Saturday, January 23, 2016

Revolusi Kebudayaan China (The Great Proletarian Cultural Revolutionof China)


Revolusi Kebudayaan adalah suatu revolusi besar yang terjadi di China pada tahun 1966-1976. Pada era tersebut diwarnai dengan kekerasan terhadap kaum intelektual dan unsur-unsur borjuis lainnya. Revolusi ini digerakkan oleh Mao Zedong sebagai puncak perseteruannya dengan pejabat Presiden Liu Shaoqi dkk yang dituduh beraliran kanan, karena mendukung intelektualisme dan kapitalisme.

Revolusi Kebudayaan merupakan gerakan perubahan di segala bidang untuk mengembalikan China kepada ajaran “Maoisme” yang dirasakan semakin lama semakin luntur karena digerogoti oleh budaya Barat. Pada tahun 1966 China diramaikan dengan hiruk-pikuk gerakan antikapitalisme. Tentara Merah menyerang para dosen, dokter, seniman, novelis, cendekiawan, tenaga-tenaga profesional, dan mereka yang dianggap tidak mewakili kaum proletar. Gonjang-ganjing terus berlangsung sampai tahun 1975 meski tak lagi diwarnai kekejaman. Selain menutup diri, negeri itu menolak segala yang berunsur Barat.

Makna Revolusi Kebudayaan Menurut Mao Zedong

Revolusi Kebudayaan adalah konsep kebijakan pembangunan yang mendasarkan diri pada mobilisasi politik dan bukan pada prinsip-prinsip teknokratisme, seperti yang dijalankan pada periode sebelumnya. Landsasan pemikiran yamg mengawasi prinsip mobilisasi ialah materialisme-dialektis yang mengutamakan transformasi individu sebagai alat dan tujuan dari pembangunan sosialis. Dalam pemikiran ini manusia komunis yang berusaha dibentuk adalah individu yang tidak bekerja untuk dirinya sendiri, melainkan bekerja untuk kepentigan umum. Kemudian usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan materi masyarakat harus mencakup pembangunan watak individu, agar kreatifitas pribadinya dapat dikembangkan. Menurut Mao, pembangunan ekonomi akan mencapai sasaranya, apabila dilakukan dilakukan dengan merata dan seimbang, sehingga seluruh anggota masyarakat dapat menarik keuntungan bersama dan tidak ada yang menerimanya secara sepihak. Demikian pula, spesialisasi atau perbedaan jenis pekerjaan, antara pekerjaan biasa (kasar) dan pekerjaan mental, dapat dihindarkan. Oleh karena itu, partai berperan sebagai pelopor dalam menumbuhkan motivasi rakyat dan dalam bersatu dan berjuang demi kepentingan bersama

Setelah kegagalan Lompatan Jauh ke depan  Mao pada akhir 1958 mundur dari jabatan sebagai pimpinan Partai Komunis China. Kongres Rakyat Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai pengganti Mao. Mao tetap menjadi Ketua Partai Komunis, namun dilepas dari tugas ekonomi sehari-hari yang dikontrol dengan lebih lunak oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping dan lainnya yang memulai reformasi keuangan.
Liu Shaoqi (Presiden kedua China 1959-1968) diberikan tugas untuk melakukan pemulihan dan penyesuaian kembali keadaan perekonomian negara dari krisis besar dan kekacauan parah yang menimpa China akibat gerakan “Lompat Jauh ke Depan”. Liu mendapat tugas menstabilkan lagi perekonomian, setidaknya seperti keadaan Pelita I dijalankan, sehingga upaya untuk mewujudkan pembangunan China ke arah yang lebih baik dapat segera dilaksanakan.
Pada masa Pemulihan dan Penyesuaian Kembali (1961-1965) ini, Liu juga berusaha menanamkan aliran liberalisme dalam perencanaan-perencanaan pembangunan demi perbaikan sistem ekonomi sosialis China. Oleh karena itu di daerah pedesaan diberikan kelonggaran terhadap pelaksanaan sistem kolektifitas dan sistem ekonomi tanpa pasar yang autokratis.
Sementara Mao sengaja mengambil jarak dari pusat kekuasaan agar bisa melihat betapa para pimpinan menjadi borjuis dan korup. Rakyat kehilangan semangat revolusioner. Bagi Mao, kenyataan itu tak bisa dibiarkan. Harus ada reformasi untuk meluruskan kembali jalan revolusi. Itulah Revolusi Kebudayaanyang diluncurkan pada tahun 1966 oleh Mao. “Kebudayaan” tidak hanya berarti kesenian, melainkan seluruh aspek dan lembaga kemasyarakatan. Revolusi Kebudayaan ini merupakan kelanjutan dari adu kekuatan antara aliran dogmatisme dengan pragmatisme.

Implementasi Revolusi Kebudayaan
Sebelumnya pada 16 Mei 1966, Mao Zedong telah mengkonsep sebuah gerakan revolusi yang ia sebut sebagai “The Great Proletarian Cultural Revolution”, yang mencapai puncaknya pada 13 Agustus 1966. Meski namanya “Revolusi Kebudayaan”, namun objek yang direvolusi tidak hanya terbatas pada kesenian, namun seluruh aspek dan lembaga kemasyarakatan. Revolusi itu menghapus batasan kelas dalam masyarakat yang telah ada selama ratusan tahun di Cina, dan terjadi secara menyeluruh meliputi kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, budaya, bahkan berbagai organ pemerintahan. Revolusi Kebudayaan merupakan jawaban Mao atas masalah yang ditimbulkan oleh restorasi kapitalisme yang dilakukan Soviet pada 1956.
Pada Bulan Juni 1966, PKC menyerukan kepada para mahasiswa untuk memobilisasi rakyat massa menuju Lapangan Tiananmen di pusat Kota Beijing. Mereka membawa buku kecil warna merah, The Little Red Book (Buku Merah), berisi kutipan naskah-naskah pidato Mao. Belakangan gerakan ini diperluas ke kalangan pekerja, buruh, dan petani. Mereka mengecam siapa pun yang berada dalam posisi pimpinan. Tidak jarang kecaman berubah menjadi sanksi atau hukuman. Korban berjatuhan, baik karena hukuman maupun bunuh diri.
Para pelajar dan mahasiswa kemudian digerakan untuk melancarkan kritik terhadap anasir-anasir yang dinilai ”anti-partai dan anti-rakyat”, seperti: Presiden Cina, Liu Shaoqi, Sekretaris Jendral Partai Komunis China (PKC), Deng Xiaoping, serta Kepala Staf Tentara Pembebasan Rakyat, Lo Rui Qing. Kemudian para mahasiswa turun ke jalan dengan mengenakan pita di lengan bertuliskan ”Pengawal Merah”. Gerakan Pengawal Merah ini dari hari ke hari semakin brutal dengan melakukan pengrusakan terhadap berbagai kantor pemerintah, fasilitas umum, selain melakukan teror dan penangkapan terhadap lawan-lawan politik Mao tse Tung. Mao Tse Tung mempunyai konsep kerja tersendiri untuk menjelaskan ekonomi-politik pembangunan sosialis. Ia tidak hanya menemukan kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat, tetapi juga mencoba mengungkapkan apa yang disebut dengan ”teori penentuan waktu”. Dalam teorinya ini, ia menggariskan setiap tahap pembangunan sosialis dengan tingkat perkembangan tertentu dari kekuatan produksi dan hasil produksi. Menurutnya, kebijakan-kebijakan pembangunan yang dibuat harus cocok dengan tahap pembangunan sosialis yang ada.
Dalam suasana yang sangat mencekam tersebut, Majalah Tentara Pembebasan Rakyat terbitan Shanghai edisi November 1965 melancarkan kritik terhadap suatu seni drama karangan Wu Han yang berjudul ”Han Rui dipecat dari jabatanya” yang bercerita tentang sindiran terhadap pemecatan Marsekal Peng De Huai pada tahun 1956. Karya tulisan yang dipentaskan tersebut dinilai destruktif karena dapat mempengaruhi masyarakat untuk menyimpulkan bahwa kebijaksanaan Mao Tse Tung terhadap Peng De Huai adalah suatu kesalahan. Sejak itu semua orang yang membela Wu Han dikenakan kritik sebagai revisionis dan oportunis kanan, termasuk para pejabat di lingkungan pemerintahan Beijing karena saat itu Wu Han menjabat sebagai Wakil Walikota Beijing.
Revolusi Kebudayaan juga menyertakan istri Mao, mantan bintang film tak terkenal Jiang Qing (nama samarannya dalam dunia politik; nama terlahir Li Shumeng; nama di makamnya dipakai nama sewaktu Ia sekolah, Li Yunhe), untuk menyingkirkan para pesaingnya dalam ranah kesenian. Opera, film, dan panggung teater didominasi produksi Madam Mao. Lukisan bunga dan alam tak boleh dipasang, diganti gambar bendera merah, traktor di ladang, atau gambar Mao dalam ekspresi heroik. Kaum perempuan tak boleh lagi berambut panjang dan dandan sesukanya. Jika ketahuan Tentara Merah, rambut mereka akan dipotong dan celana panjang ketat mereka akan dirobek di depan umum. Banyak pengarang dipenjara, dibuang ke kamp kerja paksa, atau dibiarkan frustrasi hingga bunuh diri. Beberapa pemusik atau pianis dipotong jarinya oleh Tentara Merah.
Dalam waktu cepat revolusi itu memberikan dampak yang amat besar sekaligus luas bagi masyarakat Cina, karena banyak sektor ekonomi terhenti saat revolusi dijalankan. Di awal revolusi, sejumlah besar Pengawal Merah tiba di Beijing dan menyebabkan kekacauan jadwal kereta api. Tak terhitung banyaknya bangunan kuno, artefak, barang antik, buku, dan lukisan, dihancurkan oleh pasukan tersebut. Mao menggerakkan revolusi itu dengan kekuatan tulisannya, dan sampai Desember 1967, lebih dari 350 juta kopi tulisan Mao dicetak dan disebarluaskan. Setelah sepuluh tahun revolusi itu berlangsung, sistem pendidikan di Cina hancur secara perlahan. Ujian masuk perguruan tinggi dibatalkan selama dekade itu, sementara ribuan intelektual dikirim ke kamp buruh, atau dibunuh.
Menurut Mao, pendirian ideoloi dan prestasi politik rakyat harus diperbaiki, untuk mecegah matinya semangat revolusioner dan hidup kembalinya kapitalisme akibat diadakanya Program Pemulihan dan Penyesuaian Kembali ekonomi Cina pasca “Lompat Jauh ke Depan”. Perbaikan ini juga perlu megingat semakin besarnya kesangsian massa terhadap kesetiaan kader-kader partai terhadap mereka. Oleh karena itu, bagi Mao organisasi-organisasi tingkat bawah, terutama massa itu sendiri perlu diberikan wewenang untuk mengawasi partai. Mao Tse Tung meresmikan suatu tim Revolusi Kebudayaan dengan Cheng Bo da sebagai ketuanya. Pada awal Agustus 1966 Komite sentral PKC mengadakan sidang untuk merumuskan garis kebijakan dalam mengendalikan Revolusi Kebudayaan. Rumusan tersebut terdiri dari 16 pasal, sebagai berikut:
  1. Revolusi sosialis yang telah mencapai suatu tahapan baru itu telah menegakan Orde Baru yang mengembangkan gagasan dan kebudayaan baru.
  2. Keberanian untuk melangkah maju telah berhasil menumbangkan mereka yang menganut jalan kapitalis.
  3. Keberanian harus dilimpahkan kepada rakyat massa, sehingga dapat membongkar pengkhianatan terhadap pikiran Mao Tse Tung.
  4. Rakyat massa dipersilahkan mendidik diri dalam mengobarkan revolusi Kebudayaan
  5. “Poster Berhuruf Besar” supaya dimanfaatkan sebanyak-banyaknya agar dapat diperbaiki kesalahan-kesalahan serta membeberkan pandangan-pandangan yang keliru”
  6. Diserukan agar ditegaskan siapa kawan dan siapa lawan.
  7. Sasaran pokok dari Revolusi Kebudayaan adalah menumbangkan unsur-unsur dalam Partai Komunis yang menganut paham kapitalis.
  8. Metodenya adalah : mengemukakan fakta-fakta, mengadakan ajakan untuk memperbincangkan fakta-fakta tersebut dan menghindari tindakan kekeras
  9. Mencegah terjadinya tuduhan keliru terhadap rakyat revolusioner
  10. Mengadakan perbedaan antara Yang baik, Yang sedang dan Yang berbuat salah, tetapi tidak anti-Partai dan tidak anti-sosialisme.
  11. Organisasi yang telah ada supaya dianggap sebagai alat kekuasaan dari Revolusi Kebudayaan.
  12. Sistem dan prinsip-prinsip, dan cara mengajar yang lama harus diganti dengan sistem pengajaran yang mengabdi pada politik proletar, dalam kaitanya dengan kerja produktif.
  13. Kritik dengan menyebut nama, baru dapat dijalankan setelah diperbincangkan oleh Komite Partai setempat, dan setelah mendapat persetujuan dari tingkat atasan.
  14. Kritik terhadap para sarjana dan teknisi yang tidak anti-Partai / anti-Sosialisme dan tidak berhubungan gelap dengan negara asing, harus dijalankan atas dasar ”Persatuan kritik persatuan”.
  15. Sasaran pokoknya adalah; satuan-satuan kultural, pendidikan, dan pemerintah di kota-kota besar dan kota-kota sedang.
  16. Tujuan dari Revolusi Kebudayaan adalah merevolusionerkan ideologi rakyat, dan menambah produksi serta mutunya.
  17. Di lingkungan Angkatan Bersenjata, edukasi sosial dan Revolusi Kebudayaan harus sesuai dengan instruksi dari Komisi.
  18. Pikiran Mao Tse Tung menjadi pedoman dari seluruh kegiatan.

Suatu hal yang penting, pada saat itu Mao mengadakan Gerakan Pemindahan ke Daerah Pedalaman. Ia yang memindahkan secara paksa 20 juta orang penduduk dari kota-kota ke desa-desa, dalam rangka menerapkan program belajar dari kaum petani. Banyak profesional muda yang menjadi “korban” dari Program Ruralisasi Mao ini. Seorang dokter ahli bedah otak, misalnya, tiba-tiba dimutasi menjadi petugas kebersihan WC. Dosen atau petinggi universitas dialihtugaskan ke peternakan babi. Birokrat dikirim ke pedalaman agar menghayati keadaan rakyat.
Beberapa masalah timbul dari kebijakan pembangunan Mao selama Revolusi Kebudayaan. Sebab bagaimana mungkin keinginan untuk menerjunkan kaum buruh agar berpartisipasi dalam tugas-tugas administrasi, dan sebaliknya menerjunkan para kader politiknya untuk berpartisipasi dalam pekerjaan buruh, dapat diharapkan keberhasilanya dalam waktu singkat. Harus diingat bahwa hal itu memerlukan waktu penyesuaian, karena sebelumnya kaum buruh telah terbiasa dengan pekerjaan di lapangan yang sifatnya kasar, serta asing sekali dengan pekerjaan administratif. Sedangkan para kader politik justru telah terbiasa dengan tugas-tugas organisasi dan administratif, masih asing dengan pekerjaan-pekerjaan buruh.
Dengan menggunakan kaum muda, kader-kader partai yang setia kepadanya dan orang-orang yang direkrut dari golongan militer, Mao melakukan tindakan pembersihan terhadap Liu dan kawan-kawan. Liu Shaoqi, Presiden China, kemudian mengalami perlakuan buruk dan mati dalam keadaan menyedihkan. Liu ditahan dalam keadaan yang sangat buruk dalam sebuah sel terisolasi di Kaifeng, yang menyebabkan kematiannya oleh ketiadaan perawatan medis (diabetes dan pneumonia yang tidak terawat) pada 1969. Deng Xiao Ping, Sekjen PKC, diasingkan dalam pembuangan di Jiangxi. Ia juga mendapat perlakuan buruk selama dalam pengasingan seperti seorang pekerja rodi. Sedangkan Peng Dehuai, bekas Menhankam China, menghadapi penyiksaan berat dan mati dalam keadaan setengah lumpuh.
Sementara tokoh Empat Serangkai (Gank of Four) yang berada di belakang Mao; memperbesar jumlah korban yang harus dibinasakan dengan memasukan kategori-kategori baru mengenai siapa saja yang masih termasuk musuh, pengkhianat dan para pengikut kapitalis. Berdasarkan data yang diperoleh, antara 250.000 sampai 500.000 jiwa rakyat tewas selama Revolusi Kebudayaan ini. Sedangkan jutaan rakyat lainya mengalami penderitaan fisik dan psikis akibat dikirim ke kamp-kamp kerja paksa dan diteror, serta dikejar-kejar oleh gerombolan-gerombolan orang yang diatur sebagai ”massa yang marah” dalam berbagai bentuk kampanye mobilisasi, restorasi pemikiran, re-edukasi dan rekonstruksi pribadi sosialis yang baru. Keadaan ini berlangsung selam sepuluh tahun memporak-porandakan seluruh negeri dan menyengsarakan lebih dari 100 juta rakyat China.
Pengaruh Revolusi Kebudayaan terhadap perekonomian nasional sangatlah besar. Produksi sektor industri merosot di tahun 1967 dan baru pulih kembali pada tahun 1969, meskipun sektor pertanian hanya mengalami sedikit kerugian. Selama sepuluh tahun kekacauan berlangsung, terjadi kerusakan diri atas kaum muda karena banyak sekolah ditutup. Pada sekolah-sekolah yang masih dibuka, kurikulum sangat disederhanakan dan sistem ujian dihapus, sehingga mutu pendidikan merosot. Akibat adanya pengiriman anak-anak usia sekolah dari kota ke daerah pedesaan untuk bertani, tercatat tidak kurang dari 100 juta anak muda kembali menjadi buta huruf, disamping banyak lowongan kerja yang diisi oleh tenaga-tenaga yang tidak ahli. Korban jiwa, kemunduran pendidikan, kehancuran seni dan peradaban, kebangkrutan pabrik-pabrik, adalah berbagai akibat yang dihasilkan Revolusi Kebudayaan.
Dari segi pemerataan, kebijakan-kebijakan pembangunan Mao, menghasilkan prestasi yang mengagumkan. Dalam hal itu hasil yang diraih China lebih baik dibandingkan negara-negara sedang berkembang pada umumnya. Keunggulan tersebut harus diakui, walaupun dari segi kesejahteraan hidup penduduk, kondisi China masih jauh dari yang diharapkan. Sejak 1971 keadaan menjadi normal (dalam versi Mao). Sekolah dan universitas dibuka kembali dengan syarat hanya buruh dan petani yang boleh belajar. Mahasiswa asing dan turis boleh datang, meski dalam wilayah terbatas. Para turis hanya disuguhi traktor dan sistem irigasi disertai pidato propaganda.

Akhir dari Revolusi Kebudayaan
Tak lama setelah kematian Mao pada 9 September 1976, sekitar Oktober 1976 Pemerintah China menangkap Gank of Four “Kelompok Empat” yang beranggotakan Jiang Qing (istri/janda Mao), Yao Wenyuan dan Zhang Chunqia (dua tokoh sentral di Shanghai selama Revolusi Kebudayaan) dan Wang Hongwen (penjaga keamanan dari Pabrik Pemintalan di Shanghai yang memobilisasi para buruh tekstil selama Revolusi Kebudayaan) karena dianggap sebagai pihak paling bertanggung jawab atas segala kekacauan dan jatuhnya korban selama Revolusi Kebudayaan,
Pada Kongres Partai Nasional (KRN) ke-11, yang diadakan pada tanggal 12-18 Agustus 1977, Hua diresmikan sebagai ketua partai menggantikan Mao Zedong, sementara Ye Jianying, Deng Xiaoping, Li Xiannian, dan Wang Dongxing dipercaya sebagai wakil ketua. Kongres juga mengumumkan berakhirnya Revolusi Kebudayaan secara resmi, menimpakan semua kesalahan yang ditimbulkannya pada Kelompok Empat.

Setelah itu secara pelahan Deng Xiaoping naik menuju kekuasaan. Rekannya Liu Shaoqi namanya direhabilitasi secara politik; lalu diadakan upacara pemakaman secara Kenegaraan setelah lebih dari satu dekade sesudah kematiannnya. Pemikirannya yang dulu tidak diakui kini diamini. Sejak saat itu, tak ada lagi mahasiswa dengan kategori tiga pilar politik: pekerja-petani-tentara. Ujian seleksi perguruan tinggi diberlakukan lagi untuk umum. Mahasiswa tak perlu lagi ikut mengikat sayuran, dan area penanaman padi tidak harus ke utara Sungai Yangtze agar tidak menentang alam. Seruan Deng, “Menjadi kaya itu mulia,” mengubah wajah China secara dramatis. Pakaian dan tata rambut masyarakat berubah. Observatorium yang didirikan rohaniwan Jesuit di Jianguomen, yang dulu menjadi satu-satunya monumen tertinggi, kini diapit hotel-hotel dan gedung-gedung pencakar langit.


Revolusi Kebudayaan China (The Great Proletarian Cultural Revolutionof China)
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.