi muslim, hingga
berakhirnya masa Daulah Islamiyyah terakhir yang runtuh pada tahun 1355 H.
Pada
Abad ke 18 M terlihat kekuasaan pemerintahan Islam makin melemah akibat
ketiadaan sosok kepemimpinan yang kuat sehingga membuat beberapa bagian
wilayahnya menjadi sasaran penjajahan bangsa-bangsa Eropa dan Asia. Di Asia, Rusia
dan Cina sepakat membagi tanah kaum Muslimin di Turkish melalui beberapa
perjanjian. Jatuhnya wilayah ini dengan penyerahan ke tangan Cina setelah
menelan korban 1.200.000 warga Turkistan dan 22.000 keluarga Turkistan terasing
ke Cina.
Akibat
perang tersebut mayoritas penduduk Turkistan yang merupakan etnis Uighur dan
memeluk agama Islam dendam terhadap China yang membuat mereka melakukan
berbagai pembrontakan di Turkistan Timur dengan tercatat tujuh pemberontakan
dengan kekuatan besar, dan pemberontakan terakhir terjadi tahun 1863 yang
menjadikan Turkistan Timur merdeka dari kekuasaan Cina dan terbentuknya
kerajaan yang merdeka pada abad ke-19 M. pembentukan pemerintahan lokal di lima
wilayah, kesemuanya di bawah pemerintahan Attalik Ghazi Yakub Bek, yang
dianugerahi gelar Sulthan Utsmani dan Amirul Mukminin.
Akan
tetapi pembaharuan ambisi kolonial Rusia dan Cina, menjadikan Cina menduduki
Turkistan Timur sekali lagi jatuh pada China pada tahun 1878. Wilayah ini
kemudian dianeksasi pada tanggal 18 November 1884, dan dijadikan sebagai sebuah
propinsi bagian kekaisaran Cina. Turkistan Timur kemudian dinamai Xinjiang dan
Urumqi dijadikan sebagai ibu kotanya.
Kemudian
pada tahun 1930-an meletuslah Revolusi Turkistan melawan Cina, hingga mereka
berhasil mendeklarasikan kemerdekaanya dengan nama Republik Turkistan Timur di
Kashger pada 12 November 1933. Akan tetapi Raja muda Cina Sheng Shicai mampu menguasai
kembali negara ini bersama Rusia dengan serangan yang mematikan pada bulan Juli
1934.
Pada
tahun 1949, Pasukan Komunis Cina berhasil menaklukan negeri Turkistan Timur
dengan memasuki wilayah ini pada bulan Oktober 1949 dan mulailah era rezim
Sosialis Komunis Cina, dan ketidak adilan dalam sejarah muslim etnis Uigur di
kawasan ini .
Konflik Multidimensional
Konflik
di kawasan Xinjiang di kawasan yang mayoritas ini sebenarnya adalah sebuah
konflik berbau etnis dan agama, karena mayoritas kawasan Xinjiang atau
Turkistan Timur ini adalah etnis Uighur yang masih serumpun dengan etnis Turki
serta Asia Tengah yang berbeda denga etnis mayoritas China pada umumnya yang
merupakan etnis Han.
Selain
itu etnis Uighur ini merupakan mayoritas pemeluk agama Islam berbeda dengan
mayoritas penduduk China yang mayoritas tak beragama atau beragama Konghucu
atau Budha yang mereka anggap sebagai agama nenek moyang mereka sehingga
pemerintah China selalu menganggap Uigur merupkan bukan penduduk China sehingga
berbagai kebijakan Beijing selalu diskriminatif terhadap etnis ini.
Selain
itu konflik itu juga dipicu dendam masa lalu bahwa dahulu kawasan otonomi
Xinjiang adalah sebuah negara Islam merdeka dengan nama Turkistan Timur dengan
mayoritas penduduk Islam yang bisa leluasa menjalankan ibadahnya dengan leluasa
, namun China menjajah kawasan itu melalui sebuah perang besar yang
mengakibatkan banyak warga Uighur yang tewas dan setelah itu China menerapkan
kebijakan diskriminatif yang membuat warga Uighur menyimpan kebencian mendalam
terhadap pemerintah China
Namun,
pada kenyataannya, China menjadikan Turkistan Timur sebagai bagian dari
wilayahnya pada tahun 1949, dan merubah nama Turkistan Timur menjadi Xinjiang dengan
dinyatakan sebagai salah satu kawasan otonomi Cina dengan mengesampingkan fakta
bahwa mayoritas penduduk di sana pada saat itu orang Uighur. Selain itu status
kawasan otonomi itu pun terkesan tidak tulus, karena meski Xinjiang dewasa ini
dipimpin oleh gubernur dari kalangan warga Uighur, orang yang memegang
kekuasaan riil adalah sekretaris jenderal daerah Partai Komunis Cina , Wang
Lequan, yang orang Cina etnis Han.
Perpindahan
warga
Di
bawah pemerintahan Partai Komunis China, terjadi pembangunan ekonomi yang
sangat gencar, namun kehidupan warga Uighur justru semakin sulit dalam 20-30
tahun terakhir akibat masuknya banyak warga Cina muda yang memiliki kecakapan
teknis dari provinsi-provinsi di bagian timur Cina.
Para
migran ini jauh lebih mahir berbahasa Cina dan cenderung diberi lapangan
pekerjaan yang lebih baik di Xinjiang. Sementara itu hanya sedikit sekali orang
Uighur yang mahir berbahasa Cina, sehingga mereka sulit mendapatkan pekerjaan
di daerah mereka sendiri
Hal
ini menimbulkan penentangan mendalam di kalangan warga Uighur, yang memandang
perpindahan orang-orang Han ke Xinjiang sebagai gerakan untuk untuk
menggerogoti posisi serta budaya asli mereka di Xinjiang. Sehingga memicu
sentimen dan gerakan perlawanan terhadap pemerintah China dan etnis Han makin
meningkat.
Gerakan Masif Mengikis Islam di Xinjiang
Islam
adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan dan identitas warga Uighur
Xinjiang, dan salah satu keluhan utama mereka terhadap pemerintah Cina adalah
tingkat pembatasan yang diberlakukan oleh Beijing terhadap kegiatan keagamaan
mereka.
Jumlah
masjid di Xinjiang merosot jika dibandingkan dengan jumlah pada masa sebelum
tahun 1949, dan institusi keagamaan itu menghadapi pembatasan yang sangat
ketat.
Anak-anak
di bawah usia 18 tahun tidak diizinkan beribadah di masjid.
Sekolah
keagamaan (madrasah) serta lembaga-lembaga islam lain juga sangat dibatasi pendirian serta
kegiatanya.
Semua
agama di Cina dikendalikan oleh Administrasi Negara untuk Urusan Agama, tapi
pembatasan terhadap Islam di kalangan warga Uighur lebih keras daripada
terhadap kelompok-kelompok lain, termasuk etnis Hui yang juga muslim, tapi
penutur bahasa Cina.
Ketatnya
pembatasan itu akibat pertautan kuat antara kelompok-kelompok muslim dan
gerakan kemerdekaan di Xinjiang.
Pada
dekade 1990-an, setelah ambruknya Uni Soviet dan munculnya negara-negara muslim
independen di Asia Tengah, terjadi peningkatan dukungan terbuka atas kelompok-kelompok
"separatis", yang memuncak pada unjukrasa massal di Ghulja pada tahun
1995 dan 1997.
Beijing
menindas unjukrasa dengan penggunaan kekuataan luar biasa, dan para akitvisi
dipaksa keluar dari Xinjiang ke Asia Tengah dan Pakistan atau terpaksa bergerak
di bawah tanah.
'Iklim
ketakutan'
Penindasan
keras sejak di Xinjiang digulirkan sejak dimulai dengan kampanye dari
pemerintah pusat dengan tema kampanye "Strike Hard" (Gebuk Keras)
pada tahun 1996 dengan menerapkan kebijakan memperketat pengendalian terhadap
kegiatan agama, pembatasan pergerakan orang dan tidak menerbitkan paspor dan menahan
orang-orang yang didicurigai mendukung separatis dan anggota keluarga mereka.
Ini
menciptakan iklim ketakutan dan kebencian sangat kuat terhadap pemerintah Cina
dan warga Cina etnis Han.
Hal
inilah yang akan menyulut terjadinya konflik di Xinjiang, selama pemerintah Chiina
masih melakukan tindakan represif dan diskriminatifnya terhadap etnis Uighur,
maka konflik ini akan seperti dalam api dalam sekam yang akan berubah menjadi
kebakaran hebat suatu saat nanti. Sebaiknya kebijakan Beijing lebih melunak dan
membuka dialog terbuka dengan para pemukaetnis Uighur untuk mencari solusi
terbaik dalam penyelesaian konflik ini
Akar Konflik Etnis Uighur dan Pemerintah China
4/
5
Oleh
Unknown