Wednesday, January 20, 2016

Akar Konflik Etnis Uighur dan Pemerintah China

Etnis Uighur merupakan etnis mayoritas yang mendiami wilayah otonomi Xinjiang yang dahulunya merupakan sebuah negara merdeka bernama Turkistan Timur yang menjadikan Islam sebagai agama negaranya karena sebagian besar etnis ini adalah pemeluk Islam. Islam pula telah menjadi bagian integral dari kehidupan dan identitas masyarakat Uighur namun sejaka Abad 18 China menganeksasi kawasan ini kemudian pada tahun 1930-an wilayah ini berusaha merdeka, namun kemerdekaan merdeka berhasil dipatahkan sehingga wilayah ini dianeksasi oleh China. Kehidupan Uighur dalam kekuasaan China sangat memprihatinkan, apalagi setelah China menjadi negara komunis sejak Oktober 1949 yang membuat kehidupan mereka makin sengsara karena berbagai kebijakan represif dan diskriminatif terhadap Uigur yang menyulut berbagai konflik di China hingga saat ini

Mengenal Wilayah Turkistan Timur
Dalam buku Jihad Asia Tengah, Perang Akhir Zaman, karya Syekh Abu Mus’ah As Suri, yang diterbitkan oleh Ar Rahmah Media, Dalam buku tersebut dibahas tentang keadaan wilayah Turkistan yang merupakan wilayah strategis dan berpotensi untuk menjadi ladang jihad. Berikut analisis beliau

Wilayah Turkistan berada di Asia Tengah, dimana bagian timur berbatasan dengan Cina dan Mongolia. Bagian Barat dengan Kaspia dan sungai Ural. Bagian selatan berbatasan dengan Tibet, Kashmir, Pakistan, Afghanistan, Iran, Mongolia Utara dan Siberia. Ada dua penjajah yang bergabung untuk menguasai wilayah ini, yakni Uni Soviet (di masa lalu)  dan Republik Rakyat Cina (sampai saat ini) di bawah perjanjian Nerchinsk pada bulan Agustus 1689. perjanjian ini berakhir dengan adanya perjanjian St. Petersburg pada bulan Februari 1981.

Wilayah bagian Barat yang (dahulu) dijajah oleh Uni Soviet dikenal dengan nama Turkistan Barat. Sementara itu, bagian Timur dijajah oleh Republik Rakyat Cina dan dikenal dengan nama Turkistan Timur. Turkistan Timur inilah yang saat ini berada di bawah tekanan dan penindasan rezim Sosialis Komunis Cina.

Luas Turkistan Timur adalah 1.750.734 km2 dan ini sekitar dua kali wilayah Mesir dan juga dua kali wilayah Pakistan. Turkistan Timur adalah sebuah wilayah dimana jarak dengan laut terdekat berjarak sekitar 1900 km. Wilayahnya sebagian besar terdiri dari semi-padang pasir dan berbatasan dengan garis-garis batas yang berupa tiga pegunungan dan lembah sungai.

Rezim Sosialis Komunis Cina menyebut Turkistan Timur dengan nama Xinjiang. Daerah ini juga mencakup sebagian besar wilayah Aksai Chin, yang diklaim oleh India sebagai bagian dari negara bagian Jammu dan Kashmir. Xinjiang yang secara harfiah bermakna ‘Perbatasan Baru’ atau ‘Daerah Baru’ menjadi semakin diperebutkan mengingat sumber daya alam dan ekonominya yang sangat luar biasa. Kaum Muslimin lebih suka menyebutnya Turkistan Timur atau Uighuristan.  

Turkistan Timur disebut merupakan salah satu negara terkaya di antara negara-negara di wilayah itu karena berlimpahnya mineral yang terkandung di tanah ini, yang menyokong tulang punggung perekonomian Cina. Negara ini juga mengandung minyak dan bahan tambang penting lain. Turkistan Timur diperkirakan menjadi penyedia minyak bumi terbesar kedua di dunia setelah Timur Tengah. Produksi rata-rata tahunannya 5 juta ton. Besi juga merupakan hasil tambang dengan jumlah produksi tahunan sekitar 250 juta ton. Terdapat lebih dari 56 tambang emas. Sedang untuk stok uranium, masih sekitar 12 triliun ton. Produksi batu garam rata-rata tahunan adalah 450.000 ton, sedang persediaan (cadangan) batu garam cukup untuk seluruh dunia selama 1000 tahun. Kekayaan alam Turkistan Timur inilah yang membuat rezim komunis China enggan melepaskan wilayah tersebut begitu saja.

Sejarah Islam di Turkistan Timur
Islam pertama kali masuk ke Turkistan pada pada masa khalifah Bani Umayyah, yakni Al-Walid bin Abdul Malik pada tahun 96 H (715 M) melalui tangan komandan mujahid, Qutaybah bin Muslim rahimahullah (semoga Allah merahmatinya) yang berhasil memasuki kota Kashgeer. Ketika berakhirnya Khilafah Bani Umayyah dan dimulainya Khilafah Bani Abbasiah pada abad ketiga hijriyah, Sultan Khakan, “Satok Bograkhan” (dikenal juga dengan nama Abdul Karim) menjadikan agama Islam sebagai Agama negara. Turkistan menjadi negara Islam merdeka selama sembilan abad dan sejak saat itu penduduk negara itu telah menjadi muslim, hingga berakhirnya masa Daulah Islamiyyah terakhir yang runtuh pada tahun 1355 H.
Pada Abad ke 18 M terlihat kekuasaan pemerintahan Islam makin melemah akibat ketiadaan sosok kepemimpinan yang kuat sehingga membuat beberapa bagian wilayahnya menjadi sasaran penjajahan bangsa-bangsa Eropa dan Asia. Di Asia, Rusia dan Cina sepakat membagi tanah kaum Muslimin di Turkish melalui beberapa perjanjian. Jatuhnya wilayah ini dengan penyerahan ke tangan Cina setelah menelan korban 1.200.000 warga Turkistan dan 22.000 keluarga Turkistan terasing ke Cina.

Akibat perang tersebut mayoritas penduduk Turkistan yang merupakan etnis Uighur dan memeluk agama Islam dendam terhadap China yang membuat mereka melakukan berbagai pembrontakan di Turkistan Timur dengan tercatat tujuh pemberontakan dengan kekuatan besar, dan pemberontakan terakhir  terjadi tahun 1863 yang menjadikan Turkistan Timur merdeka dari kekuasaan Cina dan terbentuknya kerajaan yang merdeka pada abad ke-19 M. pembentukan pemerintahan lokal di lima wilayah, kesemuanya di bawah pemerintahan Attalik Ghazi Yakub Bek, yang dianugerahi gelar Sulthan Utsmani dan Amirul Mukminin.

Akan tetapi pembaharuan ambisi kolonial Rusia dan Cina, menjadikan Cina menduduki Turkistan Timur sekali lagi jatuh pada China pada tahun 1878. Wilayah ini kemudian dianeksasi pada tanggal 18 November 1884, dan dijadikan sebagai sebuah propinsi bagian kekaisaran Cina. Turkistan Timur kemudian dinamai Xinjiang dan Urumqi dijadikan sebagai ibu kotanya.

Kemudian pada tahun 1930-an meletuslah Revolusi Turkistan melawan Cina, hingga mereka berhasil mendeklarasikan kemerdekaanya dengan nama Republik Turkistan Timur di Kashger pada 12 November 1933. Akan tetapi Raja muda Cina Sheng Shicai mampu menguasai kembali negara ini bersama Rusia dengan serangan yang mematikan pada bulan Juli 1934.

Pada tahun 1949, Pasukan Komunis Cina berhasil menaklukan negeri Turkistan Timur dengan memasuki wilayah ini pada bulan Oktober 1949 dan mulailah era rezim Sosialis Komunis Cina, dan ketidak adilan dalam sejarah muslim etnis Uigur di kawasan ini .

Konflik Multidimensional
Konflik di kawasan Xinjiang di kawasan yang mayoritas ini sebenarnya adalah sebuah konflik berbau etnis dan agama, karena mayoritas kawasan Xinjiang atau Turkistan Timur ini adalah etnis Uighur yang masih serumpun dengan etnis Turki serta Asia Tengah yang berbeda denga etnis mayoritas China pada umumnya yang merupakan etnis Han.

Selain itu etnis Uighur ini merupakan mayoritas pemeluk agama Islam berbeda dengan mayoritas penduduk China yang mayoritas tak beragama atau beragama Konghucu atau Budha yang mereka anggap sebagai agama nenek moyang mereka sehingga pemerintah China selalu menganggap Uigur merupkan bukan penduduk China sehingga berbagai kebijakan Beijing selalu diskriminatif terhadap etnis ini.

Selain itu konflik itu juga dipicu dendam masa lalu bahwa dahulu kawasan otonomi Xinjiang adalah sebuah negara Islam merdeka dengan nama Turkistan Timur dengan mayoritas penduduk Islam yang bisa leluasa menjalankan ibadahnya dengan leluasa , namun China menjajah kawasan itu melalui sebuah perang besar yang mengakibatkan banyak warga Uighur yang tewas dan setelah itu China menerapkan kebijakan diskriminatif yang membuat warga Uighur menyimpan kebencian mendalam terhadap pemerintah China

Namun, pada kenyataannya, China menjadikan Turkistan Timur sebagai bagian dari wilayahnya pada tahun 1949, dan merubah nama Turkistan Timur menjadi Xinjiang dengan dinyatakan sebagai salah satu kawasan otonomi Cina dengan mengesampingkan fakta bahwa mayoritas penduduk di sana pada saat itu orang Uighur. Selain itu status kawasan otonomi itu pun terkesan tidak tulus, karena meski Xinjiang dewasa ini dipimpin oleh gubernur dari kalangan warga Uighur, orang yang memegang kekuasaan riil adalah sekretaris jenderal daerah Partai Komunis Cina , Wang Lequan, yang orang Cina etnis Han.

Perpindahan warga
Di bawah pemerintahan Partai Komunis China, terjadi pembangunan ekonomi yang sangat gencar, namun kehidupan warga Uighur justru semakin sulit dalam 20-30 tahun terakhir akibat masuknya banyak warga Cina muda yang memiliki kecakapan teknis dari provinsi-provinsi di bagian timur Cina.

Para migran ini jauh lebih mahir berbahasa Cina dan cenderung diberi lapangan pekerjaan yang lebih baik di Xinjiang. Sementara itu hanya sedikit sekali orang Uighur yang mahir berbahasa Cina, sehingga mereka sulit mendapatkan pekerjaan di daerah mereka sendiri
Hal ini menimbulkan penentangan mendalam di kalangan warga Uighur, yang memandang perpindahan orang-orang Han ke Xinjiang sebagai gerakan untuk untuk menggerogoti posisi serta budaya asli mereka di Xinjiang. Sehingga memicu sentimen dan gerakan perlawanan terhadap pemerintah China dan etnis Han makin meningkat.

Gerakan Masif Mengikis Islam di Xinjiang
Islam adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan dan identitas warga Uighur Xinjiang, dan salah satu keluhan utama mereka terhadap pemerintah Cina adalah tingkat pembatasan yang diberlakukan oleh Beijing terhadap kegiatan keagamaan mereka.

Jumlah masjid di Xinjiang merosot jika dibandingkan dengan jumlah pada masa sebelum tahun 1949, dan institusi keagamaan itu menghadapi pembatasan yang sangat ketat.
Anak-anak di bawah usia 18 tahun tidak diizinkan beribadah di masjid.

Sekolah keagamaan (madrasah) serta lembaga-lembaga islam lain  juga sangat dibatasi pendirian serta kegiatanya.

Semua agama di Cina dikendalikan oleh Administrasi Negara untuk Urusan Agama, tapi pembatasan terhadap Islam di kalangan warga Uighur lebih keras daripada terhadap kelompok-kelompok lain, termasuk etnis Hui yang juga muslim, tapi penutur bahasa Cina.
Ketatnya pembatasan itu akibat pertautan kuat antara kelompok-kelompok muslim dan gerakan kemerdekaan di Xinjiang.

Pada dekade 1990-an, setelah ambruknya Uni Soviet dan munculnya negara-negara muslim independen di Asia Tengah, terjadi peningkatan dukungan terbuka atas kelompok-kelompok "separatis", yang memuncak pada unjukrasa massal di Ghulja pada tahun 1995 dan 1997.

Beijing menindas unjukrasa dengan penggunaan kekuataan luar biasa, dan para akitvisi dipaksa keluar dari Xinjiang ke Asia Tengah dan Pakistan atau terpaksa bergerak di bawah tanah.

'Iklim ketakutan'
Penindasan keras sejak di Xinjiang digulirkan sejak dimulai dengan kampanye dari pemerintah pusat dengan tema kampanye "Strike Hard" (Gebuk Keras) pada tahun 1996 dengan menerapkan kebijakan memperketat pengendalian terhadap kegiatan agama, pembatasan pergerakan orang dan tidak menerbitkan paspor dan menahan orang-orang yang didicurigai mendukung separatis dan anggota keluarga mereka.

Ini menciptakan iklim ketakutan dan kebencian sangat kuat terhadap pemerintah Cina dan warga Cina etnis Han.


Hal inilah yang akan menyulut terjadinya konflik di Xinjiang, selama pemerintah Chiina masih melakukan tindakan represif dan diskriminatifnya terhadap etnis Uighur, maka konflik ini akan seperti dalam api dalam sekam yang akan berubah menjadi kebakaran hebat suatu saat nanti. Sebaiknya kebijakan Beijing lebih melunak dan membuka dialog terbuka dengan para pemukaetnis Uighur untuk mencari solusi terbaik dalam penyelesaian konflik ini
Akar Konflik Etnis Uighur dan Pemerintah China
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.