Revolusi Kebudayaan adalah suatu
revolusi besar yang terjadi di China pada tahun 1966-1976. Pada era tersebut
diwarnai dengan kekerasan terhadap kaum intelektual dan unsur-unsur borjuis lainnya.
Revolusi ini digerakkan oleh Mao
Zedong sebagai puncak perseteruannya dengan pejabat Presiden Liu Shaoqi dkk yang dituduh
beraliran kanan, karena mendukung intelektualisme dan kapitalisme.
Revolusi
Kebudayaan merupakan gerakan perubahan di segala bidang untuk mengembalikan
China kepada ajaran “Maoisme”
yang dirasakan semakin lama semakin luntur karena digerogoti oleh budaya Barat.
Pada tahun 1966 China diramaikan dengan hiruk-pikuk gerakan
antikapitalisme. Tentara Merah menyerang
para dosen, dokter, seniman, novelis, cendekiawan, tenaga-tenaga profesional,
dan mereka yang dianggap tidak mewakili kaum proletar. Gonjang-ganjing terus
berlangsung sampai tahun 1975 meski tak lagi diwarnai kekejaman. Selain menutup
diri, negeri itu menolak segala yang berunsur Barat.
Makna Revolusi Kebudayaan Menurut Mao
Zedong
Revolusi
Kebudayaan adalah konsep kebijakan pembangunan yang mendasarkan diri pada
mobilisasi politik dan bukan pada prinsip-prinsip teknokratisme, seperti yang
dijalankan pada periode sebelumnya. Landsasan pemikiran yamg mengawasi prinsip
mobilisasi ialah materialisme-dialektis yang mengutamakan transformasi individu
sebagai alat dan tujuan dari pembangunan sosialis. Dalam pemikiran ini manusia
komunis yang berusaha dibentuk adalah individu yang tidak bekerja untuk dirinya
sendiri, melainkan bekerja untuk kepentigan umum. Kemudian usaha-usaha untuk
meningkatkan kesejahteraan materi masyarakat harus mencakup pembangunan watak
individu, agar kreatifitas pribadinya dapat dikembangkan. Menurut Mao,
pembangunan ekonomi akan mencapai sasaranya, apabila dilakukan dilakukan dengan
merata dan seimbang, sehingga seluruh anggota masyarakat dapat menarik
keuntungan bersama dan tidak ada yang menerimanya secara sepihak. Demikian
pula, spesialisasi atau perbedaan jenis pekerjaan, antara pekerjaan biasa
(kasar) dan pekerjaan mental, dapat dihindarkan. Oleh karena itu, partai
berperan sebagai pelopor dalam menumbuhkan motivasi rakyat dan dalam bersatu
dan berjuang demi kepentingan bersama
Setelah
kegagalan Lompatan Jauh ke depan Mao
pada akhir 1958 mundur dari jabatan sebagai pimpinan Partai Komunis China. Kongres Rakyat
Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai
pengganti Mao. Mao tetap menjadi Ketua Partai Komunis, namun dilepas dari tugas
ekonomi sehari-hari yang dikontrol dengan lebih lunak oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping dan lainnya yang
memulai reformasi keuangan.
Liu Shaoqi (Presiden kedua China
1959-1968) diberikan tugas untuk melakukan pemulihan dan penyesuaian kembali
keadaan perekonomian negara dari krisis besar dan kekacauan parah yang menimpa
China akibat gerakan “Lompat Jauh ke Depan”. Liu mendapat tugas menstabilkan
lagi perekonomian, setidaknya seperti keadaan Pelita I dijalankan, sehingga upaya untuk mewujudkan
pembangunan China ke arah yang lebih baik dapat segera dilaksanakan.
Pada
masa Pemulihan dan Penyesuaian Kembali (1961-1965) ini, Liu
juga berusaha menanamkan aliran liberalisme dalam perencanaan-perencanaan
pembangunan demi perbaikan sistem ekonomi sosialis China. Oleh karena itu di
daerah pedesaan diberikan kelonggaran terhadap pelaksanaan sistem kolektifitas
dan sistem ekonomi tanpa pasar yang autokratis.
Sementara
Mao sengaja mengambil jarak dari pusat kekuasaan agar bisa melihat betapa para
pimpinan menjadi borjuis dan korup. Rakyat kehilangan semangat revolusioner.
Bagi Mao, kenyataan itu tak bisa dibiarkan. Harus ada reformasi untuk
meluruskan kembali jalan revolusi. Itulah Revolusi Kebudayaanyang
diluncurkan pada tahun 1966 oleh Mao. “Kebudayaan” tidak hanya berarti
kesenian, melainkan seluruh aspek dan lembaga kemasyarakatan. Revolusi
Kebudayaan ini merupakan kelanjutan dari adu kekuatan antara aliran dogmatisme
dengan pragmatisme.
Implementasi Revolusi Kebudayaan
Sebelumnya
pada 16 Mei 1966, Mao Zedong telah mengkonsep sebuah gerakan revolusi yang ia
sebut sebagai “The Great Proletarian
Cultural Revolution”, yang mencapai puncaknya pada 13 Agustus 1966. Meski
namanya “Revolusi Kebudayaan”, namun objek yang direvolusi tidak hanya terbatas
pada kesenian, namun seluruh aspek dan lembaga kemasyarakatan. Revolusi itu
menghapus batasan kelas dalam masyarakat yang telah ada selama ratusan tahun di
Cina, dan terjadi secara menyeluruh meliputi kehidupan sosial, ekonomi,
pendidikan, budaya, bahkan berbagai organ pemerintahan. Revolusi Kebudayaan
merupakan jawaban Mao atas masalah yang ditimbulkan oleh restorasi kapitalisme
yang dilakukan Soviet pada 1956.
Pada
Bulan Juni 1966, PKC menyerukan kepada para mahasiswa untuk memobilisasi rakyat
massa menuju Lapangan Tiananmen di
pusat Kota Beijing. Mereka membawa buku kecil warna merah, The Little
Red Book (Buku Merah), berisi kutipan naskah-naskah pidato Mao. Belakangan
gerakan ini diperluas ke kalangan pekerja, buruh, dan petani. Mereka mengecam
siapa pun yang berada dalam posisi pimpinan. Tidak jarang kecaman berubah
menjadi sanksi atau hukuman. Korban berjatuhan, baik karena hukuman maupun
bunuh diri.
Para
pelajar dan mahasiswa kemudian digerakan untuk melancarkan kritik terhadap
anasir-anasir yang dinilai ”anti-partai dan anti-rakyat”, seperti: Presiden
Cina, Liu Shaoqi, Sekretaris Jendral Partai Komunis China (PKC), Deng Xiaoping,
serta Kepala Staf Tentara Pembebasan Rakyat, Lo Rui Qing. Kemudian para mahasiswa
turun ke jalan dengan mengenakan pita di lengan bertuliskan ”Pengawal Merah”.
Gerakan Pengawal Merah ini dari hari ke hari semakin brutal dengan melakukan pengrusakan
terhadap berbagai kantor pemerintah, fasilitas umum, selain melakukan teror dan
penangkapan terhadap lawan-lawan politik Mao tse Tung. Mao Tse Tung mempunyai
konsep kerja tersendiri untuk menjelaskan ekonomi-politik pembangunan sosialis.
Ia tidak hanya menemukan kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat, tetapi juga
mencoba mengungkapkan apa yang disebut dengan ”teori penentuan waktu”. Dalam
teorinya ini, ia menggariskan setiap tahap pembangunan sosialis dengan tingkat
perkembangan tertentu dari kekuatan produksi dan hasil produksi. Menurutnya,
kebijakan-kebijakan pembangunan yang dibuat harus cocok dengan tahap
pembangunan sosialis yang ada.
Dalam
suasana yang sangat mencekam tersebut, Majalah Tentara Pembebasan Rakyat
terbitan Shanghai edisi November 1965 melancarkan kritik terhadap suatu seni
drama karangan Wu Han yang berjudul ”Han Rui dipecat dari jabatanya” yang
bercerita tentang sindiran terhadap pemecatan Marsekal Peng De Huai pada tahun
1956. Karya tulisan yang dipentaskan tersebut dinilai destruktif karena dapat
mempengaruhi masyarakat untuk menyimpulkan bahwa kebijaksanaan Mao Tse Tung
terhadap Peng De Huai adalah suatu kesalahan. Sejak itu semua orang yang
membela Wu Han dikenakan kritik sebagai revisionis dan oportunis kanan,
termasuk para pejabat di lingkungan pemerintahan Beijing karena saat itu Wu Han
menjabat sebagai Wakil Walikota Beijing.
Revolusi
Kebudayaan juga menyertakan istri Mao, mantan bintang film tak terkenal Jiang Qing (nama samarannya dalam
dunia politik; nama terlahir Li Shumeng; nama di makamnya dipakai nama sewaktu
Ia sekolah, Li Yunhe), untuk menyingkirkan para pesaingnya dalam ranah
kesenian. Opera, film, dan panggung teater didominasi produksi Madam Mao.
Lukisan bunga dan alam tak boleh dipasang, diganti gambar bendera merah,
traktor di ladang, atau gambar Mao dalam ekspresi heroik. Kaum perempuan tak
boleh lagi berambut panjang dan dandan sesukanya. Jika ketahuan Tentara Merah,
rambut mereka akan dipotong dan celana panjang ketat mereka akan dirobek di
depan umum. Banyak pengarang dipenjara, dibuang ke kamp kerja paksa, atau
dibiarkan frustrasi hingga bunuh diri. Beberapa pemusik atau pianis dipotong
jarinya oleh Tentara Merah.
Dalam
waktu cepat revolusi itu memberikan dampak yang amat besar sekaligus luas bagi
masyarakat Cina, karena banyak sektor ekonomi terhenti saat revolusi
dijalankan. Di awal revolusi, sejumlah besar Pengawal Merah tiba di Beijing dan
menyebabkan kekacauan jadwal kereta api. Tak terhitung banyaknya bangunan kuno,
artefak, barang antik, buku, dan lukisan, dihancurkan oleh pasukan tersebut.
Mao menggerakkan revolusi itu dengan kekuatan tulisannya, dan sampai Desember
1967, lebih dari 350 juta kopi tulisan Mao dicetak dan disebarluaskan. Setelah
sepuluh tahun revolusi itu berlangsung, sistem pendidikan di Cina hancur secara
perlahan. Ujian masuk perguruan tinggi dibatalkan selama dekade itu, sementara
ribuan intelektual dikirim ke kamp buruh, atau dibunuh.
Menurut
Mao, pendirian ideoloi dan prestasi politik rakyat harus diperbaiki, untuk
mecegah matinya semangat revolusioner dan hidup kembalinya kapitalisme akibat
diadakanya Program Pemulihan dan Penyesuaian Kembali ekonomi Cina pasca “Lompat
Jauh ke Depan”. Perbaikan ini juga perlu megingat semakin besarnya kesangsian
massa terhadap kesetiaan kader-kader partai terhadap mereka. Oleh karena itu,
bagi Mao organisasi-organisasi tingkat bawah, terutama massa itu sendiri perlu
diberikan wewenang untuk mengawasi partai. Mao Tse Tung meresmikan suatu tim
Revolusi Kebudayaan dengan Cheng Bo da sebagai ketuanya. Pada awal Agustus 1966
Komite sentral PKC mengadakan sidang untuk merumuskan garis kebijakan dalam mengendalikan
Revolusi Kebudayaan. Rumusan tersebut terdiri dari 16 pasal, sebagai berikut:
- Revolusi sosialis yang telah mencapai suatu tahapan baru itu telah menegakan Orde Baru yang mengembangkan gagasan dan kebudayaan baru.
- Keberanian untuk melangkah maju telah berhasil menumbangkan mereka yang menganut jalan kapitalis.
- Keberanian harus dilimpahkan kepada rakyat massa, sehingga dapat membongkar pengkhianatan terhadap pikiran Mao Tse Tung.
- Rakyat massa dipersilahkan mendidik diri dalam mengobarkan revolusi Kebudayaan
- “Poster Berhuruf Besar” supaya dimanfaatkan sebanyak-banyaknya agar dapat diperbaiki kesalahan-kesalahan serta membeberkan pandangan-pandangan yang keliru”
- Diserukan agar ditegaskan siapa kawan dan siapa lawan.
- Sasaran pokok dari Revolusi Kebudayaan adalah menumbangkan unsur-unsur dalam Partai Komunis yang menganut paham kapitalis.
- Metodenya adalah : mengemukakan fakta-fakta, mengadakan ajakan untuk memperbincangkan fakta-fakta tersebut dan menghindari tindakan kekeras
- Mencegah terjadinya tuduhan keliru terhadap rakyat revolusioner
- Mengadakan perbedaan antara Yang baik, Yang sedang dan Yang berbuat salah, tetapi tidak anti-Partai dan tidak anti-sosialisme.
- Organisasi yang telah ada supaya dianggap sebagai alat kekuasaan dari Revolusi Kebudayaan.
- Sistem dan prinsip-prinsip, dan cara mengajar yang lama harus diganti dengan sistem pengajaran yang mengabdi pada politik proletar, dalam kaitanya dengan kerja produktif.
- Kritik dengan menyebut nama, baru dapat dijalankan setelah diperbincangkan oleh Komite Partai setempat, dan setelah mendapat persetujuan dari tingkat atasan.
- Kritik terhadap para sarjana dan teknisi yang tidak anti-Partai / anti-Sosialisme dan tidak berhubungan gelap dengan negara asing, harus dijalankan atas dasar ”Persatuan kritik persatuan”.
- Sasaran pokoknya adalah; satuan-satuan kultural, pendidikan, dan pemerintah di kota-kota besar dan kota-kota sedang.
- Tujuan dari Revolusi Kebudayaan adalah merevolusionerkan ideologi rakyat, dan menambah produksi serta mutunya.
- Di lingkungan Angkatan Bersenjata, edukasi sosial dan Revolusi Kebudayaan harus sesuai dengan instruksi dari Komisi.
- Pikiran Mao Tse Tung menjadi pedoman dari seluruh kegiatan.
Suatu
hal yang penting, pada saat itu Mao mengadakan Gerakan Pemindahan ke Daerah
Pedalaman. Ia yang memindahkan secara paksa 20 juta orang penduduk dari
kota-kota ke desa-desa, dalam rangka menerapkan program belajar dari kaum
petani. Banyak profesional muda yang menjadi “korban” dari Program
Ruralisasi Mao ini. Seorang dokter ahli bedah otak, misalnya,
tiba-tiba dimutasi menjadi petugas kebersihan WC. Dosen atau petinggi
universitas dialihtugaskan ke peternakan babi. Birokrat dikirim ke pedalaman
agar menghayati keadaan rakyat.
Beberapa
masalah timbul dari kebijakan pembangunan Mao selama Revolusi
Kebudayaan. Sebab bagaimana mungkin keinginan untuk menerjunkan kaum buruh
agar berpartisipasi dalam tugas-tugas administrasi, dan sebaliknya menerjunkan
para kader politiknya untuk berpartisipasi dalam pekerjaan buruh, dapat
diharapkan keberhasilanya dalam waktu singkat. Harus diingat bahwa hal itu
memerlukan waktu penyesuaian, karena sebelumnya kaum buruh telah terbiasa
dengan pekerjaan di lapangan yang sifatnya kasar, serta asing sekali dengan
pekerjaan administratif. Sedangkan para kader politik justru telah terbiasa
dengan tugas-tugas organisasi dan administratif, masih asing dengan
pekerjaan-pekerjaan buruh.
Dengan
menggunakan kaum muda, kader-kader partai yang setia kepadanya dan orang-orang
yang direkrut dari golongan militer, Mao melakukan tindakan pembersihan
terhadap Liu dan kawan-kawan. Liu
Shaoqi, Presiden China, kemudian mengalami perlakuan buruk dan mati
dalam keadaan menyedihkan. Liu ditahan dalam keadaan yang sangat buruk dalam
sebuah sel terisolasi di Kaifeng, yang menyebabkan kematiannya oleh ketiadaan
perawatan medis (diabetes dan pneumonia yang tidak terawat) pada 1969. Deng Xiao Ping, Sekjen PKC, diasingkan
dalam pembuangan di Jiangxi. Ia juga mendapat perlakuan buruk selama dalam
pengasingan seperti seorang pekerja rodi. Sedangkan Peng Dehuai, bekas Menhankam China,
menghadapi penyiksaan berat dan mati dalam keadaan setengah lumpuh.
Sementara
tokoh Empat Serangkai (Gank of Four) yang berada di belakang
Mao; memperbesar jumlah korban yang harus dibinasakan dengan memasukan
kategori-kategori baru mengenai siapa saja yang masih termasuk musuh,
pengkhianat dan para pengikut kapitalis. Berdasarkan data yang diperoleh,
antara 250.000 sampai 500.000 jiwa rakyat tewas selama Revolusi Kebudayaan ini.
Sedangkan jutaan rakyat lainya mengalami penderitaan fisik dan psikis akibat dikirim
ke kamp-kamp kerja paksa dan diteror, serta dikejar-kejar oleh
gerombolan-gerombolan orang yang diatur sebagai ”massa yang marah” dalam
berbagai bentuk kampanye mobilisasi, restorasi pemikiran, re-edukasi dan
rekonstruksi pribadi sosialis yang baru. Keadaan ini berlangsung selam sepuluh
tahun memporak-porandakan seluruh negeri dan menyengsarakan lebih dari 100 juta
rakyat China.
Pengaruh
Revolusi Kebudayaan terhadap perekonomian nasional sangatlah besar. Produksi
sektor industri merosot di tahun 1967 dan baru pulih kembali pada tahun 1969,
meskipun sektor pertanian hanya mengalami sedikit kerugian. Selama sepuluh
tahun kekacauan berlangsung, terjadi kerusakan diri atas kaum muda karena
banyak sekolah ditutup. Pada sekolah-sekolah yang masih dibuka, kurikulum
sangat disederhanakan dan sistem ujian dihapus, sehingga mutu pendidikan
merosot. Akibat adanya pengiriman anak-anak usia sekolah dari kota ke daerah
pedesaan untuk bertani, tercatat tidak kurang dari 100 juta anak muda kembali
menjadi buta huruf, disamping banyak lowongan kerja yang diisi oleh
tenaga-tenaga yang tidak ahli. Korban jiwa, kemunduran pendidikan, kehancuran
seni dan peradaban, kebangkrutan pabrik-pabrik, adalah berbagai akibat yang
dihasilkan Revolusi Kebudayaan.
Dari
segi pemerataan, kebijakan-kebijakan pembangunan Mao, menghasilkan prestasi
yang mengagumkan. Dalam hal itu hasil yang diraih China lebih baik dibandingkan
negara-negara sedang berkembang pada umumnya. Keunggulan tersebut harus diakui,
walaupun dari segi kesejahteraan hidup penduduk, kondisi China masih jauh dari
yang diharapkan. Sejak 1971 keadaan menjadi normal (dalam versi Mao). Sekolah
dan universitas dibuka kembali dengan syarat hanya buruh dan petani yang boleh
belajar. Mahasiswa asing dan turis boleh datang, meski dalam wilayah terbatas.
Para turis hanya disuguhi traktor dan sistem irigasi disertai pidato
propaganda.
Akhir dari Revolusi Kebudayaan
Tak
lama setelah kematian Mao pada 9 September 1976, sekitar Oktober 1976
Pemerintah China menangkap Gank of Four “Kelompok Empat” yang beranggotakan Jiang Qing (istri/janda Mao), Yao Wenyuan dan Zhang
Chunqia (dua tokoh sentral di Shanghai selama Revolusi Kebudayaan) dan Wang Hongwen (penjaga
keamanan dari Pabrik Pemintalan di Shanghai yang memobilisasi para buruh
tekstil selama Revolusi Kebudayaan) karena
dianggap sebagai pihak paling bertanggung jawab atas segala kekacauan dan
jatuhnya korban selama Revolusi Kebudayaan,
Pada
Kongres Partai Nasional (KRN) ke-11, yang diadakan pada tanggal 12-18 Agustus
1977, Hua diresmikan sebagai ketua partai menggantikan Mao Zedong, sementara Ye
Jianying, Deng Xiaoping, Li Xiannian, dan Wang Dongxing dipercaya sebagai wakil
ketua. Kongres juga mengumumkan berakhirnya Revolusi Kebudayaan secara resmi,
menimpakan semua kesalahan yang ditimbulkannya pada Kelompok Empat.
Setelah
itu secara pelahan Deng Xiaoping naik
menuju kekuasaan. Rekannya Liu
Shaoqi namanya direhabilitasi secara politik; lalu diadakan upacara
pemakaman secara Kenegaraan setelah lebih dari satu dekade sesudah
kematiannnya. Pemikirannya yang dulu tidak diakui kini diamini. Sejak saat itu,
tak ada lagi mahasiswa dengan kategori tiga pilar politik:
pekerja-petani-tentara. Ujian seleksi perguruan tinggi diberlakukan lagi untuk
umum. Mahasiswa tak perlu lagi ikut mengikat sayuran, dan area penanaman padi
tidak harus ke utara Sungai
Yangtze agar tidak menentang alam. Seruan Deng, “Menjadi kaya itu mulia,” mengubah
wajah China secara dramatis. Pakaian dan tata rambut masyarakat berubah.
Observatorium yang didirikan rohaniwan Jesuit di Jianguomen, yang dulu menjadi
satu-satunya monumen tertinggi, kini diapit hotel-hotel dan gedung-gedung
pencakar langit.
Revolusi Kebudayaan China (The Great Proletarian Cultural Revolutionof China)
4/
5
Oleh
Unknown