Monday, January 11, 2016

Masa kekuasaan Republik Indonesia Serikat (RIS)

Setelah Indonesia berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri dalam konferensi Inter-Indonesia, kini bangsa Indonesia secara keseluruhan telah siap menghadapi Konferensi Meja Bundar (KMB). Sementara itu pada bulan Agustus 1949, Presiden Soekarno sebagai Panglima Tertinggi di satu pihak dan Wakil Tinggi Mahkota Belanda dipihak lain, mengumumkan pemberhentian tembak-menembak. Perintah itu berlaku efektif mulai tanggal 11 Agustus 1949 untuk wilayah Jawa dan 15 Agustus 1949 untuk wilayah Sumatera.pada tanggal 4 Agustus 1949 pemerintah Republik Indonesia menyusun delegasi untuk menghadiri KMB yang terdiri dari Drs Moh.Hatta (Ketua), Mr. Moh.Roem, Prof. Dr. Soepomo, dr.J.Leimena, Mr. Ali Sastroamidjoyo, Mr. Suyono Hadinoto, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo.

Konferensi Meja Bundar diselenggrakan di Den Haag, Belanda pada tanggal 23 Agustus sampai dengan tanggal 2 November 1949. Delegasi Indonesia dipimpin Drs. Moh Hatta, BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak KMB dan delegasi dari Belanda dipimpin oleh Mr. Van Marseveen. Dari PBB dipimpin oleh Crittchlay.
Pada tanggal 2 November 1949 perundingan diakhiri dengan keputusan sebagai berikut :
  1. Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai negara merdeka dan berdaulat
  2. Penyelesaian soal Irian Barat ditangguhkan samapi tahun berikutnya
  3. RIS sebagai negara erdaulat penuh kerjasama dengan Belanda dalam suatu perserikatan yang kepalai oleh Ratu Belanda atas dasar sukarela dengan kedudukan dan hak yang sama.
  4. RIS mengembalikan hak milik Belanda, memberikan hak konsensi, dan izin baru bagi perusahaan-perusahaan.
  5. Semua utang bekas Hindia Belanda harus di bayar oleh RIS
  6. Masalah Irian Barat akan dibicarakan satu tahun kemudian

Kehidupan Ekonomi Masyarakat Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan
Pasca pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia di bidang ekonomi sangatlah kompleks. Berikut ini masalah-masalah tersebut.
1. Belum terwujudnya kemerdekaan ekonomi
Kondisi perekonomian Indonesia pasca pengakuan kedaulatan masih dikuasai oleh asing. Untuk itu para ekonom menggagas untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Salah satu tokoh ekonom itu adalah Sumitro Djoyohadikusumo. Ia berpendapat bahwa bangsa Indonesia harus selekasnya ditumbuhkan kelas pengusaha. Pengusaha yang bermodal lemah harus diberi bantuan modal. Program ini dikenal dengan gerakan ekonomi Program Benteng. Tujuannya untuk melindungi usaha-usaha pribumi. Ternyata program benteng mengalami kegagalan. Banyak pengusaha yang menyalahgunakan bantuan kredit untuk mencari keuntungan secara cepat.
2. Perkebunan dan instalasi-instalasi industri rusak
Akibat penjajahan dan perjuangan fisik, banyak sarana prasarana dan instalasi industri mengalami kerusakan. Hal ini mengakibatkan kemacetan dalam bidang industri, kondisi ini mempengaruhi perekonomian nasional.
3. Jumlah penduduk meningkat cukup tajam
Pada pasca pengakuan kedaulatan, laju pertumbuhan penduduk meningkat. Pada tahun 1950 diperkirakan penduduk Indonesia sekitar 77,2 juta jiwa. Tahun 1955 meningkat menjadi 85,4 juta. Laju pertumbuhan penduduk yang cepat berakibat pada peningkatan impor makanan. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk kebutuhan akan lapangan kerja meningkat. Kondisi tersebut mendorong terjadinya urbanisasi.
4. Utang negara meningkat dan inflasi cukup tinggi
Setelah pengakuan kedaulatan, ekonomi Indonesia tidak stabil. Hal itu ditandai dengan meningkatnya utang negara dan meningginya tingkat inflasi. Utang Indonesia meningkat karena Ir. Surachman (selaku Menteri Keuangan saat itu) mencari pinjaman ke luar negeri untuk mengatasi masalah keuangan negara. Sementara itu, tingkat inflasi Indonesia meninggi karena saat itu barang-barang yang tersedia di pasar tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Akibatnya, harga barang-barang kebutuhan naik. Untuk mengurangi inflasi, pemerintah melakukan sanering pada tanggal 19 Maret 1950. Sanering adalah kebijakan pemotongan uang. Uang yang bernilai Rp,5,- ke atas berlaku setengahnya.
5. Defisit dalam perdagangan internasional
Perdagangan internasional Indonesia menurun. Hal ini disebabkan Indonesia belum memiliki barang-barang ekspor selain hasil perkebunan. Padahal sarana dan produktivitas perkebunan telah merosot akibat berbagai kerusakan.
6. Kekurangan tenaga ahli untuk menuju ekonomi nasional
Pada awal pengakuan kedaulatan, perusahaan-perusahaan yang ada masih merupakan milik Belanda. Demikian juga tenaga ahlinya. Tenaga ahli masih dari Belanda, sedang tenaga Indonesia hanya tenaga kasar. Oleh karena itu Mr. Iskaq Tjokroadikusuryo melakukan kebijakan Indonesianisasi. Kebijakan ini mendorong tumbuh dan berkembangnya pengusaha swasta nasional. Langkahnya dengan mewajibkan perusahaan asing memberikan latihan kepada tenaga bangsa Indonesia.
7. Rendahnya Penanaman Modal Asing (PMA) akibat konflik Irian Barat.
Akibat konflik Irian Barat kondisi politik tidak stabil. Bangsa Indonesia banyak melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Sebagai dampak nasionalisasi, investasi asing mulai berkurang. Investor asing tidak berminat menanamkan modalnya di Indonesia.

Proses Pengkuan Kedaulatan oleh Belanda
Bagi Belanda proses pengakuan kedaulatan Indonesia merupakan proses penyerahan kedaulatan, karena Indonesia adalah bekas jajahan Belanda. Namun pemerintah dan rakyat Indonesia lebih sreg menggunakan istilah pengakuan kedauatan oleh Belanda
Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda sebagai hasil akhir dari KMB dilakukan pada 27 Desember 1949 yang dilaksanakan di dua tempat dengan waktu bersamaan. Negeri Belanda Ratu Juliana, Perdana Menteri Willem Dress, dan Menteri Seberang Lautan, A.M.J.M. Sassen menyerahakan kedaulatan kepada pemimpin delegasi Indonesia (RIS), Drs. Moh. Hatta. Di Jakarta, Wakil Tinggi Mahkota A.H.J Lovink menyerahkan kedaulatan kepada wakil pemerintah RIS., Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Bersama dengan itu, di Yogyakarta Presiden Sukarno menerima penyerahan kedaulatan Republik Indonesia ke dalam RIS Pejabat Presiden Republik Indonesia, Mr. Assaat. Lalu tanggal 28 Desember 1949 pusat pemerintahan RIS dipindahkan lagi ke Jakarta.

Wilayah Negara Republik Indonesia Serikat
Berdasarkan UUD RIS bentuk negara kita adalah federal, yang terdiri dari tujuh negara bagian dan sembilan daerah otonom. Adapun tujuh negara bagian RIS tersebut adalah :
  1. Negara Republik Indonesia (RI)
  2. Negara Indonesia Timur
  3. Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
  4. Negara Jawa Timur
  5. Negara Madura
  6. Negara Sumatera Timur
  7. Negara Sumatera Selatan
Di samping itu, ada juga 9 wilayah yang berdiri sendiri (otonom) yang bebas menentukan nasibnya sendiri untuk ikut RIS atau merdeka, yaitu:
    1. Jawa Tengah
    2. Kalimantan Barat (Daerah Istimewa)
    3. Dayak Besar
    4. Daerah Banjar
    5. Kalimantan Tenggara
    6. Kalimantan Timur (tidak temasuk bekas wilayah Kesultanan Pasir)
    7. Bangka
    8. Belitung
    9. Riau
Konstitusi RIS
Sementara Konferensi Meja Bundar berlangsung, delegasi dari Negara Republik Indonesia dan Delegasi dari negara-negara BFO telah mebuat Rancangan Undang-Undang Dasar (RUUD) untuk Negara Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk nanti. RUUD tersebut kemudian disahkan oleh Pemerintah Negara Indonesia dan Komite Nasional Indonesia Pusat, dan disahkan pula oleh Pemerintah dan Badan Perwakilan Rakyat dari negara-negara BFO (Badan Permusyawaratan Negara-Negara Federal). Pengesahan itu tertera dalam Piagam Penandatanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Desember 1949, dan mulai berlaku pada hari pengakuan kedaulatan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada pemerintah negara Republik Indonesia Serikat, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949.

Kemudia pasa KMB masing-masing perwakilan BFO menandatangani persetujuan untuk mengaplikasikan Konstitusi baru untuk Indonesia, yaitu Konstitusi RIS, yang ditandatangani oleh setiap kepala negara bagian :
  1. Mr. Susanto Tirtoprodjo dari Negara Republik Indonesia menurut perjanjian Renville.
  2. Sultan Hamid II dari Daerah Istimewa Kalimantan Barat
  3. Ide Anak Agoeng Gde Agoeng dari Negara Indonesia Timur
  4. R. A. A. Tjakraningrat dari Negara Madura
  5. Mohammad Hanafiah dari Daerah Banjar
  6. Mohammad Jusuf Rasidi dari Bangka
  7. K.A. Mohammad Jusuf dari Belitung
  8. Muhran bin Haji Ali dari Dayak Besar
  9. Dr. R.V. Sudjito dari Jawa Tengah
  10. Raden Soedarmo dari Negara Jawa Timur
  11. M. Jamani dari Kalimantan Tenggara
  12. A.P. Sosronegoro dari Kalimantan Timur
  13. Mr. Djumhana Wiriatmadja dari Negara Pasundan
  14. Radja Mohammad dari Riau
  15. Abdul Malik dari Negara Sumatera Selatan
  16. Radja Kaliamsyah Sinaga dari Negara Sumatera Timur
Bentuk Negara dan Sistem politik ketatanegaraan pada masa RIS
Bentuk Negara Republik Indonesia pada kurun waktu 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950  adalah federal dengan sistem pemerintahan parlementer. Kabinet bertanggung jawab kepada parlementer ( Dewan Perwakilan  Rakyat ), dan apabila pertanggungjawaban itu tidak diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat maka dapat menyebabkan bubarnya kabinet.
Dalam muatan Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 maka dapat diketahui bahwa bentuk negaranya adalah Federal. Hal ini dapat dilihat  dalam Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat dalam alinea III yang mengemukakan antara lain: “Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara yang berbentuk republik federasi, berdasarkan….”
Selain itu, dalam ketentuan pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS berbunyi, “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk Federasi”.
Hal tersebut menegaskan bahwa Republik Indonesia Serikat memiliki bentuk negara federal.

Alat Perlengkapan Negara
Ketentuan pada Bab III tentang Perlengkapan Republik Indonesia Serikat dalam ketentuan umum mengatur mengenai siapa-siapa yang menjadi alat perlengkapan negara Republik Indonesia Serikat. Ketentuan tersebut berbunyi: alat perlengkapan federal Republik Indonesia Serikat ialah:
  1. Presiden
  2.  Menteri-menteri
  3. Senat
  4. Dewan Perwakilan Rakyat
  5. Mahkamah Agung Indonesia
  6. Dewan Pengawas Keuangan

Dalam perjalanannya, RIS ternyata tidak bertahan lama, Sehingga banyak yang beranggapan bahwa sistem tersebut adalah cara baru Belanda untuk mengkoloni Indonesia secara halus. Berikut adalah faktor-faktor yang menyebabkan RIS tidak berumur panjang
  1. Bentuk negara RIS bertentangan dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
  2. Pembentukan negara RIS tidak sesuai dengan kehendak rakyat.
  3. Bentuk RIS pada dasarnya merupakan warisan dari kolonial Belanda yang tetap ingin berkuasa di Indonesia.
  4. Berbagai masalah dan kendala politik, ekonomi, sosial, dan sumber daya manusia dihadapi oleh negara-negara bagian RIS.
Selain itu pasca pengakuan Kedaulatan, Belanda seperti meninggalkan bom-bom waktu dengan meninggalkan negara-negara federal boneka serta tentara KNIL (tentara bayaran Belanda yang berasal dari pribumi) di negara-negara bagian. Proses pembentukan APRIS (Angkatan Perang RIS) yang awalnya untuk mengakomodir KNIL dan TNI mendapat penolakan dari kalangan Federal karena dianggap upaya pemerintah pusat untuk menyingkirkan KNIL dan membubarkan Negara Federal, sementara kalangan unitaris menghendaki itu sebagai upaya untuk menyatukan semua komponen militer dalam satu komando untuk mempercepat pembentukan negara kesatuan. Akhirnya ditengah pertentangan golongan unitaris dan federal meletus berbagi peristiwa kudeta, seperti Peristiwa APRA di Bandung, Pembrontakan Andi Aziz di Makasar, Pembrontakan RMS di Maluku dan lain-lain. Namun hal itu tak menghentikan langkan kelompik Unitaris untuk membentuk Negara Kesatuan.
Pada bulan Februari 1950 pemerintah RIS mengeluarkan undang - undang darurat yang isinya pemerintahan Negara Pasundan menyerahkan kekuasaannya pada Komisaris Negara (RIS).

Gerakan yang dilakukan di Pasundan ini kemudian diikuti oleh Sumatera Selatan dan negara - negara bagian lain. Negara-negara bagian lain yang menyusul itu cenderung untuk bergabung dengan RI. Untuk menyikapi reaksi dari masyarakat tentang pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu, akhirnya pemerintah federal mengeluarkan UU Darurat No. 11 / 1950, tentang tata cara perubahan susunan kenegaraan RIS. Keadaan itu mendorong RIS berunding dengan Republik Indonesia untuk membentuk Negara Kesatuan
Pada akhir Maret 1950 tinggal empat negara bagian saja dalam RIS, yakni Kalimantan Barat, Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, dan RI setelah diperluas. Selanjutnya pada tanggal 21 April 1950 Presiden Sukawati dari NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan RI menjadi negara kesatuan.

Akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950 diadakanlah konferensi antara wakil-wakil RIS yang juga mewakili Negara Indonesia Timur dan Sumatera Timur dengan RI di Jakarta. Dalam konferensi ini dicapai kesepakatan untuk kembali ke Negara Kesatuan RI. Kesepakatan ini sering disebut dengan PiagamPersetujuan, yang isinya sebagai berikut:
  1. Kesediaan bersama untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan dari negara RIS yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
  2. Penyempurnaan Konstitusi RIS, dengan memasukkan bagian-bagian penting dari UUD RI tahun 1945.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan kembali ke NKRI maka proses kembali ke NKRI tersebut dilakukan dengan cara mengubah Undang Undang Dasar RIS menjadi Undang - Undang Dasar Sementara RI. Undang Dasar Sementara RI ini disahkan pada tanggal 15 Agustus 1950 dan mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950. Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950, Presiden Soekarno membacakan Piagam terbentuknya NKRI. Peristiwa ini juga menandai berakhirnya bentuk RIS. Indonesia kembali menjadi negara kesatuan lagi, namun dengan menggunakan UUD Sementara (1950) dengan mengadopsi sistem Demokrasi Liberal dengan sistem pemerintahan Kabinet Parlementer.





Masa kekuasaan Republik Indonesia Serikat (RIS)
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Suka dengan postingan di atas? Silakan berlangganan postingan terbaru langsung via email.